(CLO) Di era digital, media tradisional sedang berjuang mengatasi krisis informasi. Para 'influencer' dan AI sedang menciptakan pertarungan sengit, yang memunculkan pertanyaan: akankah pers mempertahankan perannya sebagai 'penjaga gerbang' kebenaran, atau justru 'kewalahan' oleh informasi yang kacau?
Apakah 'influencer' mengubah lanskap media?
Kehebohan baru-baru ini terkait Steven Bartlett, seorang pengusaha dan podcaster populer di Inggris, yang mengizinkan tamunya membuat klaim liar tentang topik kesehatan yang sensitif, telah memicu perdebatan sengit. Banyak yang percaya bahwa, mengingat pengaruhnya, Bartlett harus bertanggung jawab atas apa yang ia sebarkan. Peralihannya dari konten bisnis ke konten kesehatan telah menggandakan jumlah audiensnya, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran tentang keakuratan informasinya.
Isu ini mencerminkan tren yang lebih luas: munculnya 'influencer berita' yang menggantikan media berita tradisional. Dalam lingkungan media baru, perhatian dan keterlibatan seringkali lebih diutamakan daripada keaslian, sehingga menimbulkan risiko penyebaran misinformasi.
Bapak Nguyen Cao Cuong, pakar media, dosen di Pusat Pengembangan Profesional, Asosiasi Jurnalis Vietnam .
Bapak Nguyen Cao Cuong, pakar media dan dosen di Pusat Pengembangan Profesional, Asosiasi Jurnalis Vietnam, berkomentar: "Kita hidup di dunia di mana informasi menyebar dengan sangat cepat. 'Influencer berita', dengan pengaruhnya yang kuat di media sosial, secara bertahap menjadi sumber informasi utama bagi banyak orang, terutama kaum muda. Hal ini menimbulkan tantangan besar: bagaimana membedakan kebenaran dari rumor di tengah 'lautan' informasi yang begitu luas?"
"Faktanya, pers perlahan-lahan kehilangan pijakan di hadapan para influencer ini," tambah Bapak Cuong. "Mereka bukan jurnalis, tetapi mereka memiliki kemampuan untuk menarik perhatian publik dengan cepat dan efektif. Yang mengkhawatirkan adalah banyak dari mereka mengambil informasi dari pers, tetapi tidak mematuhi prinsip-prinsip profesional, yang menyebabkan kemungkinan penyebaran misinformasi."
Bapak Cuong menekankan bahwa perubahan ini tidak hanya memengaruhi akurasi informasi, tetapi juga memengaruhi peran dan reputasi jurnalisme tradisional. "Seiring meningkatnya kepercayaan publik kepada 'influencer' daripada agensi pers, kita menyaksikan penurunan kepercayaan terhadap jurnalisme tradisional," ujarnya.
Menurut sebuah studi terbaru, hampir 40% anak muda di AS yang berusia di bawah 30 tahun secara teratur menerima berita dari influencer media sosial. Sementara itu, ruang redaksi tradisional perlahan menghilang, digantikan oleh ekosistem baru di mana interaksi dan konten yang menghebohkan lebih diutamakan daripada akurasi. Menurut Bapak Cuong, angka ini jauh lebih tinggi di Vietnam, di mana media sosial menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak muda.
Bapak Cuong menyatakan keprihatinannya tentang implikasi dari tren ini. "Ketika misinformasi menyebar dengan mudah dan cepat, kita menghadapi risiko 'kebisingan' informasi," ujarnya. "Hal ini menimbulkan pertanyaan mendesak tentang keakuratan informasi, akuntabilitas penyedia informasi, dan keberadaan pelaporan yang bertanggung jawab di era digital."
'Kotak hitam' algoritmik dan tanggung jawab penjaga informasi
Maraknya AI menimbulkan tantangan signifikan bagi jurnalisme, bukan hanya bagi para 'influencer'. Perusahaan teknologi besar menggunakan AI untuk membuat ringkasan berita, tetapi algoritma mereka bertindak sebagai 'kotak hitam', sehingga menyulitkan kita untuk mengontrol akurasi dan objektivitas informasi.
Algoritma 'kotak hitam' mengendalikan informasi, industri berita berisiko dimanipulasi.
"Jika masyarakat mengandalkan informasi yang dihasilkan melalui platform berbasis AI dan informasi tersebut tidak akurat, tidak lengkap, atau melanggar hak asasi manusia, kita perlu bertindak sekarang," ujar Lexie Kirkconnell-Kawana, CEO IMPRESS, badan regulator pers independen di Inggris. Ia menekankan urgensi pengendalian informasi dalam konteks penerapan AI yang semakin meluas.
Namun, mengatur platform teknologi ini merupakan tantangan besar. Bagaimana kita bisa mempertahankan standar editorial dan akuntabilitas ketika begitu banyak sumber yang membuat dan berbagi konten? Sebagian masalahnya berasal dari kesenjangan antara pengembang AI dan industri tempat perangkat mereka digunakan.
Senada dengan itu, Bapak Nguyen Cao Cuong mengatakan bahwa jika informasi yang dihasilkan oleh AI tidak akurat atau tidak lengkap, kita perlu segera bertindak. Beliau menekankan, "Perlu ada regulasi yang jelas dan sanksi yang tegas untuk memastikan transparansi dan tanggung jawab dalam ruang informasi."
Dalam konteks tersebut, peran pers menjadi semakin penting. "Pers perlu menjadi 'mercusuar' di tengah 'badai' informasi, menyediakan informasi yang akurat, objektif, dan tepercaya kepada publik," ujar Bapak Cuong. "Hal ini menuntut pers untuk berinvestasi dalam verifikasi informasi, peningkatan kualitas konten, dan membangun kepercayaan pembaca."
Bapak Cuong juga mengatakan bahwa pers perlu beradaptasi secara proaktif terhadap perubahan zaman. "Kita perlu memahami pasar, memantau perangkat yang sedang berkembang, dan menyesuaikan integrasi ketika dampak buruknya sudah jelas. Namun yang terpenting, kita membutuhkan kepemimpinan dan visi untuk melindungi nilai-nilai inti jurnalisme di era digital."
Ia menekankan bahwa agensi pers dan organisasi terkait seringkali cenderung konservatif, ingin mempertahankan status quo, dan mengatakan, "Lebih baik mempertahankan keadaan seperti ini; mari kita coba pertahankan selama mungkin." Hal ini menunjukkan bahwa konservatisme dan ketakutan akan perubahan menghambat perkembangan media.
Tantangan terbesar saat ini adalah mereka yang berkecimpung di industri media harus menyadari bahwa perubahan sedang terjadi. Namun, terdapat kekurangan kepemimpinan untuk memandu perubahan tersebut, serta kurangnya pemahaman tentang bagaimana memantau nilai-nilai inti yang ingin kita pertahankan, untuk memastikan nilai-nilai tersebut tetap kuat melewati perubahan ini.
"Hal ini membutuhkan kerja sama semua pemangku kepentingan, mulai dari jurnalis, platform teknologi, regulator, hingga pengguna," pungkasnya. "Hanya dengan demikian, kita dapat melindungi hak publik untuk mengakses informasi yang akurat dan mempertahankan peran jurnalisme di masyarakat."
Phan Anh
[iklan_2]
Sumber: https://www.congluan.vn/nhieu-tin-tuc-tu-nguoi-co-suc-anh-huong-va-thuat-toan-dinh-hinh-thong-tin-bao-chi-can-hanh-dong-post336726.html






Komentar (0)