Para peneliti sedang melakukan percobaan untuk menghasilkan tenaga surya di luar angkasa dan mengirimkannya secara nirkabel kembali ke Bumi.
Simulasi satelit tenaga surya CASSIOPeiA rancangan Inggris. Foto: Space Solar
Ali Hajimiri, profesor teknik elektro di California Institute of Technology (Caltech), telah menghabiskan satu dekade meneliti cara meluncurkan sel surya ke luar angkasa dan memancarkan energinya kembali ke Bumi, menurut CNN . Tahun ini, Hajimiri dan rekan-rekannya mengambil langkah lebih jauh untuk mewujudkan pembangkit listrik tenaga surya di luar angkasa. Pada Januari 2023, mereka meluncurkan Maple, prototipe sepanjang 30 sentimeter yang dilengkapi pemancar fleksibel dan ultraringan. Tujuan mereka adalah mengumpulkan energi dari Matahari dan mengirimkannya secara nirkabel di luar angkasa. Jumlah listrik yang dikumpulkan tim ini cukup untuk menyalakan dua bohlam LED.
Namun, tujuan yang lebih luas dari para peneliti adalah untuk melihat apakah Maple dapat memancarkan energi kembali ke Bumi. Pada Mei 2023, tim memutuskan untuk melakukan eksperimen guna mencari tahu apa yang akan terjadi. Di atap kampus Caltech di Pasadena, California, Hajimiri dan beberapa ilmuwan lainnya berhasil menangkap sinyal Maple. Energi yang mereka deteksi terlalu kecil untuk digunakan, tetapi mereka berhasil mentransmisikan listrik secara nirkabel dari luar angkasa.
Memproduksi tenaga surya di luar angkasa bukanlah ide yang rumit. Manusia dapat memanfaatkan energi Matahari yang luar biasa besar di luar angkasa. Matahari merupakan sumber listrik yang selalu tersedia, tidak terpengaruh oleh cuaca buruk, tutupan awan, waktu malam, atau musim. Ada banyak ide untuk melakukan hal ini, tetapi metode kerjanya seperti ini. Satelit bertenaga surya dengan diameter lebih dari 1,6 km diluncurkan ke orbit ketinggian tinggi. Karena ukuran strukturnya yang masif, satelit-satelit tersebut terdiri dari ratusan ribu modul yang lebih kecil dan diproduksi secara massal, seperti balok Lego, yang dirakit di luar angkasa oleh robot otonom.
Panel surya satelit akan mengumpulkan energi matahari, mengubahnya menjadi gelombang mikro, dan mengirimkannya secara nirkabel ke Bumi melalui pemancar sinyal yang sangat besar, yang dapat ditransmisikan ke lokasi tertentu di permukaan bumi dengan presisi tinggi. Gelombang mikro dapat dengan mudah menembus awan dan cuaca buruk, menuju antena penerima di Bumi. Kemudian, gelombang mikro tersebut diubah kembali menjadi listrik dan disalurkan ke jaringan listrik.
Antena penerima berdiameter sekitar 6 kilometer dan dapat dibangun di darat maupun lepas pantai. Karena struktur kisi-kisinya hampir transparan, lahan di bawahnya dapat digunakan untuk panel surya, pertanian, atau kegiatan lainnya. Satu satelit pemanen surya di luar angkasa dapat menyediakan listrik sebesar 2 gigawatt, setara dengan dua pembangkit listrik tenaga nuklir berukuran sedang di Amerika Serikat.
Kendala utama teknologi ini adalah tingginya biaya penempatan pembangkit listrik di orbit. Selama dekade terakhir, hal ini mulai berubah seiring perusahaan seperti SpaceX dan Blue Origin mulai mengembangkan roket yang dapat digunakan kembali. Biaya peluncuran kini sekitar $1.500 per kilogram, sekitar 30 kali lebih murah dibandingkan era pesawat ulang-alik di awal 1980-an.
Para pendukung gagasan ini mengatakan bahwa tenaga surya berbasis luar angkasa dapat menyediakan energi bagi negara-negara maju yang memiliki kebutuhan energi besar tetapi kekurangan infrastruktur. Tenaga surya ini juga dapat melayani banyak kota dan desa terpencil di Arktik yang berada dalam kegelapan total selama berbulan-bulan setiap tahun, dan membantu masyarakat yang kehilangan listrik akibat bencana alam atau konflik.
Meskipun masih ada jalan panjang antara konsep dan komersialisasi, pemerintah dan perusahaan di seluruh dunia yakin bahwa tenaga surya luar angkasa dapat memenuhi permintaan listrik bersih yang terus meningkat dan membantu mengatasi krisis iklim. Di AS, Laboratorium Penelitian Angkatan Udara berencana meluncurkan wahana eksperimental kecil bernama Arachne pada tahun 2025. Laboratorium Penelitian Angkatan Laut AS meluncurkan modul pada Mei 2020 pada wahana uji orbital untuk menguji perangkat keras pembangkit listrik tenaga surya dalam kondisi luar angkasa. Akademi Teknologi Luar Angkasa Tiongkok menargetkan untuk meluncurkan satelit baterai surya ke orbit rendah pada tahun 2028 dan orbit tinggi pada tahun 2030.
Pemerintah Inggris telah melakukan studi independen dan menyimpulkan bahwa pembangkit listrik tenaga surya di luar angkasa secara teknis layak dengan desain seperti CASSIOPeiA, satelit sepanjang 1,7 km yang dapat menghasilkan daya 2 gigawatt. Uni Eropa juga sedang mengembangkan program Solaris untuk menentukan kelayakan teknis pembangkit listrik tenaga surya di luar angkasa.
Di California, Hajimiri dan timnya telah menghabiskan enam bulan terakhir untuk menguji coba prototipe guna mengumpulkan data desain generasi mendatang. Tujuan utama Hajimiri adalah serangkaian layar ringan fleksibel yang dapat diangkut, diluncurkan, dan dibuka di luar angkasa, dengan miliaran komponen yang bekerja secara sinkron sempurna untuk menyalurkan energi ke tempat yang membutuhkan.
An Khang (Menurut CNN )
[iklan_2]
Tautan sumber
Komentar (0)