Insiden "foto ular yang direkayasa untuk diambil" dalam kontes "Wild Nature Dance" baru-baru ini menjadi momen perenungan. Penyelenggara terpaksa menarik salah satu hadiah pertama hanya beberapa hari setelah pengumuman karena karya tersebut terbukti melanggar prinsip dan peraturan kontes secara serius (hanya foto alam yang diperbolehkan, tidak boleh ada intervensi, pengaturan, atau rekayasa). Insiden ini sekali lagi menjadi peringatan bagi komunitas fotografi: di era teknologi, di mana batas antara kreativitas dan kepalsuan!?
Fotografi bukan hanya alat untuk merekam realitas, tetapi juga bentuk seni unik yang mencerminkan ritme kehidupan dan kedalaman jiwa manusia melalui setiap momen. Tidak seperti banyak bentuk seni lainnya, fotografi berkaitan erat dengan kemajuan sains dan teknologi . Dari kamar gelap yang sempit hingga kamera digital, dari lensa mekanis hingga kecerdasan buatan (AI), setiap langkah maju dalam teknologi membuka ruang kreatif baru, rentang kreativitas yang luas, kuat, dan hampir tak terbatas bagi fotografer.
Namun, teknologi, semodern apa pun, tetaplah sekadar sarana. Nilai seni sejati selalu terletak di tangan, pikiran, dan terutama, hati sang fotografer. Sebuah foto yang indah bukan hanya karena cahaya yang tepat atau komposisi yang sempurna, melainkan karena mengandung emosi—getaran tulus yang dikirimkan sang seniman pada momen tersebut. Seorang fotografer sejati tidak hanya "memotret" dengan lensa, tetapi dengan hati.
Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, ketika kompetisi, penghargaan, dan gelar semakin banyak bermunculan, aura kesuksesan terkadang membuat fotografer mudah tersesat. Beberapa orang begitu asyik mengejar penghargaan, like, atau ketenaran sehingga melupakan nilai-nilai inti fotografi: kejujuran dan kemanusiaan. Akibatnya, siklus "pemberian - opini publik - pencabutan penghargaan" yang malang masih terjadi dari waktu ke waktu, merusak kepercayaan publik terhadap seni fotografi.
Selain pencipta, juri juga memainkan peran yang sangat penting. Dalam konteks teknologi yang terus berubah setiap harinya, kriteria penilaian karya perlu diperbarui secara lebih ketat, dengan memadukan keahlian, imparsialitas, dan tanggung jawab. Penghargaan yang diberikan kepada orang yang tepat, dengan nilai yang tepat, tidak hanya menghormati penulis, tetapi juga meneguhkan prestise kontes dan membangun kepercayaan abadi bagi para pencinta fotografi.
Fotografi adalah seni momen, tetapi untuk mengabadikan momen yang mengharukan, fotografer harus berkomitmen, sabar, dan hidup sepenuhnya bersama subjeknya. Foto-foto abadi seringkali lahir dari empati yang mendalam: dari mata seorang ibu di pasar sore, senyum polos seorang anak di dataran tinggi, hingga tangan kasar seorang pekerja… Tak ada perangkat lunak, tak ada teknik yang mampu menciptakan emosi senyata itu.
Teknologi, terutama kecerdasan buatan, jika ditempatkan pada tempat yang tepat, akan menjadi perpanjangan dari kreativitas. Namun, jika orang kehilangan kesadaran profesionalnya, secanggih apa pun tekniknya, foto akan tetap menjadi cangkang kosong. Bagaimanapun, fotografi adalah perjalanan keindahan dan kebenaran, di mana seniman harus menghormati subjek yang difoto, menghormati emosinya sendiri dan emosi pemirsa.
Oleh karena itu, insiden "pemotretan ular" ini bukan hanya kisah sedih, tetapi juga pengingat yang berharga. Penghargaan dapat diberikan dan kemudian ditarik kembali, tetapi kepribadian dan reputasi profesional—jika dibangun dengan semangat dan kejujuran—akan bertahan lama.
Di era digital , ketika siapa pun bisa memegang kamera dan memotret, nilai sejati fotografi bukanlah jumlah foto yang dihasilkan, melainkan jumlah momen nyata yang benar-benar disentuh oleh sang seniman. Teknologi mungkin berubah setiap hari, tetapi "hati" sang fotografer selalu merupakan lensa yang paling jernih, yang membantu seni fotografi menyentuh hati para penikmatnya dan abadi.
DOAN HOAI TRUNG , Ketua Asosiasi Fotografi Kota Ho Chi Minh
Sumber: https://www.sggp.org.vn/ranh-gioi-giua-sang-tao-va-gia-tao-post823669.html






Komentar (0)