Itu semua bukan hanya persyaratan teknis pemilu, melainkan juga standar spiritual, nilai-nilai sosial dan perilaku budaya yang perlu diciptakan dan dipupuk agar batin Partai selaras dengan hati nurani rakyat, sehingga suara menjadi energi untuk memajukan cita-cita membangun Vietnam yang tangguh dan sejahtera pada masa jabatan yang baru.
Budaya demokrasi - dari hak hingga tanggung jawab
Dalam pidatonya, Sekretaris Jenderal To Lam menekankan sebuah kebenaran yang telah menjadi fondasi rezim kita: "Semua kekuasaan adalah milik rakyat; Negara kita adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat ." Namun, yang lebih penting adalah semangat budaya yang tersembunyi di balik pepatah itu - budaya demokrasi, budaya kepercayaan, tanggung jawab, dan aspirasi untuk membangun masa depan negara dengan suara sendiri.
Surat suara, sebagaimana Sekretaris Jenderal menyebutnya, adalah "simbol kepercayaan yang nyata, kekuatan persatuan nasional, rasa tanggung jawab, dan tekad untuk menguasai negara rakyat kita." Surat suara bukan hanya instrumen hukum, hak konstitusional, tetapi terutama merupakan tindakan budaya. Suatu bangsa hanya benar-benar kuat ketika budaya demokrasi meresapi setiap warga negara, sehingga mereka memahami bahwa surat suara bukan hanya pilihan perwakilan tetapi juga pilihan jalur pembangunan bagi diri mereka sendiri, keluarga mereka, dan negara mereka.

Selama bertahun-tahun, kita telah terbiasa dengan citra hari pemilihan sebagai "festival untuk semua orang". Namun, sebagaimana diinstruksikan oleh Sekretaris Jenderal, tugas penting sekarang adalah menjadikan festival itu tak hanya gemilang dalam bentuk, tetapi juga mendalam dalam kesadaran. "Ini bukan sekadar memilih demi memilih" - sebuah ungkapan sederhana tetapi mengekspresikan tuntutan budaya yang besar: bergeser dari partisipasi pasif menjadi partisipasi aktif; dari formalitas menjadi pertimbangan serius; dari kepentingan pribadi menjadi tanggung jawab bersama.
Budaya demokrasi yang disebutkan oleh Sekretaris Jenderal tidak hanya muncul di tempat pemungutan suara, tetapi harus dipupuk jauh sebelum itu. Budaya demokrasi adalah proses peningkatan pengetahuan hukum masyarakat, forum untuk menghubungi pemilih, dialog dua arah antara pemerintah dan rakyat, serta penyebaran nilai-nilai diskusi yang terbuka, transparan, dan beradab. Ketika masyarakat memahami hukum pemilu, hak dan kewajiban mereka, mereka akan menjadikan memilih sebagai pilihan sadar, bukan kebiasaan atau tanggung jawab formal.

Dalam konteks transformasi digital yang kuat, Sekretaris Jenderal juga menekankan perlunya "mendorong penerapan teknologi informasi... untuk menjamin keselamatan, keamanan jaringan, dan kerahasiaan informasi" . Hal ini menunjukkan bahwa budaya demokrasi saat ini adalah budaya era digital: mengelola informasi secara bertanggung jawab, berhati-hati terhadap berita bohong dan argumen yang menyesatkan, serta mampu memanfaatkan dunia maya sebagai saluran untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, tetapi harus berdasarkan kebenaran dan hukum.
Yang lebih penting, budaya demokrasi tidak dapat diukur hanya dari partisipasi pemilih, tetapi harus dievaluasi dari kualitas partisipasi: apakah masyarakat memahami para kandidat? Apakah mereka mengikuti program aksi para kandidat? Apakah mereka benar-benar memandang suara mereka sebagai komitmen untuk masa depan? Ketika budaya demokrasi dipupuk, suara tersebut akan mencerminkan kecerdasan, keyakinan, dan aspirasi untuk bangkit dari setiap warga negara Vietnam.
Sebagaimana ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal, keberhasilan pemilu periode ke-16 “akan melanjutkan sumber demokrasi negara ini”, dan sumber tersebut hanya dapat benar-benar berkelanjutan apabila dimulai dengan kedewasaan budaya setiap warga negara. Budaya demokrasi adalah kekuatan lunak (soft power) negara hukum modern – di mana kekuasaan tidak hanya diberikan oleh Rakyat, tetapi juga dilestarikan, dipantau, dan dipupuk oleh budaya Rakyat.
Budaya representatif - persatuan nasional yang hebat
Sekretaris Jenderal To Lam memandang struktur perwakilan bukan hanya sebagai masalah organisasi, tetapi juga sebagai nilai budaya—budaya keberagaman, rasa hormat, dan solidaritas dalam perbedaan. Ketika Sekretaris Jenderal menegaskan bahwa Majelis Nasional dan Dewan Rakyat di semua tingkatan harus menjadi "wajah nyata dari blok persatuan nasional yang agung", hal itu bukan sekadar persyaratan proporsi, struktur, atau distribusi jabatan. Ini adalah pendekatan budaya terhadap politik: kesadaran bahwa persatuan nasional hanya dapat dibentuk dengan mendengarkan, menghormati, dan sepenuhnya mewakili berbagai suara dalam masyarakat.
Budaya representatif tercermin jelas dalam permintaan khusus Sekretaris Jenderal: memastikan keharmonisan antar delegasi muda, delegasi perempuan, delegasi etnis minoritas, delegasi intelektual, pekerja, petani, pengusaha, seniman, tokoh agama, dan sebagainya. Hal ini mengingatkan kita bahwa pembangunan negara bukanlah milik satu kelompok atau satu kelas, melainkan hasil kerja bersama seluruh komponen masyarakat. Keberagaman inilah yang menciptakan vitalitas, kreativitas, dan keberlanjutan sistem politik.

Namun, budaya representatif tidak dapat diukur hanya dengan angka; budaya tersebut harus ditunjukkan melalui cara kita berdialog. Ketika Sekretaris Jenderal menekankan bahwa konferensi konsultatif harus diselenggarakan "secara demokratis, objektif, terbuka, dan transparan", beliau menegaskan bahwa konsensus sosial tidak dapat terwujud tanpa dialog – dialog yang tulus, setara, dan tidak didominasi oleh kepentingan pribadi atau hambatan tak terlihat.
Dalam semangat tersebut, proses konsultasi bukan hanya proses prosedural, tetapi juga ruang budaya di mana masyarakat dapat menyuarakan pendapat mereka, di mana keprihatinan, harapan, dan kekhawatiran mereka didengarkan dan tercermin dalam struktur kekuasaan Negara. "Meningkatkan kedaulatan rakyat di sepanjang proses pemilu", sebagaimana ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal, merupakan fondasi budaya politik yang matang yang menghargai partisipasi dan kecerdasan rakyat.
Budaya dialog tersebut juga tercermin dalam cara penanganan pengaduan dan pengaduan warga terkait pemilu. Sekretaris Jenderal telah dengan jujur menunjukkan bahwa saat ini terdapat sekitar 210 pengaduan dan petisi yang masih tertunda dan meminta agar pengaduan dan petisi tersebut "diselesaikan sepenuhnya pada bulan Desember", agar tidak berlarut-larut, dan agar tidak menimbulkan kebencian di antara masyarakat. Ini bukan sekadar penanganan administratif, melainkan budaya hukum, di mana Negara sungguh-sungguh menghargai hak rakyat untuk mengajukan petisi, dengan sabar mendengarkan, dengan sabar menyelesaikan, dan dengan sabar mencari titik temu.
Secara lebih luas, budaya representasi dan budaya dialog merupakan syarat untuk menumbuhkan kepercayaan. Kepercayaan tidak hanya datang dari kata-kata, tetapi dari kemampuan sistem politik untuk secara akurat mencerminkan harapan, nilai, dan kebutuhan rakyat.
Dan sebagaimana ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal, hasil pemilu bukan sekadar daftar kandidat terpilih, melainkan konsolidasi "kekuatan persatuan nasional yang agung", kelanjutan upaya mendekatkan Partai dan Negara kepada Rakyat, serta evolusi budaya dalam sistem politik Vietnam. Oleh karena itu, budaya representatif dan budaya dialog merupakan metode sekaligus tujuan membangun negara hukum sosialis di era baru.
Budaya pelayanan publik - disiplin, integritas dan semangat pelayanan
Jika budaya demokrasi adalah fondasinya, budaya representatif adalah wajahnya, maka budaya pelayanan publik adalah jiwa aparatur negara. Dalam Konferensi tersebut, Sekretaris Jenderal To Lam meluangkan banyak waktu untuk menekankan standar perilaku tim kader—mereka yang secara langsung menyadari kekuatan rakyat dan memikul tanggung jawab untuk melindungi kepentingan nasional. Di sana, budaya pelayanan publik bukanlah konsep abstrak, melainkan sistem nilai yang jelas: disiplin, integritas, tanggung jawab, dan keberanian bertindak demi kebaikan bersama.

Sekretaris Jenderal meminta untuk secara tegas menyingkirkan sejak awal "orang-orang yang oportunis politik, haus kekuasaan, konservatif, faksional, lokal, tidak bergengsi, dan tidak etis". Frasa-frasa ini bukan hanya peringatan tentang risiko personal, tetapi juga penekanan pada norma budaya: tidak menoleransi korupsi dalam kekuasaan, tidak berkompromi dengan kepentingan kelompok, dan tidak menoleransi perilaku yang bertentangan dengan keyakinan rakyat.
Sebaliknya, tim delegasi harus dipilih dari mereka yang "benar-benar teladan dalam kualitas dan kapasitas", memiliki keberanian politik, berwawasan luas, memiliki pemikiran inovatif, berani berpikir - berani bertindak - berani bertanggung jawab. Itulah model budaya pelayanan publik di era baru: kader tidak hanya harus ahli dalam keahlian tetapi juga berkepribadian, tidak hanya mampu mengelola tetapi juga mampu memimpin, menggugah aspirasi, dan membangun kepercayaan rakyat. Sebagaimana ajaran Presiden Ho Chi Minh yang ditegaskan kembali oleh Sekretaris Jenderal: Para wakil rakyat harus "melupakan kepentingan pribadi demi kepentingan negara, melupakan kepentingan pribadi demi kebaikan bersama".
Inilah inti dari budaya pelayanan publik: mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi, mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan lokal; senantiasa menjaga kemurnian etika pelayanan publik, dengan menempatkan kehormatan, gengsi, dan kepercayaan rakyat sebagai tolok ukur keberhasilan tertinggi. Pemerintahan modern hanya dapat efektif ketika budaya pelayanan publik menjadi kekuatan internal, bukan sekadar mengandalkan aturan atau perintah administratif eksternal.
Lebih lanjut, Sekretaris Jenderal juga menekankan perlunya koordinasi yang lancar antarlembaga dalam sistem politik, penerapan teknologi informasi yang kuat, tetapi harus "memastikan keselamatan, keamanan jaringan, dan kerahasiaan data". Hal ini juga merupakan perwujudan budaya organisasi: bekerja secara ilmiah, transparan, dan bertanggung jawab dengan setiap data, setiap proses, dan setiap orang. Budaya pelayanan publik ini menuntut gaya profesional, bekerja secara menyeluruh, "tanpa formalitas, melakukan pekerjaan nyata, menugaskan orang dengan jelas, menugaskan tugas dengan jelas, dan mengalokasikan waktu dengan jelas", sebagaimana diarahkan oleh Sekretaris Jenderal.
Semua itu menunjukkan bahwa Sekretaris Jenderal sedang menetapkan standar baru budaya pelayanan publik untuk masa jabatan 2026-2031, sebuah "tahap kunci untuk mewujudkan dua tujuan strategis 100 tahun". Budaya pelayanan publik bukan hanya etika para pejabat, tetapi juga penggerak utama bagi aparatur negara untuk beroperasi secara efektif, fondasi bagi pikiran Partai agar selaras dengan hati nurani rakyat, sehingga negara dapat memasuki siklus pembangunan baru di era digital, dengan aspirasi untuk membangun "Vietnam yang kuat, makmur, dan sejahtera, dengan rakyat yang bebas, hangat, dan bahagia".
Dan ketika budaya demokrasi, budaya perwakilan, dan budaya pelayanan publik saling terhubung menjadi satu kesatuan, kita akan memiliki pemilu yang tidak hanya sukses dalam hal proses, tetapi juga sukses dalam hal nilai - di mana setiap suara adalah tindakan budaya, setiap delegasi adalah standar budaya, dan setiap keputusan adalah ekspresi budaya politik Vietnam di era baru.
Sumber: https://daibieunhandan.vn/ba-van-de-van-hoa-cot-loi-ve-cong-tac-bau-cu-nam-2026-10395870.html






Komentar (0)