Tantangan pendidikan liberal
Saya telah beberapa kali ditanyai tentang kata "pendidikan liberal", terkadang oleh orang-orang di luar sektor pendidikan yang skeptis terhadap maknanya, dan terkadang oleh rekan-rekan muda yang ingin menemukan sesuatu yang sakral dalam misi profesional mereka. Pendidikan liberal berfokus pada tujuan memupuk kemandirian berpikir, berpikir kritis, emosi humanis, dan kapasitas belajar sepanjang hayat siswa. Perspektif ini mengarah pada praktik pendidikan yang tidak memprioritaskan pelatihan vokasional dini, melainkan memprioritaskan pengembangan kapasitas pribadi yang bebas yang dapat menjalani kehidupan yang penuh kesadaran, berpikir, memahami, dan bertindak dengan semangat pencerahan diri.
Pendidikan yang bahagia adalah jembatan yang menghadirkan semangat pembebasan ke dalam kehidupan nyata peserta didik.
Foto: Ngoc Duong
Lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Mempraktikkan pendidikan liberal sebagai guru sekaligus siswa tidaklah mudah.
Bagi para guru, mempraktikkan pendidikan liberal bukan sekadar metode, melainkan sebuah "transformasi" dari citra yang sudah lazim: guru adalah penyampai ilmu yang mahatahu, yang memegang kendali penuh di dalam kelas. Mengajar dengan semangat liberalisme berarti rela melepaskan pengetahuan yang aman dari buku teks untuk bertualang bersama siswa ke dalam dunia pertanyaan yang tak terjawab. Guru tidak serta merta memposisikan diri sebagai orang yang membawa cahaya ilmu ke dalam kelas, melainkan berusaha menjadi orang yang menginspirasi, yang membuka, yang mendampingi, yang membangkitkan potensi siswa. Peran tersebut menuntut kesabaran, kerendahan hati, dan keberanian. Keberanian untuk berkata "Saya tidak tahu" ketika siswa mengajukan pertanyaan yang melampaui rencana pembelajaran. Keberanian untuk menghadapi tatapan skeptis dari rekan kerja, orang tua, bahkan siswa sendiri ketika mereka tidak terbiasa dengan kebebasan yang datang bersama tanggung jawab. Keberanian untuk menerima bahwa pendidikan tidak dapat diukur dengan tolok ukur pencapaian. Hasil pencerahan terkadang tersimpan diam-diam di hati para siswa bagai benih yang menunggu untuk tumbuh di masa depan yang cerah.
Bagi para peserta didik, pendidikan liberal adalah tantangan yang sunyi, ketika mereka harus memposisikan diri di ruang tanpa dinding, tanpa transkrip sebagai panduan, tanpa contoh esai, tanpa soal ujian yang hanya sebatas pengetahuan buku teks. Belajar dalam semangat liberalisme adalah belajar untuk hidup dalam kebebasan. Namun kebebasan sejati tidaklah mudah. Kebebasan berarti pilihan. Pilihan berarti tanggung jawab. Dan tanggung jawab terkadang menjadi beban yang belum siap ditanggung oleh peserta didik secara mental. Ketika tidak ada seorang pun yang mengingatkan mereka untuk mengerjakan PR, ketika tidak ada lagi nilai yang memotivasi mereka, ketika tidak ada lagi model yang telah ditentukan untuk diikuti, itu juga saatnya para peserta didik harus menghadapi diri mereka sendiri: Untuk siapa saya belajar? Apa yang ingin saya pahami? Siapakah saya di kelas ini? Semakin sulit pertanyaannya, semakin dalam keheningan itu. Dan dalam kebingungan itu, banyak orang merasa tersesat, skeptis, bahkan memilih untuk kembali ke jalan lama, hanya mengikuti model yang tersedia dan menerima imbalannya.
Dengan cukup sinar matahari, bunga-bunga akan mekar. Dengan kesabaran dan keberanian yang cukup untuk memulai perjalanan pembebasan diri, para pelajar akan memiliki kesempatan untuk menemukan jati diri dan belajar hidup dengan sistem nilai yang mereka ciptakan sendiri. Pendidikan liberal tidak menjanjikan hasil instan atau masa depan yang terencana, tetapi memberikan anugerah yang lebih berharga kepada para pelajar: kedewasaan dan kepemimpinan dari dalam diri—sebuah kapasitas yang tak seorang pun dapat merebutnya nanti.
Namun, saya sendiri juga melihat bahwa argumen pendidikan liberal menghadapi banyak tantangan dalam masyarakat pembelajar modern, di mana kebanyakan orang bersekolah terlebih dahulu untuk mencari pekerjaan, untuk memastikan penghidupan. Semangat indah pendidikan liberal tidak selalu cukup efektif untuk menjelaskan kehidupan mereka yang mencari pendidikan sebagai jalan menuju penghidupan.
Apakah guru benar-benar menatap mata yang cemas, mendengarkan pertanyaan canggung seorang siswa? Pendidikan untuk kebahagiaan tidak hanya berusaha mengarahkan siswa menuju peluang karier, tetapi juga membangun karakter yang kokoh bagi mereka.
Foto: Dao Ngoc Thach
Selamat menempuh pendidikan
Banyak orang yang lahir dalam keadaan sulit memilih untuk belajar bukan karena mereka ingin "memahami siapa mereka" tetapi karena mereka ingin memiliki pekerjaan besok, memiliki uang untuk membantu orang tua mereka, dan memiliki tempat di pasar yang sangat kompetitif.
Dalam situasi seperti itu, cita-cita pendidikan liberal mudah dianggap sebagai kemewahan. Berpikir kritis, pembelajaran seumur hidup, kemampuan untuk mencerahkan diri sendiri, konsep-konsep ini terkadang menjadi beban yang terlalu berat bagi siswa yang hanya ingin mendapatkan poin yang cukup untuk lulus dan memiliki pekerjaan untuk hidup.
Namun, apakah semangat seni liberal bertentangan dengan mata pencaharian? Ataukah hanya karena pendidikan seni liberal belum menemukan jembatan menuju kesulitan hidup? Pendidikan seni liberal harus menjadi masalah relevansi pribadi, menjawab pertanyaan sederhana namun kuat dari para siswa: "Setelah lulus sekolah, bagaimana saya akan hidup?". Kita tidak bisa terus-menerus berbicara tentang "kebebasan berpikir" secara samar-samar ketika para siswa terjebak di antara kebingungan dan tekanan praktis. Pendidikan seni liberal perlu didesain ulang untuk membantu siswa dipupuk dalam pemikiran dan kepribadian, serta dibekali dengan keterampilan hidup, kapasitas profesional, dan kemampuan beradaptasi.
Ini bukan tentang "memperdagangkan cita-cita", tetapi tentang mewujudkan cita-cita itu dalam kehidupan sehari-hari. Ajari orang untuk menjadi pemikir bebas, tetapi juga ajari mereka cara menulis resume yang baik, cara membaca dan memahami kontrak kerja, cara bernegosiasi dalam wawancara, dan cara menjaga martabat di dunia kerja. Ajari mereka untuk mempertanyakan stereotip, tetapi juga ajari mereka cara menciptakan nilai untuk mendukung diri mereka sendiri.
Ketika siswa tak hanya mendambakan kebebasan, tetapi juga membutuhkan penghidupan yang stabil; ketika guru tak hanya ingin mengajarkan hal yang benar, tetapi juga berharap siswa tak terjerumus dalam pusaran kepraktisan, tujuan "pendidikan bahagia" perlahan muncul sebagai penopang baru. Bukan kebahagiaan dalam kemudahan atau kesenangan, melainkan kebahagiaan yang terkait dengan perasaan menjadi diri sendiri, diakui, dan hidup di lingkungan pendidikan yang layak, baik belajar untuk meraih impian besar maupun sekadar mencari nafkah.
Pendidikan kebahagiaan adalah jembatan yang membawa semangat pembebasan ke dalam kehidupan nyata siswa. Apakah guru benar-benar menatap mata siswa yang cemas, mendengarkan pertanyaan-pertanyaan canggung mereka? Pendidikan kebahagiaan tidak hanya berusaha mengarahkan siswa pada peluang karier, tetapi juga membangun karakter yang kokoh bagi mereka. Pendidikan kebahagiaan tidak hanya mengajarkan cara "menyelesaikan sesuatu", tetapi juga senantiasa menjaga dan menciptakan ruang yang cukup luas untuk membantu siswa tetap santai, merasa aman, memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan, dan menyembuhkan luka batin.
Dan para guru juga perlu hidup dan bekerja di lingkungan pendidikan yang bahagia. Guru dan siswa tidak dijadikan alat produksi, tidak dipaksa menjadi "versi optimal pasar tenaga kerja", melainkan dididik untuk hidup layak, mengetahui siapa mereka, apa yang mereka butuhkan, dan apa yang pantas mereka dapatkan.
Itulah yang seharusnya menjadi tujuan pendidikan negara kita, harus menjadi tujuan jika kita juga memikirkan tujuan untuk menjadi bangsa yang bahagia.
Sumber: https://thanhnien.vn/giao-duc-hanh-phuc-moi-la-dieu-dang-theo-duoi-185250828155342709.htm
Komentar (0)