
Dilihat melalui mikroskop, bintik-bintik hitam di layar menunjukkan potongan-potongan plastik mikroskopis dari ikan yang ditangkap di Teluk Jakarta - Foto: CNA
Hidangan lezat seperti ikan bakar telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari santapan keluarga di Indonesia. Namun, yang tidak banyak orang duga adalah ikan ini ternyata mengandung "zat aditif beracun" yang tak terlihat - mikroplastik.
Menurut sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 2024, yang dikutip oleh CNA pada tanggal 7 Juli, hampir 94% ikan yang diambil sampelnya di Teluk Jakarta mengandung mikroplastik (potongan plastik berukuran kurang dari 5 mm).
"Makan plastik" seperti makan nasi
Bukan hanya Indonesia, Asia Tenggara kini tengah menjadi "global hotspot" ketika 6 dari 10 negara yang membuang plastik terbanyak ke lautan di dunia berada di kawasan ini.
Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyatakan 80% sampah plastik laut berasal dari daratan, terutama kemasan sekali pakai. Pada tahun 2020, 855 miliar kemasan plastik sekali pakai dikonsumsi, setengahnya berasal dari Asia Tenggara.
Menurut studi Universitas Cornell (AS), rata-rata orang Indonesia mengonsumsi 15 gram mikroplastik per bulan, setara dengan 3 kartu kredit. Malaysia berada di peringkat kedua dengan 12 gram, diikuti Filipina dan Vietnam (11 gram).
Selain itu, surat kabar SCMP pada tanggal 5 Juni juga mengutip sebuah studi dalam jurnal Environmental Science & Technology , yang menunjukkan bahwa negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam memimpin dalam tingkat penyerapan mikroplastik secara global, yang berasal dari konsumsi banyak makanan laut.
"Masyarakat Asia Tenggara sangat bergantung pada makanan yang dikemas dalam plastik," ujar Deo Florence L. Onda, profesor madya di Institut Ilmu Kelautan di Universitas Filipina Diliman. Goresan kecil pada kemasan saja dapat melepaskan banyak partikel mikroplastik, yang dapat dengan mudah masuk ke dalam makanan dan minuman, ujar Onda.
Sistem pemrosesannya masih lemah.
Menurut CNA, alasan di balik situasi di atas sebagian disebabkan oleh keterbatasan sistem pengolahan sampah plastik.
Pada tahun 2022, organisasi lingkungan Ecoton menemukan mikroplastik di hampir seluruh 68 sungai yang disurvei di Indonesia. Sementara itu, di Filipina, tidak ada peraturan yang mewajibkan instalasi pengolahan air untuk menghilangkan mikroplastik.
Di saat yang sama, lonjakan urbanisasi telah menyebabkan banyak permukiman tidak memiliki tempat sampah atau pusat pengumpulan sampah. Banyak orang memilih membuang sampah langsung ke sungai dan selokan.
Yang lebih serius, bahkan ketika sampah dikumpulkan, plastik di tempat pembuangan sampah akan terurai menjadi mikroplastik dan kemudian mengalir ke kanal, laut atau meresap ke dalam tanah.
Sumber-sumber mengatakan TPA Bantar Gebang di Jakarta kini telah menampung lebih dari 45 juta ton sampah dan hampir mencapai batas kapasitasnya. Sementara itu, Filipina, Malaysia, dan Vietnam masih mengimpor sampah plastik dari negara-negara maju untuk memenuhi kebutuhan industri daur ulang — namun tidak semuanya diolah dengan baik.

Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPA) Bantar Gebang di Indonesia merupakan TPA terbesar di Asia Tenggara, dengan luas 110 hektar atau setara dengan sekitar 200 lapangan sepak bola - Foto: CNA
Musuh diam-diam kesehatan
Seiring kemajuan bioteknologi dan kedokteran , para ilmuwan mulai lebih memahami dampak serius mikroplastik terhadap kesehatan manusia.
Menurut Dr. John Paul Ner, beberapa mikroplastik dapat memasuki aliran darah dan bahkan menembus lapisan pelindung otak. Sebuah studi tahun 2023 menemukan bahwa mikroplastik dapat menyebabkan gangguan kognitif, meningkatkan risiko demensia hingga 36 kali lipat dibandingkan orang yang terpapar sedikit.
Beberapa penelitian pada tikus juga menunjukkan bahwa setelah hanya tiga minggu terpapar mikroplastik, mereka menunjukkan tanda-tanda demensia.
Mikroplastik tidak hanya memengaruhi otak, tetapi juga muncul dalam plak aterosklerotik pada lebih dari separuh pasien jantung. Orang-orang ini memiliki risiko serangan jantung atau stroke lima kali lebih tinggi.
"Mikroplastik yang menumpuk dapat menyumbat arteri atau mengganggu aliran darah," kata Dr. Pukovisa Prawiroharjo, Universitas Indonesia.
Yang lebih mengkhawatirkan, beberapa partikel mikroskopis bahkan dapat melewati plasenta, sehingga janin berisiko terkontaminasi mikroplastik, sehingga meningkatkan risiko penyakit kronis di masa mendatang.
Sumber: https://tuoitre.vn/nguoi-dong-nam-a-dang-an-nhua-moi-ngay-ma-khong-hay-biet-2025070711303805.htm






Komentar (0)