Akhir musim gugur di Hanoi , cukup buka jendela di pagi hari dan Anda akan merasakan angin sejuk menyentuh ujung jari Anda dengan lembut, embun sebening lapisan kaca tipis yang menutupi puncak pohon, dan aroma bunga susu yang begitu kuat hingga membuat orang berhenti sejenak. Di kota ini, orang-orang menghitung musim tidak hanya berdasarkan kalender, tetapi juga berdasarkan aromanya. Suatu pagi dalam perjalanan ke sekolah, saya mendengarkan suara yang familiar dan dengan lembut menyanyikan sebuah lagu dari lagu Trinh Cong Son: "Musim padi hijau kembali, harum di tangan kecil..." Hanya satu lagu yang membangkitkan berbagai kenangan tentang mendiang nenek saya yang baik hati.

Foto ilustrasi: tapchicongthuong.vn

Aku teringat sore-sore bulan Agustus itu, mengikuti nenekku ke sawah, mengajukan ratusan pertanyaan “mengapa” dari masa kecilku: Mengapa beras ketan berwarna hijau, sementara beras ketan lainnya berwarna putih atau kuning? Bisiknya sambil menanam bibit. Dan berkat suaranya yang selembut angin di sawah, aku perlahan mengerti arti dari warna beras hijau itu. Matahari tak terlalu terik hari itu, angin yang berhembus dari sawah terasa sejuk. Katanya, membuat beras hijau tak seperti pekerjaan lain, orang harus bangun saat hari masih gelap, berjalan di sawah yang dingin berembun untuk memotong berkas-berkas padi muda. Butiran padi masih basah oleh embun, aroma mudanya masih utuh. Begitu dibawa pulang, padi-padi itu langsung dibakar di atas tungku untuk disangrai, tak dibiarkan terlalu lama. Api yang terlalu besar akan membakar bulir-bulir padi; api yang terlalu kecil tak akan memisahkan sekam.

Setelah memanggang, tibalah saatnya menumbuk. Bunyi alu kayu yang menghantam lumpang batu terdengar teratur seperti detak jantung musim gugur. Setelah menumbuk, ada penyaringan, pencucian, dan pemetikan; setiap langkah membutuhkan kesabaran dan ketelitian. Terburu-buru sedikit saja, seluruh tumpukan beras hijau akan hancur. Berdiri di sampingnya, mengamati tangkai padi bergoyang tertiup angin, saya menyadari bahwa untuk mendapatkan sebungkus kecil beras hijau, begitu banyak usaha yang dicurahkan seorang petani: keringat, ketekunan, dan cinta diam-diam untuk bulir-bulir padi tanah air.

Aroma bunga susu yang tercium menyadarkanku kembali ke dunia nyata. Suara sapaan penjual nasi ketan yang familiar menggema di tengah jalan. Aku segera berlari keluar dan membeli sebungkus nasi ketan. Di atas nampan terdapat daun teratai hijau yang rimbun, dan panci nasi ketan itu mengepulkan uap harum. Membuka bungkusnya, aku merasa seperti melihat seluruh musim gugur di telapak tanganku. Butiran beras hijau muda itu lembut dan lengket, mempertahankan warna beras muda; kacang hijau yang hancur berwarna keemasan seperti sinar matahari pagi; kelapa parutnya kecil dan putih, kaya rasa dan berlemak. Hidangan nasi ketan sederhana yang membuat hatiku tiba-tiba mencelos seolah ada benang tak kasat mata yang menghubungkan Hanoi dengan ladang-ladang di kampung halamanku.

Di tengah hiruk pikuk itu, tiba-tiba aku teringat diriku sendiri. Aku yang sekarang, seorang pelajar muda yang berjuang antara tugas sekolah dan pekerjaan paruh waktu, mudah lelah, mudah menyerah. Sedikit tekanan saja membuatku mendesah. Namun, sang petani, sepanjang musim padi, sepanjang pagi yang berkabut, sepanjang jam-jam berdiri di dekat tungku pemanggangan, tetap diam, sabar, tanpa sedikit pun mengeluh. Memikirkan hal ini, aku merasa kecil dan malu. Ternyata hal-hal yang kuanggap "kerja keras" tak berarti apa-apa dibandingkan dengan kehidupan mereka yang penuh kerja keras.

Melihat bungkusan nasi ketan di tangan saya, saya menyadari bahwa di tengah hiruk pikuk kota modern, hadiah kecil itu membuat kita ingin bersantai dan menenangkan diri. Nasi ketan Hanoi tak hanya lezat dinikmati, tak hanya indah dipandang, tetapi juga menjadi pengingat. Mengingatkan kita bahwa hal-hal halus dan murni seperti butiran beras hijau tidak datang secara alami. Mereka tercipta dari kerja keras, ketekunan, dan kecintaan terhadap pekerjaan orang-orang yang "bekerja keras di bawah terik matahari dan hujan", yang tahu bagaimana menyaring esensi langit dan bumi untuk mengembalikan cita rasa budaya Hanoi kepada dunia, sederhana namun mendalam.

Di tengah harumnya bunga susu, di tengah harumnya rasa ketan hijau yang lengket, saya seakan merenungkan satu hal sederhana namun mendalam: Terkadang, sekadar sebungkus ketan hijau dengan aroma musim gugur Hanoi sudah cukup membuat hati kita melunak, lebih mencintai dan menghargai hidup ini.

    Sumber: https://www.qdnd.vn/van-hoa/doi-song/mua-com-xanh-ve-1011090