Vietnam.vn - Nền tảng quảng bá Việt Nam

Dari 'sepatu hak tawas' menjadi 'warna hijau'

QTO - Dalam aliran puisi Vietnam, citra ibu merupakan topik yang familiar namun tak pernah usang. Dengan puisi "Tumit Ibu", penyair Do Thanh Dong tidak memandang ibu dari kejauhan, tidak menggambarkannya secara umum, melainkan mendekatkan diri, meringkas sudut pandang menjadi detail yang lugas namun penuh kasih sayang: "tumit". Dari tumit ibu yang retak inilah seluruh dunia batin dan takdir sang ibu terungkap, menyentuh kedalaman emosi pembaca.

Báo Quảng TrịBáo Quảng Trị03/11/2025

Penyair Do Thanh Dong lahir dan besar di Desa Tho Ngoa, Kecamatan Bac Gianh, dalam keluarga petani dan mewarisi bakat puitis ayahnya sejak kecil. Ia adalah anggota Asosiasi Penulis Vietnam dan Asosiasi Sastra dan Seni Provinsi Quang Tri . Dengan kecintaannya pada puisi dan sastra, Do Thanh Dong telah menerbitkan banyak koleksi puisi yang mengesankan dan merupakan sosok yang tak asing bagi para seniman dan pencinta puisi di seluruh negeri.

Citra seorang ibu merupakan sumber inspirasi yang mendalam sepanjang karier kepenulisan Do Thanh Dong. Inspirasi tersebut berasal dari cinta yang tulus dan rasa syukur yang mendalam dari seorang anak. Oleh karena itu, puisi-puisi yang ia tulis tentang ibunya terutama didedikasikan untuk ibunda tercintanya.

Kumpulan puisi mendatang "Luc Bat Me" merupakan kristalisasi dari perasaan-perasaan sakral tersebut. Meskipun telah meraih banyak kesuksesan dalam puisi modern, Do Thanh Dong memilih untuk kembali ke bentuk syair Luc Bat tradisional ketika menulis tentang ibunya. Pilihan ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan sebuah tujuan artistik untuk sepenuhnya mengekspresikan keindahan cinta ibu yang sederhana dan intim.

Penyair Do Thanh Dong berbagi puisi
Penyair Do Thanh Dong berbagi puisi "Tumit Ibu" dengan kaum muda - Foto: Nh.V

Berbagi tentang puisi "Tumit Ibu", penyair Do Thanh Dong mengaku: Setiap kali angin utara datang, aku teringat pada ladang-ladang rendah desa Tho Ngoa. Itu adalah tanah asam dan tawas, cekungan yang dalam, di mana hanya padi basah yang dapat tumbuh, di mana tumit petani ditutupi tawas kuning pucat sepanjang tahun. Gambaran yang paling kusukai adalah bibit padi. ​​Setiap musim dingin, tumit ibuku pecah-pecah dan berdarah. Ia duduk memegangi kakinya yang sakit tetapi masih khawatir bahwa "ladang yang dikontrak harus tepat waktu". Situasi "bekerja itu sulit, tidak bekerja juga tidak mungkin" membuatku merasa gelisah. Sekarang ibuku telah pergi ke akhirat, ladang-ladang yang dikontrak telah dibagi-bagi. Aku sangat merindukan ibuku, banyak malam aku tidak bisa tidur. Puisi "Tumit Ibu" terus mengalir.

Di awal puisi, penulis dengan lihai menggunakan paralelisme untuk menyampaikan emosi, menempatkan dinginnya langit dan bumi (dingin yang menggulung pucuk-pucuk pohon) di samping dingin yang terukir dalam di kulit ibu. "Setiap kali dingin menggulung pucuk-pucuk pohon/adalah saat tumit ibu berderak/langkahnya di ujung pekarangan terasa menyakitkan/ibu memandangi hamparan padi musim semi dan mendesah."

Hanya dengan empat baris puisi, penulis menggambarkan kenyataan pahit ketika Ibu harus berjuang melawan cuaca. Bayangan tumit pecah-pecah adalah bukti kerasnya hidup. Titik paling menyentuh dari puisi ini terletak pada "desahan" Ibu. Ibu mendesah bukan karena tumit yang sakit, melainkan karena khawatir akan "padi musim semi" yang meronta-ronta kedinginan. Penderitaan itu terulang berulang kali karena karakteristik tanahnya: "Kampung halamanku sawah yang basah / sepanjang tahun tumit Ibu tak luntur warna tawas". Jika musim dingin membuat tumit Ibu pecah-pecah, musim-musim lain menodai tumit dan kuku kakinya dengan "warna tawas" yang tak terkikis. Itulah warna tanah, air, ketekunan dalam hujan dan terik matahari. Penulis tidak menggambarkan sosok Ibu secara keseluruhan, melainkan memilih satu detail yang "berharga": "tumit Ibu". Inilah bagian tubuh yang paling sering bersentuhan langsung dan paling terbuka dengan tanah, lumpur, dan air.

Menghadapi kenyataan itu, Ibu saya tidak mengeluh, melainkan tersenyum lembut karena ia percaya bahwa "usia tua itu sudah biasa". Itulah senyum penerimaan dan toleransi seseorang yang telah menemukan kedamaian bahkan dalam kesulitan. Ungkapan "sedikit orang yang dipuji karena sepatu hak merah mudanya" adalah lelucon sekaligus kebenaran, mengakui realitas para petani sekaligus mengandung penegasan yang menghargai diri sendiri. "Usia tua" Ibu saya adalah keindahan kerja keras, keindahan hidup, yang lebih berharga daripada keindahan sutra apa pun. Bahkan ketika retakan di tumitnya "berdarah", kekhawatiran Ibu saya bukan untuk dirinya sendiri, melainkan hanya karena terlambat panen. Ibu saya seperti itu, menjalani seluruh hidupnya untuk orang lain.

Dalam menghadapi kesulitan, cinta antara suami dan istri bersinar bagai titik terang. Itulah momen ketika "Ibu membawa baju robek untuk membalut kakinya" sementara "Ayah memperlihatkan punggungnya yang kurus". Pengorbanan sang ibu menyentuh hati pasangannya. Sang ayah harus "memohon kepada Ibu beberapa kali/agar tidak merusak cinta antara suami dan istri". Kata-kata sang ayah adalah ungkapan cinta dan rasa hormat. Tindakan sang ibu adalah ungkapan pengorbanan. Di antara mereka, tak ada sepatah kata pun keluhan, hanya berbagi suka dan duka, cinta sederhana yang dijalin dari berbagi dalam diam, teguh dalam kesulitan.

Bait terakhir menutup puisi dengan kontras dan kesinambungan yang berkesinambungan. Sang putri, generasi penerus, sekembalinya ke kampung halaman, juga "menyusuri ladang" tetapi bukan dengan kaki pecah-pecah dan bernoda tawas, melainkan dengan "tumit merah dan bibir merah". Citra "tumit merah" sang anak dan "tumit tawas" sang ibu di masa lalu menunjukkan kontras antara kepenuhan masa kini dan kesulitan masa lalu. "Tumit merah" sang anak merupakan kelanjutan, hasil dari pengorbanan sang ibu seumur hidup. Hidup sang anak kini penuh, tetapi tak lagi ada kesempatan untuk menebus sang ibu karena sang ibu telah "berbaring di bawah rerumputan muda". Bait terakhir puisi "betapa banyak tumit ibu yang masih hijau" merupakan gambaran yang bermakna. Sang ibu telah kembali ke bumi, dipeluk oleh alam (rerumputan muda), tetapi pengorbanan dan kerja kerasnya seumur hidup tak lenyap, melainkan telah bertransformasi dan bertunas menjadi "warna hijau" abadi kehidupan dan kedamaian. "Hijau" itu adalah warna "rumput baru" di makam dan warna sawah, warna kehidupan yang diusahakan ibu sepanjang hidupnya.

Puisi "Tumit Ibu" karya Do Thanh Dong memikat pembaca dengan kesederhanaan dan keasliannya. Dengan bahasa yang sederhana, detail yang halus, dan emosi yang tulus, puisi ini telah menanamkan rasa hormat dan syukur kepada para ibu di pedesaan dalam hati masyarakat. Melalui gambaran "tumit pecah-pecah", "warna tawas", "pakaian robek", penulis menyentuh kedalaman kasih sayang seorang ibu. Puisi ini menyentuh bukan dengan kata-kata yang halus, melainkan dengan pemahaman seorang anak tentang pengorbanan ibunya.

Membaca "Mother's Heels", kita tak hanya melihat sosok seorang ibu, tetapi juga gambaran seluruh generasi perempuan Vietnam yang pekerja keras. Tumit yang telah melewati musim dingin, melewati musim panen yang berat, telah berubah menjadi "hijau" untuk menopang langkah anak-anak mereka menuju kehidupan. Itulah simbol abadi pengorbanan tanpa suara.

Nh.V

Sumber: https://baoquangtri.vn/van-hoa/202511/tu-got-phenden-sac-xanh-fe4684f/


Komentar (0)

No data
No data

Dalam kategori yang sama

Pagi ini, kota pantai Quy Nhon tampak seperti mimpi di tengah kabut
Keindahan Sa Pa yang memukau di musim 'berburu awan'
Setiap sungai - sebuah perjalanan
Kota Ho Chi Minh menarik investasi dari perusahaan FDI dalam peluang baru

Dari penulis yang sama

Warisan

Angka

Bisnis

Dataran Tinggi Batu Dong Van - 'museum geologi hidup' yang langka di dunia

Peristiwa terkini

Sistem Politik

Lokal

Produk