
Jepchirchir (kanan) dan Assefa keduanya pelari dari Afrika Timur - Foto: REUTERS
Peres Jepchirchir dari Kenya memenangkan medali emas maraton putri di Kejuaraan Atletik Dunia 2025 dengan selisih waktu 2 jam, 24 menit, dan 43 detik. Peraih medali perak dari Ethiopia, Tigst Assefa, hanya tertinggal dua detik.
Dominasi kelompok Afrika Timur
Sebuah perlombaan yang khas, karena selama lebih dari 3 dekade, lomba lari jarak jauh (1.500 m ke atas) hampir menjadi ajang persaingan antara tiga negara Afrika Timur: Kenya, Etiopia, dan Uganda. Di antara ketiganya, Kenya sangat dominan.
Pada Olimpiade Paris 2024, Kenya memenangkan total 11 medali, semuanya dari cabang lari. Empat di antaranya adalah emas—800m putra, 1.500m putri, 5.000m putri, dan 10.000m putri. Ethiopia tak jauh tertinggal dengan nama-nama legendaris seperti Kenenisa Bekele atau Haile Gebrselassie—yang memecahkan rekor dunia untuk 10.000m dan maraton. Uganda, meskipun lebih kecil, telah bangkit dengan pesat berkat Joshua Cheptegei—juara dunia 10.000m tahun 2019 dan 2023, yang juga memegang rekor dunia untuk 5.000m dan 10.000m.
Menurut statistik Atletik Dunia, sejak tahun 2000, lebih dari 70% medali di nomor lari 5.000m dan 10.000m putra di Olimpiade diraih oleh atlet dari ketiga negara ini. Di nomor maraton, Kenya dan Etiopia bergantian mendominasi, dari Eliud Kipchoge hingga Abebe Bikila, menciptakan tradisi yang disebut dunia sebagai "kekuatan dataran tinggi".
Apa yang menyebabkan fenomena ini?
Pertama-tama, faktor geografis sangatlah penting. Ketiga negara memiliki dataran tinggi dengan ketinggian berkisar antara 2.000 m hingga lebih dari 2.500 m di atas permukaan laut. Tempat-tempat seperti Iten atau Eldoret (Kenya), Bekoji (Etiopia), atau Kapchorwa (Uganda) telah menjadi "tempat lahir" atletik dunia. Udara tipis di dataran tinggi memaksa tubuh untuk beradaptasi dengan memproduksi lebih banyak sel darah merah, sehingga meningkatkan kemampuan mengangkut oksigen.
Keunggulan ini terlihat jelas saat berkompetisi di permukaan laut. Sebuah analisis dalam Journal of Applied Physiology (2017) menyatakan: "Tinggal dan berlatih jangka panjang di lingkungan dataran tinggi menciptakan efek fisiologis jangka panjang yang tidak dapat sepenuhnya ditiru oleh kamp pelatihan jangka pendek di Eropa atau AS."
Genetika juga berperan. Suku Kalenjin di Kenya, Oromo di Etiopia, dan Sabiny di Uganda memiliki tipe tubuh yang dianggap optimal untuk lari ketahanan: tinggi, ramping, berkaki panjang, dan pergelangan kaki serta pergelangan tangan kecil.
Ahli genetika Yannis Pitsiladis (Universitas Glasgow) - yang memiliki banyak tahun penelitian tentang kelompok etnis Afrika Timur - percaya bahwa ini membantu mengurangi konsumsi energi di setiap langkah, sehingga meningkatkan kinerja lari jarak jauh.

Peres Jepchirchir, dari Kenya, memenangkan medali emas maraton putri di Kejuaraan Atletik Dunia 2025 dengan waktu 2 jam 24 menit 43 detik - Foto: REUTERS
Berlari untuk keluar dari kemiskinan
Aspek sosial-budayalah yang benar-benar membuat perbedaan. Di pedesaan Kenya atau Etiopia, anak-anak seringkali harus berlari berkilo-kilometer ke sekolah setiap hari. Berdiri sejak usia dini membuat daya tahan tubuh berkembang secara alami. Bagi banyak anak muda Kenya, berlari bukan sekadar olahraga, melainkan kesempatan untuk mengubah hidup mereka.
Lingkungan pelatihan di dalam negeri juga sangat ketat. Di Kenya, ribuan atlet muda bersaing memperebutkan tempat di Iten dan Eldoret setiap tahun. Persaingan yang ketat memaksa mereka untuk mencapai hasil kelas dunia agar terpilih untuk berkompetisi. Demikian pula di Ethiopia, kota kecil Bekoji telah melahirkan legenda seperti Derartu Tulu, Kenenisa Bekele, dan Tirunesh Dibaba.
Kesamaan lainnya adalah iklim. Dataran tinggi Afrika Timur sejuk sepanjang tahun, dengan curah hujan yang rendah, sehingga ideal untuk lari jarak jauh di luar ruangan. Sementara banyak negara mengandalkan stadion atau pusat kebugaran, atlet di Eldoret atau Arsi dapat berlatih di jalanan tanah merah sepanjang tahun, menciptakan ketahanan alami.
Mustahil untuk tidak menyebutkan kekuatan semangat. Bagi orang Afrika Timur, medali atletik bukan hanya nilai olahraga, tetapi juga sumber kebanggaan nasional. Ikon maraton Kenya, Eliud Kipchoge, terkenal dengan ucapannya: "Lari adalah hidup. Ketika saya berlari, saya merasa bebas dan ingin membagikannya kepada dunia."
Ketika sains dan teknologi belum dibawa ke Afrika, dan sebaliknya, pelari dari daerah pegunungan yang miskin tidak memiliki kesempatan untuk berkompetisi di kompetisi dunia, dan lomba lari jarak jauh masih dipegang oleh orang kulit putih. Dalam dua dekade terakhir, Kenya, Etiopia, dan Uganda telah menunjukkan kepada dunia lari betapa hebatnya berlatih tanpa alas kaki di tanah tandus.
Sumber: https://tuoitre.vn/vi-sao-nguoi-kenya-chay-khoe-20250914210244604.htm






Komentar (0)