Karena berbagai alasan, pemilu AS 2024 menarik perhatian khusus dari ASEAN, dengan negara-negara anggota berharap untuk cepat beradaptasi dengan perubahan kebijakan dari pemerintahan berikutnya di Washington.
Beberapa laporan tentang hubungan ASEAN-AS
Pemilu AS 2024 mendominasi diskusi di antara pejabat pemerintahan Biden-Harris, akademisi, pakar independen, dan jurnalis ASEAN yang berpartisipasi dalam Program Pelaporan Kerja Sama Ekonomi ASEAN-AS, yang diselenggarakan oleh Misi AS untuk ASEAN (Indonesia) dan East-West Center (Hawaii) pada akhir Oktober dan awal November.
Pertukaran tersebut mencerminkan minat pers ASEAN khususnya dan setiap negara anggota ASEAN secara umum terhadap hasil pemilu AS 2024.
Ketidakpastian dan Kontinuitas
Salah satu pertanyaan yang mengemuka dalam diskusi selalu berfokus pada perlunya menganalisis situasi pemilu AS antara kandidat presiden dua partai, serta dampak potensial terhadap masing-masing negara ASEAN dan seluruh blok jika kandidat Republik atau Demokrat memenangkan pemilu pada tanggal 5 November.
Dalam sebuah pertemuan, Dr. Satu Limaye, Direktur Kantor Washington East-West Center dan Wakil Presiden pusat tersebut, membahas laporan berjudul "Asia Melampaui Ketidakpastian dan Kelangsungan Kebijakan Regional AS dalam Konteks Pemilu 2024". ASEAN merupakan bagian penting dari kebijakan bersama di kawasan ini.
"Ketidakpastian" yang dirasakan Asia bersumber dari berbagai faktor, menurut laporan tersebut, dan intensitasnya bervariasi di setiap negara. Sebagai contoh, Filipina ditemukan sebagai salah satu negara yang paling khawatir akan konsekuensi mengerikan dari hilangnya dukungan dari pemerintahan baru AS.
Selain itu, ketidakpastian juga muncul akibat kurangnya pemahaman yang jelas tentang informasi yang dapat diandalkan mengenai dinamika politik AS, termasuk kebijakan luar negeri dan hubungan ekonomi global. Akibatnya, negara-negara ASEAN kesulitan menemukan langkah-langkah efektif untuk merespons tren yang muncul dalam kebijakan AS, belum lagi kejutan-kejutan tak terduga yang mungkin terjadi.
Laporan tersebut mengutip beberapa contoh spesifik ketidakpastian, seperti pertikaian antara kedua kandidat mengenai sikap pemerintah Washington terhadap Ukraina, dan meningkatnya proteksionisme di dalam partai Republik dan Demokrat.
Sebaliknya, tema “kontinuitas” mengacu pada fakta bahwa banyak negara Asia, termasuk anggota ASEAN, telah bekerja sama dengan calon presiden dari Partai Republik Donald Trump selama masa jabatan pertamanya (2017-2021) dan pemerintahan Biden-Harris melalui kunjungan Wakil Presiden Kamala Harris, calon dari Partai Demokrat.
Para pemilih Amerika pergi ke tempat pemungutan suara di Washington DC pada tanggal 5 November.
Akibatnya, negara-negara ASEAN merasa cukup percaya diri dalam menangani hubungan dengan AS, terlepas dari siapa pun yang menang. Mereka juga menganalisis bahwa meskipun terdapat banyak kejutan, terutama dalam kasus terpilihnya Trump, beberapa aspek kunci kebijakan AS masih dapat diprediksi.
Misalnya, persaingan strategis terus terjadi antara AS dan China, dan Washington akan terus mengambil tindakan untuk menanggapi tantangan dari Beijing.
Dengan demikian, tantangan utama yang dihadapi sebagian besar Asia adalah bagaimana beradaptasi dan menangani kesinambungan kebijakan AS selama masa transisi pemerintahan.
Dalam konteks ini, sebagian besar negara kawasan memelihara hubungan dekat dengan Kongres AS, serta hubungan dengan badan-badan pembuat kebijakan luar negeri dan pertahanan di Washington.
Berdasarkan hubungan yang ada, pemerintah Asia merasa mereka masih dapat beradaptasi tepat waktu terhadap perubahan tak terduga dari pemerintahan AS yang akan datang.
Apa yang kurang dari Amerika di ASEAN?
Dalam pertemuan berikutnya dengan Andreyka Natalegawa, pakar Program Asia Tenggara di Center for Strategic and International Studies (CSIS, Washington DC), beliau berkomentar bahwa Asia Tenggara menerima perhatian lebih besar dari sebelumnya dari pemerintahan Washington saat ini. Namun, tingkat kesadaran dan pemahaman terhadap kawasan ini masih belum memadai.
Andreyka Natalegawa, Peneliti Program Asia Tenggara di Pusat Studi Strategis dan Internasional
Organisasi seperti CSIS berupaya menjembatani kesenjangan dan menemukan cara-cara efektif untuk memajukan hubungan ASEAN-AS. Semua ini terjadi di tengah beberapa pergeseran geostrategis penting, seperti meningkatnya persaingan AS-Tiongkok di kawasan ini, ujar Natalegawa.
Dr. Zack Cooper, peneliti senior di American Enterprise Institute (AEI, berpusat di Washington DC), juga mengatakan bahwa AS mengalami kesulitan menemukan cara yang efektif untuk bekerja sama dengan kawasan Asia Tenggara.
Dr. Zack Cooper, peneliti senior di American Enterprise Institute
Menurut pakar AEI, dibandingkan dengan ASEAN, AS lebih berfokus pada Quad, G7, dan AUKUS (perjanjian keamanan Inggris-AS-Australia). Oleh karena itu, ia menyatakan kekhawatirannya ketika berkomentar bahwa sejauh ini pemerintahan Washington belum memiliki rencana kerja sama kelembagaan yang jelas dengan ASEAN.
Namun, Dr. Cooper mengatakan bahwa keterlibatan Amerika di Asia Tenggara tidak akan berubah secara mendasar terlepas dari pihak mana yang memenangkan pemilu tanggal 5 November.
[iklan_2]
Sumber: https://thanhnien.vn/asean-va-bau-cu-my-nam-2024-185241230190837002.htm
Komentar (0)