Jaga profesi dengan cinta dan tanggung jawab

Pada suatu sore musim gugur yang dingin, kami menyusuri jalan setapak kecil untuk mengunjungi pengrajin Dang Dinh Hon. Memasuki halaman kecil itu, alunan musik merdu menghilang di udara. Saya melihat seorang pria bertubuh kecil bungkuk sedang bekerja dengan teliti dengan bubuk merah dan hijau di tangannya. Melihat kami masuk, Tuan Hon tidak mengenali kami. Sepertinya saat ia bekerja, dunianya hanya dipenuhi oleh dirinya, hewan-hewan, dan bentuk-bentuk yang ia ciptakan.

Seniman Dang Dinh Hon.

Pengrajin Dang Dinh Hon telah terlibat dalam pembuatan to he selama hampir 50 tahun. Ia dikenal tidak hanya sebagai seniman berbakat, tetapi juga sebagai sosok yang bersemangat melestarikan dan mengembangkan kerajinan tradisional. Saat ini, ia tidak hanya menjual produk to he yang berwarna-warni, tetapi juga membuka tur pengalaman, yang membawa wisatawan, terutama kaum muda, lebih dekat dengan proses pembuatan to he tradisional.

Lahir dalam keluarga yang memiliki tradisi membuat patung tanah liat. Sejak kecil, ia menyaksikan ayahnya bekerja dengan tempayan tepung, mengikuti ibunya dari kios ke pasar loak dan pekan raya. Profesi ini terus mengikutinya sejak saat itu, entah sejak kapan, hatinya dipenuhi kecintaan pada patung tanah liat. Yang diketahui hanyalah bahwa sejak usia 10 tahun, ia resmi menekuni profesi ini, berlatih membuat kerbau dan naga pertama.

Patung tanah liat berwarna-warni.

Mengenang hari-hari pertama bersentuhan dengan tepung beras dan pewarna, ia bercerita dengan penuh emosi: “Dulu, kami sangat miskin, beras langka karena harganya mahal. Namun, kami tetap harus menggunakan tepung beras karena dulu tepung beras bisa dimakan. Masa-masa itu sulit, tidak ada permen. Soal beras cetak, kami makan karena sedang langka, tetapi sebenarnya kami tidak tahu apakah rasanya enak atau tidak. Waktu kecil, saya tidak mengenal uang atau pekerjaan. Saat itu, saya hanya melakukannya karena saya suka, suka teliti dan kreatif.”

Selama bertahun-tahun, patung-patung tanah liat warna-warni yang dulu merajalela di pasar pedesaan kini hanya tinggal kenangan. Banyak orang dan keluarga telah meninggalkan kerajinan mereka dan beralih ke arah lain, tetapi Tuan Hon tetap teguh dengan tanah liat dan bubuk warna: “Dulu saya ingin berubah, tetapi profesi yang ditinggalkan leluhur saya, saya juga ingin pertahankan. Gairah untuk profesi ini mengalir dalam darah dan daging saya, cinta untuk profesi ini begitu kuat sehingga saya tak sanggup melepaskannya. Berbaring di malam hari, saya merasa masih sangat mencintai profesi ini, jadi saya berusaha sebaik mungkin. Orang tua saya tidak meninggalkan harta benda apa pun, meninggalkan profesi ini sudah cukup membahagiakan. Saya harus tahu bagaimana melestarikan profesi ini.”

Pohon-pohonnya divariasikan untuk beradaptasi dengan tren.

Baginya, ia telah melampaui makna sekadar cara sederhana untuk mencari nafkah, ia adalah napas masa kanak-kanak, bagian dari darah daging, jiwa rakyat Vietnam. Itulah sebabnya Tuan Hon melekat pada profesi ini bukan hanya karena hasratnya, tetapi juga karena tanggung jawab untuk melestarikan dan mewariskan nilai-nilai tradisional kepada generasi mendatang melalui setiap orang yang ia temui.

Selama bertahun-tahun membawa patung-patung tanah liat berkeliling pasar dan perayaan desa, Tuan Hon menyaksikan kegembiraan terpancar di mata anak-anak ketika mereka menerima hadiah-hadiah kecil yang terbuat dari tanah liat. "Itulah kebahagiaan yang tak bisa diberikan oleh profesi lain," katanya dengan suara lirih.

Melewati obor ke generasi berikutnya

Tak berhenti mempertahankan kerajinan dengan cara lama, perajin Dang Dinh Hon selalu berinovasi agar patung-patungnya dapat beradaptasi dengan kehidupan modern. Ia mengatakan bahwa untuk memastikan keamanan, kebersihan, dan pengawetan jangka panjang, para perajin kini beralih menggunakan tanah liat, alih-alih tepung beras dan pewarna makanan seperti sebelumnya.

Selain itu, kini, ia tidak hanya membentuk karakter dongeng dan hewan tradisional, tetapi juga menciptakan karakter kartun seperti Pikachu, Labubu, dan pahlawan super untuk menarik perhatian anak-anak. "Kita tidak bisa terus-menerus membentuk kerbau dan naga dan menunggu orang-orang menyukainya. Tugas mencari nafkah adalah mengetahui cara berubah," ujarnya sambil tersenyum, tangannya dengan cepat membentuk ayam. Namun, ia selalu ingat: "Ia bisa berubah bentuk dan warna, tetapi tidak jiwanya."

Halaman Facebook “To he Village” telah menarik 5,7 ribu pengikut dan menjadi jembatan yang membantu Desa To he Xuan La menjangkau banyak wisatawan domestik dan mancanegara. Tangkapan layar

Menurutnya, "jiwa" to he adalah cerita rakyat Vietnam yang tersembunyi di balik setiap produknya. Oleh karena itu, selain menciptakan karakter-karakter modern, ia juga menciptakan karakter-karakter berjiwa nasional seperti Saint Giong, Tam, Cuoi, dan Thach Sanh.

Ketika menyebut rekan-rekan pengrajinnya, tatapan mata sang pengrajin kosong: "Masih sedikit orang yang menekuni profesi ini di desa saya, bisa dihitung dengan jari. Generasi tua sudah meninggal, generasi muda sudah tidak menekuni profesi ini, kebanyakan dari mereka pergi ke kota besar, bekerja untuk mendapatkan gaji, dan tidak cukup kuat untuk menekuni profesi ini."

Bersemangat tentang jiwa kebangsaan, seniman Dang Dinh Hon masih tak kenal lelah menapaki perjalanannya menabur benih budaya. Selain putranya, yang telah dididik oleh ayahnya sejak kecil, ia juga membuka tangan, mengajarkan profesinya kepada cucu-cucunya, atau anak-anak tetangga yang dengan gembira berkumpul di sekitarnya. Baginya, ini bukan hanya tentang mengajarkan profesi untuk mencari nafkah, tetapi juga tentang menabur cinta, menyalakan api tradisi dalam jiwa generasi muda.

Turis asing mencoba membuat patung tanah liat. Foto: Facebook Desa.

Sebagai seorang perajin dari generasi sebelumnya yang telah mengabdikan lebih dari separuh hidupnya untuk membuat patung, Bapak Hon mengungkapkan bahwa ia juga ingin mempromosikan desa kerajinan tersebut, tetapi kurang familiar dengan teknologi. Namun, berkat bantuan putranya, halaman Facebook "To he Village" telah menarik 5,7 ribu pengikut dan menjadi jembatan yang membantu desa patung Xuan La menjangkau banyak wisatawan domestik dan mancanegara.

Dari sekadar membawa patung-patung ke pameran kerajinan, Bapak Hon kini telah membuka kelas pelatihan kejuruan bagi kaum muda, menyelenggarakan tur untuk mencoba membuat patung di rumah, dan mengubah rumah kecilnya menjadi tempat pengalaman yang unik. Bapak Hon bercerita bahwa setiap tahun ia menyambut banyak wisatawan asing, terutama dari Italia, untuk bertamasya dan merasakan desa kerajinan tersebut.

Tak hanya menyambut wisatawan asing, banyak sekolah juga mendatangkan siswa ke rumahnya untuk mencoba membuat to he. Baginya, kelas membuat to he adalah cara pengrajin menanamkan kecintaan terhadap budaya nasional dan kebanggaan terhadap kerajinan tradisional Vietnam kepada generasi mendatang.

Hewan-hewan, balok-balok adonan, telah terserap ke dalam napasnya, menjadi saksi bisu cinta yang mendalam dan dedikasinya yang teguh. Di tengah dunia yang berlomba mengejar nilai-nilai baru, sang perajin tua masih diam-diam menabur benih tradisi nasional, patung-patung tanah liat, siang dan malam. Ia hanya berharap warisan sejati ini akan menemukan tempatnya yang semestinya, diterima, dan dilestarikan.

Maka, di gang kecil itu, gerbang Tuan Hon masih terbuka setiap hari, menyambut rombongan wisatawan dari segala penjuru. Secepat apa pun arus kehidupan di luar sana, ayam, kerbau, bahkan pahlawan super dan laba-laba yang terbuat dari adonan tetap berwarna cerah, menunggu untuk dikagumi orang-orang. Gerbang itu bukan sekadar pintu masuk ke sebuah rumah, melainkan pintu menuju dunia kenangan, tempat jiwa bangsa dilestarikan, diperbarui, dan Tuan Hon terus menghembuskan kehidupan abadi melalui setiap genggaman adonan.

    Sumber: https://www.qdnd.vn/phong-su-dieu-tra/phong-su/nghe-nhan-dang-dinh-hon-gan-50-nam-nan-hinh-ky-uc-tuoi-tho-943830