1. Guru saya kehilangan ibunya di suatu hari yang dingin di penghujung tahun ajaran. Gadis yang dipenuhi kebahagiaan tiba-tiba menjadi yatim piatu. Saya tahu, selama bertahun-tahun, dalam dirinya, rasa sakit kehilangan ibunya tak pernah surut barang sehari pun. Kisah-kisah tentang ibunya selalu ia ceritakan dengan suara selembut asap pagi, ringan dan gemetar seolah ingin meredam rasa sakit tak berujung yang hendak meluap di sudut matanya. Ia sering bercerita tentang ibunya, suaranya gemetar sekaligus hangat. Saya tak pernah melihatnya menangis, tetapi setiap kali ia menyebut ibunya, matanya berkaca-kaca, tatapannya menerawang jauh seolah mengenang kembali kenangan bersama asap dapur dan sosok ibunya yang terkasih. Suaranya lambat dan terputus-putus, seolah ia takut jika ia mengucapkan sepatah kata lagi, air matanya akan mengalir.
Katanya, di pagi-pagi yang lalu, kenangan tentang ibunya selalu kembali sejelas kemarin: “Saat itulah suara angin meniup hujan di luar jendela, aroma hangat asap dapur yang mengepul dari dapur belakang. Suara langkah kaki ibu yang tergesa-gesa, lalu suara ember dan panci didorong. Tetesan air dari atap genteng tua jatuh ke ember dan panci, ting ting, ting ting, ting ting. Dengkuran babi yang meminta makanan, derit pintu kandang yang terbuka saat ayam-ayam sudah berdesir di dahan pohon... Aroma bubur singkong yang kaya mengepul bersama aroma daun sirih yang kuat dan menyengat, chao oi la cuon...”.
![]() |
| Ilustrasi: HH |
Lalu suaranya tercekat. Pagi itu, ia berniat tidur lebih lama, tetapi tiba-tiba menyadari tak ada lagi bau asap dari dapur, tak ada lagi langkah kaki. Hanya ada suara hujan yang seolah bergema dari kenangannya dan kekosongan yang memilukan. Ibunya telah lama tiada, tetapi kerinduannya masih membekas. Setiap kali hujan turun, ia akan tanpa sadar memandang ke luar jendela: "Aku jadi bertanya-tanya, di sana... besok pagi, Ibu sudah menyalakan kompor?". "Di sana," begitu ia mengucapkannya, terdengar begitu ringan namun begitu memilukan. Jarak itu tak pernah bisa dijangkau, hanya saja kerinduannya begitu pekat.
2. Di masa kecilku, fajar tak diawali dengan kokok ayam jantan, melainkan dengan derak kayu bakar di tungku yang menyala. Itulah pagi-pagi sekali, ketika kegelapan masih menyelimuti dapur kecil itu, ibuku terbangun dan sibuk menyalakan tungku. Suara-suara cahaya seakan membangunkan ruang sunyi pagi itu. Cahaya yang berkelap-kelip di sudut dapur yang kelabu memancarkan cahaya kuning samar di dinding tua bagai hembusan napas. Ibu membungkuk di atas tungku, tangannya yang kering menyalakan kayu bakar, deraknya menggema di kabut pagi yang dingin. Seluruh dapur kecil yang dingin itu tiba-tiba menghangat oleh asap kelabu.
Ibu saya punya warung mi kecil yang berjualan di pasar desa setiap pagi. Warung mi itulah yang membesarkan saya dan saudara-saudara perempuan saya, dan membantu seluruh keluarga melewati masa-masa sulit. Dari dapur yang dipenuhi bau asap abu-abu, dagangan mi Ibu saya menjalar ke seluruh jalan, melewati setiap sudut pasar, tetapi juga membuat tangannya kapalan dan punggungnya bungkuk selama bertahun-tahun. Karena itu, bau asap kayu hari itu tak hanya melekat di baju dan rambutnya, tetapi juga melekat di kenangan masa kecil saya. Itulah tahun-tahun perjuangan dan kesukaran, pagi-pagi yang dingin menusuk kulit, Ibu saya masih bangun dan membawa sepanci mi ke pasar. Jalan desa masih basah oleh udara malam, ranting dan daun-daun layu oleh dingin yang menusuk. Tiang-tiang penyangga bahu terasa berat. Panas terpancar, bercampur dengan bau asap kayu menciptakan aroma yang akrab dan memilukan. Ibu saya lewat, asap dapur masih melekat di kemejanya yang pudar.
Pasar desa tidak ramai saat itu, hanya ada beberapa orang di sana. Ibu mendirikan kiosnya di beranda kecil, tangannya dengan cepat menyendok mi, matanya basah oleh asap, angin dingin, atau kekhawatiran yang tak pernah ia bicarakan. Bagiku, semangkuk mi buatan Ibu adalah hal terlezat di dunia, karena penuh dengan manisnya cinta, keringat, malam-malam tanpa tidur yang dipenuhi kekhawatiran, dan tentu saja, bercampur dengan bau asap dapur.
3. Kami tumbuh dewasa dan meninggalkan dapur kecil itu. Kekhawatiran mencari nafkah tak lagi sesulit dulu, tetapi ibu saya masih punya kebiasaan bangun setiap pagi untuk menyalakan kompor. Terkadang itu hanya cara baginya untuk melupakan kesepian di usia tua. Dapur itu kecil, tetapi diterangi cahaya yang damai.
Di kota, terkadang, dalam mimpiku, aku membayangkan diriku duduk di depan warung mi tua, asap mengepul, dan ibuku tersenyum lembut, matanya berkilat dalam asap kelabu. Aku terbangun, jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Aku bertanya-tanya, apakah saat ini, di rumah, ibuku sudah bangun untuk menyalakan kompor, masih membungkuk di atas kuah kaldu yang mengepul di pagi buta? Bekerja jauh di sana, setiap kali pulang kampung, hal pertama yang kulakukan adalah melangkah ke dapur, duduk diam memandangi abu, tanganku mengelus batu yang menopang kuah dari masa lalu. Begitu banyak kenangan yang kembali berhamburan, membayang bagai asap tipis.
Guru saya bercerita, seiring waktu berlalu, asap dapur yang lama perlahan memudar di balik dinding beton. Kami sibuk bekerja, terbangun oleh suara telepon, memasak dengan kompor listrik yang menyala, tak ada lagi asap yang menyengat mata, tak ada lagi bau jerami basah di baju. Namun di tengah kelimpahan itu, kami merasa ada yang kurang, hangat sekaligus tua. Ada hari-hari ketika kami berjalan di jalanan yang ramai, tiba-tiba berhenti di depan asap yang mengepul dari restoran pinggir jalan, air mata menggenang di pelupuk mata. Karena dalam asap itu, kami seakan mengenali sosok mungil ibu kami, bahunya membungkuk, tangannya bergerak cepat di dekat tungku abu-abu berasap.
Ternyata dalam kehidupan yang tak terhitung jumlahnya, akan ada banyak sekali belokan, banyak sekali perbedaan, tetapi kita masih bisa berbagi kenangan yang sama tentang kemiskinan di masa lalu. Kenangan itu bagaikan gumpalan asap tipis, masih cukup kuat untuk mempertahankan hal-hal indah di tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Dan kemudian, meskipun waktu telah berlalu, orang-orang masih tidak bisa melupakan api pertama dalam hidup mereka - api ibu mereka. Dan semua kenangan tentang ibu mereka dapat dimulai dari pagi hari, sebuah tungku, segumpal asap di tengah kabut. Sepanjang hidup kita, ke mana pun kita pergi, kita masih dihantui oleh kerinduan: "Pagi ini, apakah ibu sudah menyalakan tungku...".
Dieu Huong
(*) Diadaptasi dari puisi "Api Dapur" (Bang Viet).
Sumber: https://baoquangtri.vn/van-hoa/tap-but/202511/som-mai-nay-me-nhom-bep-len-chua-c8c6b16/







Komentar (0)