Kata orang, menjadi ayah adalah perjalanan panjang. Bagiku, itu adalah keajaiban, hal sakral yang sulit diungkapkan. Sejak tahu punya anak, aku jadi berbeda. Aku bukan lagi orang yang hanya tahu terburu-buru bekerja, berdesak-desakan di antara hiruk pikuk kehidupan. Aku mengenal rasa takut, khawatir, dan penantian setiap hari yang berlalu, hanya untuk mendengar tangisan, melihat makhluk kecil yang mengandung darahku. Aku terbiasa dengan malam-malam tanpa tidur, duduk mendengarkan detak jantung di rahim istriku, seolah-olah aku sedang mendengarkan detak jantungku sendiri. Lalu, saat anakku menangis saat lahir, aku hanya bisa berdiri diam, air mataku menggenang, gemetar saat menggenggam tangan mungil itu, tangan yang begitu kecil hingga muat di telapak tanganku, namun cukup kuat untuk bertahan seumur hidup.
Di awal-awal menjadi ayah, saya benar-benar ceroboh. Saya tidak tahu cara mengganti popok atau mencampur susu dengan benar. Ketika bayi saya menangis, saya menatap istri saya dengan panik, dan dia hanya tersenyum dan berkata: "Ayah, lakukan saja, nanti Ayah akan terbiasa!". Ya, saya memang terbiasa. Saya terbiasa dengan aroma susu, aroma kulit bayi saya, harum, lembut dan bersih, dan saya hanya perlu menarik napas untuk merasakan hati saya melunak, seolah-olah semua debu kehidupan sehari-hari telah terhapus. Ada malam-malam ketika bayi saya demam, saya menggendongnya bolak-balik di kamar, mendengarkan napasnya yang terengah-engah dan merasa seolah-olah seseorang sedang meremas hati saya. Tetapi begitu bayi saya tersenyum, semua kelelahan lenyap, semua kesulitan menjadi seringan awan yang melayang di langit.
Dulu aku berpikir kebahagiaan itu soal punya uang, ketenaran, dan status. Tapi sejak punya anak, kebahagiaan jadi sederhana banget buatku. Rasanya cuma tiap sore sepulang kerja, denger panggilan "Papa!" dari pojok halaman, terus ngeliat sosok mungil, rambutnya masih basah keringat, lari memelukku. Pelukan itu hangat banget, singkat banget, tapi cukup bikin aku ngerasa hidup ini lengkap. Suatu kali, aku lagi perjalanan bisnis ke luar kota. Malam harinya, tiduran di kamar hotel yang sepi, kangen rumah, aku buka ponsel buat dengerin rekaman anakku lagi latihan ngomong. Suaranya cadel, kekanak-kanakan, tapi manis kayak gula: "Papa, aku sayang Papa!". Aku ketawa, tapi hatiku tercekat. Ternyata sekuat apa pun seorang laki-laki, denger anaknya manggil dengan kata sayang aja udah bikin dia jadi lemah.
Kini setiap pagi, sebelum aku sempat membuka mata, anakku sudah naik ke atasku, sambil menyeringai: "Ayah, bangun!". Aku berpura-pura menutup mata dan kembali tidur, tetapi anakku mencolek pipiku dan menjambak rambutku. Perasaan itu melelahkan sekaligus membahagiakan, dan rasanya lebih ajaib daripada apa pun di dunia ini. Sesibuk apa pun di luar sana, hanya mendengar anakku memanggil "Ayah!" membuatku melupakan semua rasa lelahku.
Ternyata kebahagiaan itu tak jauh, ia ada di tangan mungilnya, di mata polosnya, di celotehan anak-anak setiap hari. Menjadi seorang ayah terkadang melelahkan, sangat berat, tetapi itulah kelelahan termanis di dunia. Karena setiap momen bersama anakku, aku merasa seperti bertumbuh dewasa, belajar menjadi lebih lembut, lebih toleran. Aku tahu hidup itu panjang, akan ada banyak perubahan. Anakku akan tumbuh dewasa, akan memiliki dunianya sendiri, dan tak lagi terikat padaku seperti sekarang. Namun, sesekali mendengar anakku memanggil "Ayah!", betapapun seraknya, betapapun jauhnya, melalui telepon, hatiku tetap hangat, aku merasa seperti sedang menjalani kebahagiaan paling sederhana di dunia.
Maka setiap kali mendengar panggilan sayang itu, aku tersenyum dan berkata dalam hati: "Dalam hidup ini, aku hanya perlu dipanggil ayah, itu sudah cukup bahagia."
Nguyen Thanh
Sumber: https://baodongnai.com.vn/van-hoa/202510/ba-oi-tieng-goi-thieng-lieng-ce60696/
Komentar (0)