Pada bulan Agustus 2024, saat berada di Dubai untuk merayakan ulang tahunnya, Tareq Amin, seorang eksekutif senior perusahaan minyak nasional Aramco, menerima telepon pukul 2 pagi. Penelepon tersebut adalah seorang ajudan Putra Mahkota Mohammed bin Salman, yang memintanya untuk segera terbang ke Riyadh untuk sebuah pertemuan mendesak. Pertemuan tersebut bukan tentang minyak, melainkan tentang strategi AI nasional.
Panggilan tengah malam itu tidak hanya mengganggu liburan seorang pemimpin, tetapi juga melambangkan urgensi dan tekad Arab Saudi dalam perlombaan teknologi global.
Kerajaan yang dulu dikenal sebagai raksasa minyak ini kini bertaruh pada masa depan di mana ia tidak hanya mengekspor minyak mentah, tetapi juga “sumber daya” era digital yang lebih berharga: daya komputasi.
Langkah ini merupakan bagian dari rencana ambisius yang disebut "Visi 2030," peta jalan strategis untuk mendiversifikasi ekonomi , mengurangi ketergantungan pada minyak dan mengubah Arab Saudi menjadi pusat kekuatan teknologi.

Seiring berakhirnya era minyak, negara-negara Teluk menggelontorkan miliaran dolar untuk infrastruktur AI, dengan harapan dapat mengubah “kekuatan komputasi” menjadi ekspor energi baru di abad ke-21 (Foto: New York Times).
Kekuatan komputasi adalah minyak baru
"Daya komputasi adalah minyak baru," kata Mohammed Soliman, seorang peneliti di Middle East Institute di Washington. Frasa ikonis ini merangkum strategi transformasi seluruh kawasan Teluk. Jika minyak memicu revolusi industri abad ke-20, maka daya komputasi dan data AI akan mendefinisikan abad ke-21.
Arab Saudi berada dalam posisi unik untuk mewujudkan visi ini. Hanya sedikit negara yang dapat menandingi tiga faktor kunci yang dibutuhkan untuk menjalankan pusat data besar dan haus daya yang mendukung AI: energi murah, modal melimpah, dan lahan luas.
Jonathan Ross, CEO Groq, produsen cip AI asal Amerika, sangat ingin menunjukkan keuntungan ekonomi dari strategi ini. "Salah satu hal tersulit untuk diekspor adalah energi. Anda harus mengangkutnya, yang mana mahal," ujarnya. "Data murah untuk dipindahkan."
Gagasan Arab Saudi jelas: alih-alih mengekspor energi fisik, mereka akan mengimpor data, menggunakan energi mereka yang melimpah untuk memproses, menghitung AI, dan kemudian mengekspor kecerdasan buatan yang dihasilkan ke seluruh dunia .
Humain - Aramco di era AI
Untuk mewujudkan rencana besar ini, Putra Mahkota Mohammed mendirikan Humain pada bulan Mei, sebuah perusahaan milik negara yang digambarkan sebagai "Aramco di era AI."
Didukung oleh dana kekayaan negara (PIF) yang hampir mencapai $1 triliun, Humain memiliki misi untuk menyatukan inisiatif AI, membangun infrastruktur, dan menempatkan Arab Saudi di peta teknologi. Tareq Amin, pria yang menerima panggilan pukul 2 pagi, diangkat menjadi CEO Humain.
Tujuan Humain sangat berani: menangani sekitar 6% beban kerja AI global dalam beberapa tahun ke depan, naik dari kurang dari 1% saat ini. Jika berhasil, Arab Saudi dapat naik ke posisi ketiga di dunia dalam hal kekuatan komputasi AI, hanya di belakang AS dan Tiongkok.
Serangkaian proyek besar sedang berlangsung. Tiga kompleks pusat data besar sedang dibangun, dengan biaya operasional untuk tugas-tugas AI dikatakan setidaknya 30% lebih murah daripada di AS.
Di wilayah barat laut dekat Laut Merah, sebuah pusat data senilai $5 miliar sedang direncanakan, cukup kuat untuk melayani para programmer hingga ke Eropa. Di seberangnya, megaproyek lain menyasar pasar Asia dan Afrika. Perusahaan seperti DataVolt dan Aramco Digital bermitra dengan raksasa teknologi seperti Groq untuk membangun "pusat data inferensi AI terbesar di dunia".
Berjalan di atas tali antara AS dan Tiongkok
Ambisi Riyadh menempatkannya di tengah tarik-menarik geopolitik paling sengit saat ini: perang teknologi AS-Tiongkok. Inti dari setiap pusat data AI adalah chip semikonduktor canggih, dan untuk saat ini, AS memegang kunci teknologi ini.
Arab Saudi sedang dalam pembicaraan mendalam dengan raksasa teknologi AS. Para pemimpin OpenAI, Google, Microsoft, Qualcomm, dan Intel hadir dalam konferensi "Davos in the Desert".
Humain telah menandatangani kesepakatan chip dengan Nvidia, AMD, dan Qualcomm, serta bermitra dengan Amazon untuk membangun infrastruktur. Bahkan ada pembicaraan tentang penyediaan daya komputasi untuk perusahaan xAI milik Elon Musk.
Namun, Washington masih ragu-ragu. Para pejabat AS khawatir dengan hubungan Riyadh yang semakin erat dengan Beijing, dan mereka khawatir teknologi cip canggih AS dapat diselundupkan ke Tiongkok. Hal ini telah menunda persetujuan akhir untuk kesepakatan cip senilai miliaran dolar.
Sementara itu, perusahaan-perusahaan Tiongkok seperti DeepSeek telah menggunakan pusat data Aramco. Para peneliti Tiongkok juga dikabarkan memiliki akses ke superkomputer di universitas-universitas terkemuka di kerajaan tersebut.
Pangeran Mohammed sejauh ini berusaha menjaga keseimbangan, tidak memihak. Beberapa pejabat AS percaya mungkin lebih baik membiarkan teknologi AS dan Tiongkok bersaing langsung di "kandang" Arab Saudi, menjadikannya arena teknologi paralel yang unik.

Arab Saudi disebut-sebut sebagai pusat baru infrastruktur kecerdasan buatan (AI) berkat surplus energinya yang besar (Foto: The American Bazaar).
Perlombaan regional dan tantangan internal
Ambisi Arab Saudi tidak terjadi begitu saja. Pesaing terbesarnya adalah tetangganya, Uni Emirat Arab (UEA), yang sedang membuat kemajuan pesat dan kini dianggap sebagai pemimpin regional dalam aplikasi AI.
PwC memprediksi bahwa pada tahun 2030, AI dapat berkontribusi sebesar 13,6% terhadap PDB UEA, dibandingkan dengan 12,4% untuk Arab Saudi. Jika prediksi ini menjadi kenyataan, Arab Saudi dapat menempati peringkat keempat dunia dalam hal kemampuan AI, setelah UEA.
Selain itu, kerajaan juga menghadapi tantangan internal yang signifikan. Arab Saudi sangat kekurangan pakar AI dan sumber daya manusia berteknologi tinggi.
Meskipun pemerintah sedang menggalakkan program pelatihan dan menerbitkan visa emas untuk menarik bakat, membangun kumpulan pakar lokal membutuhkan waktu. Selain itu, pusat data mengonsumsi listrik dan air dalam jumlah besar untuk pendinginan, sebuah masalah yang sulit bagi negara dengan salah satu iklim terpanas dan terkering di dunia.
Untuk mengatasi beberapa kekhawatiran tersebut, Arab Saudi sedang mempertimbangkan model inovatif seperti "zona duta data", yang memungkinkan perusahaan asing beroperasi sesuai hukum negara asal mereka, sehingga mengurangi hambatan keamanan dan hukum.
Terlepas dari skeptisisme dan tantangan yang ada, skala dan kecepatan transformasi Arab Saudi tak terbantahkan. Dari pinggiran Riyadh hingga pesisir Laut Merah, pembangunan pusat data terus berjalan lancar.
Miliaran dolar digelontorkan tidak hanya untuk infrastruktur tetapi juga untuk mengembangkan model bahasa besar (LLM) dalam bahasa Arab, guna menciptakan produk AI lokal yang dapat melayani kawasan tersebut dengan lebih baik.
"Mereka mungkin tidak mencapai semua tujuan mereka," kata Vivek Chilukuri, seorang peneliti senior di Center for a New American Security, "tetapi mereka pasti akan melangkah lebih jauh daripada yang diperkirakan para skeptis."
Sumber: https://dantri.com.vn/kinh-doanh/a-rap-xe-ut-tham-vong-bien-ai-thanh-dau-mo-moi-xuat-khau-ra-the-gioi-20251028154803526.htm






Komentar (0)