Ketika saya berusia 3 tahun, di usia yang memungkinkan saya mengamati dan mengingat hal-hal menarik di alam bawah sadar saya, Ibu menggandeng tangan saya dan pergi ke pasar untuk berdagang. Bahu beliau penuh dengan tumpukan alang-alang yang berat untuk dijual ke rumah-rumah yang khusus membuat tikar. Meskipun tumpukan alang-alang itu tampak ringan, ketika dikumpulkan, beratnya jauh lebih berat dibandingkan dengan bahu kurus seorang perempuan yang beratnya hanya sekitar 45 kilogram.
Rumahnya sekitar 5 km dari pasar. Ibu memanfaatkan waktu ketika kabut mulai gelap untuk membawa beban. Saya mengikutinya dari dekat, melihat keringat menetes dari bahu hingga punggung, membasahi bajunya. Bahu yang sibuk, memikul beban kekhawatiran di tengah kesibukan hidup.
Ketika saya kelas satu SD, karena harus membeli lebih banyak perlengkapan sekolah, ibu saya harus mengambil pekerjaan tambahan berjualan kecap ikan. Ia mendapatkan kecap ikan dari kenalan-kenalannya, lalu menuangkannya ke dalam botol-botol kecil dan menjualnya kepada teman-teman dekatnya. Pekerjaan itu menjadi lebih mudah ketika ibu saya "meminjam" sepeda tua dari rumah kakek-nenek saya untuk mengangkut kecap ikan tersebut dan menjualnya. Ibu saya menggunakan palang kayu tebal di atas sadel sepeda. Di kedua sisinya, ia membawa keranjang untuk menampung sekitar 10 botol kecap ikan yang telah disuling. Ibu saya mendudukkan saya di jok belakang dan mengantar saya berjualan bersamanya.
Saat itu, aku melihat dengan jelas, keringat masih menetes, membasahi seluruh ujung bajunya. Bahunya yang tadinya tidak lurus kini jelas miring ke kanan. Aku duduk di sana, mengamati dengan saksama tanpa sadar, memastikan apakah aku salah lihat. Tapi ternyata benar! Bahu Ibu memang miring karena beban keluarga, tetapi ia tak pernah mengeluh sedikit pun.
Setelah bertahun-tahun bekerja keras, Ibu kini memiliki kesempatan untuk beristirahat dan berkumpul bersama anak-anak dan cucu-cucunya. Terkadang saya memanfaatkan kesempatan itu untuk memijat bahunya dengan lembut untuk meredakan rasa sakitnya. Sering kali, hanya karena tak sengaja berjalan di belakangnya atau melihatnya dari jauh, mata saya terasa perih dan air mata pun jatuh tanpa sadar.
Tak hanya rasa terima kasihku pada Ibu, aku juga berutang maaf pada pundaknya. Karena telah menanggung segala kesulitan hidup demi kami, sehingga kami bisa menjadi diri kami yang sekarang. Ibu memikul hidup dengan kedua pundaknya. Ibu memikul masa depan anak-anaknya dengan pengorbanan dan kasih sayang keibuannya yang besar. Izinkan aku meminta maaf pada pundakmu yang kurus, Bu!
Duc Bao
Sumber: https://baodongnai.com.vn/van-hoa/chao-nhe-yeu-thuong/202510/thuong-doi-vai-gay-cua-me-70d26c0/
Komentar (0)