
Penggunaan hewan dalam penelitian biomedis telah ada selama berabad-abad - Foto: AI
Keterbatasan model hewan
Tikus, kelinci, monyet, dan banyak hewan lainnya telah menjadi teman laboratorium selama beberapa generasi. Mereka digunakan untuk menguji toksisitas obat, mempelajari penyakit, dan menguji pengobatan baru. Namun, semakin banyak bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa penelitian pada hewan tidak selalu mencerminkan respons biologis manusia secara akurat.
Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA), hingga 90% obat yang menunjukkan hasil positif pada hewan gagal ketika diuji pada manusia. Hal ini disebabkan oleh perbedaan gen, struktur biologis, dan sistem kekebalan yang signifikan antara manusia dan hewan yang menyulitkan transfer data yang diperoleh dari hewan secara efektif.
Selain itu, memelihara model penelitian hewan membutuhkan waktu, biaya, dan kontroversi etika. Hal ini mendorong para ilmuwan untuk mencari solusi alternatif, dan AI merupakan salah satu arah yang menjanjikan.
Kecerdasan buatan: penyaringan data dan simulasi biologis
AI memiliki kemampuan untuk memproses dan menganalisis data dalam jumlah besar yang tidak dapat dilakukan manusia dalam waktu singkat. Dalam penelitian biomedis, AI dapat meninjau ratusan ribu makalah ilmiah, menganalisis struktur molekul puluhan ribu senyawa, memprediksi toksisitas, efektivitas, dan mekanisme kerja obat pada tubuh manusia tanpa perlu uji coba pada hewan.
Sebuah studi terbaru di AS menunjukkan bahwa AI dapat memprediksi toksisitas hati suatu senyawa dengan akurasi hingga 87%, jauh lebih tinggi daripada banyak metode pengujian yang ada saat ini. Para ilmuwan bahkan mensimulasikan lebih dari 100.000 "tikus virtual" pada sistem komputer untuk menguji efektivitas obat, sesuatu yang tidak dapat dilakukan di dunia nyata karena alasan etika dan finansial.
AI juga digunakan dalam penelitian vaksin COVID-19, sehingga secara signifikan mengurangi waktu pengembangan. Dengan bantuan AI, para ilmuwan dapat dengan cepat mengidentifikasi area protein virus (epitop) yang kemungkinan memicu respons imun, sehingga merancang vaksin yang efektif tanpa harus menggunakan model tikus tradisional pada banyak tahap awal.
AI tidak bekerja sendiri, tetapi sering dikombinasikan dengan bioteknologi seperti organoid, jaringan cetak 3D, atau sistem multi-organ (body-on-chip). Model-model ini menggunakan sel manusia untuk mensimulasikan fungsi biologis hati, jantung, otak... dan ketika dikombinasikan dengan AI, sistem ini dapat menganalisis reaksi kompleks obat atau penyakit dalam lingkungan yang sangat mirip dengan tubuh manusia.
Misalnya, jaringan paru-paru buatan yang terhubung dengan AI untuk menilai tingkat penetrasi virus SARS-CoV-2 memberikan hasil yang setara dengan eksperimen tikus, tetapi jauh lebih cepat dan lebih akurat. Dari sana, pengujian dapat dilakukan secara personal berdasarkan sel punca pasien sendiri, alih-alih menggunakan model hewan standar seperti sebelumnya.
Membentuk era bebas hewan dalam penelitian biomedis
Kombinasi AI dan bioteknologi membuka jalan bagi era baru penelitian bebas hewan, yang tidak hanya mengurangi biaya dan waktu, tetapi juga meningkatkan akurasi prediksi respons obat, terutama karena pengobatan yang dipersonalisasi menjadi arus utama.
Banyak negara, termasuk Amerika Serikat, telah mulai melonggarkan peraturan yang mewajibkan pengujian obat pada hewan sebelum melakukan uji klinis. Ini merupakan sinyal jelas bahwa dunia ilmiah sedang berubah, secara bertahap bergerak menuju model penelitian yang lebih efektif, manusiawi, dan modern dengan bantuan kecerdasan buatan.
Sumber: https://tuoitre.vn/nghien-cuu-khong-dong-vat-cong-nghe-mo-loi-cho-y-sinh-tuong-lai-20250609142417126.htm






Komentar (0)