Wartawan mengatakan pelecehan itu tidak hanya membahayakan keselamatan mereka tetapi juga melanggar hak hukum mereka.
Foto: IJN
Namun, jurnalis perempuan tetap berjaya meskipun menghadapi serangan-serangan ini. Liputan mereka yang kuat dan penuh tekad memainkan peran penting dalam membawa perubahan dalam masyarakat Pakistan.
Hambatan
Banyak tantangan yang dihadapi jurnalis perempuan di Pakistan berakar dari norma budaya dan tradisi. Kompetensi mereka sering dipertanyakan dan agensi enggan menugaskan mereka untuk meliput berita terkini.
“Stereotipe bahwa perempuan tidak mampu menangani berita sulit masih tersebar luas,” kata Sobia Saleem, seorang jurnalis di provinsi Sindh.
Jurnalis perempuan di Pakistan seringkali terpinggirkan dari peran kepemimpinan di industri media negara tersebut. Kesempatan bagi perempuan masih terbatas, terutama di kota-kota kecil.
Ibu Atiya, seorang jurnalis di provinsi Balochistan, menjelaskan bahwa meskipun lingkungan ekonomi dan sosial membaik dan telah membantu perempuan meraih peluang yang lebih baik, masih ada hambatan.
"Perempuan enggan memasuki bidang ini karena keterbatasan finansial dan norma sosial. Beberapa cerita tidak dapat diangkat karena kompleksitas masyarakat tradisional," ujarnya.
Sejak 2007, provinsi ini dilanda perang, tetapi catatan terperinci tentang penderitaan keluarga, terutama wanita dan anak-anak, jarang ada.
Gangguan
Antara tahun 2019 dan 2020, dua jurnalis perempuan, Shaheena Shaheen dan Urooj Iqbal, dibunuh di Pakistan. Pembunuhan ini telah meningkatkan kekhawatiran di kalangan jurnalis perempuan tentang keselamatan mereka saat bekerja. Aneela Shaheen, seorang jurnalis di provinsi Khyber Pakhtunkhwa, mengatakan kondisi kerja yang buruk, minimnya tunjangan seperti tidak adanya cuti hamil, dan kurangnya kebijakan anti-pelecehan di tempat kerja membuat jurnalis perempuan lebih berisiko dalam menjalankan pekerjaannya.
Nadia Choudhary, pakar media sosial dari Pakistan, mencatat bahwa pelecehan seksual juga marak. Meskipun media sosial telah menyediakan platform bagi perempuan untuk mengekspresikan pendapat, mengembangkan citra pribadi, dan mengasah keterampilan profesional, media sosial juga telah membuat mereka semakin rentan terhadap pelecehan daring. Ia menambahkan, hal ini semakin parah dalam masyarakat yang masih didominasi oleh pandangan konservatif tentang peran perempuan.
Perbaikan di masa mendatang
Ibu Saleem mengatakan bahwa pendidikan , pendampingan, dan reformasi di tempat kerja penting bagi perempuan untuk maju di industri media. Inisiatif-inisiatif ini dapat meruntuhkan hambatan dan menyuarakan suara perempuan. Ia menambahkan bahwa pelatihan praktis dan magang juga harus menjadi bagian dari upaya ini.
Universitas juga harus mempersiapkan perempuan menghadapi tantangan dunia nyata yang mungkin mereka hadapi. "Menutup kesenjangan ini melalui pendampingan dan pendidikan praktis dapat menginspirasi perempuan untuk menekuni jurnalisme, memicu perjalanan yang transformatif dan berdampak," ujarnya.
Penting bagi organisasi media untuk mendukung kebijakan yang inklusif dan berkeadilan gender. Ini termasuk mengadvokasi kuota gender, pelatihan, dan upaya untuk menghilangkan bias, ujar Ibu Choudhary, seraya menambahkan bahwa stereotip tentang apa yang boleh dan tidak boleh diliput oleh jurnalis perempuan harus dihilangkan. Hal ini akan membantu menciptakan lingkungan media yang adil di negara ini.
“Pengembangan jurnalisme harus diarahkan pada inklusivitas, di mana beragam suara, terutama suara perempuan, dapat berkembang secara autentik dan berkontribusi pada lanskap media yang lebih berimbang dan representatif,” kata Abdul Razaque Chhachhar, profesor studi media di Universitas Sindh.
Hoang Ton (menurut IJN)
[iklan_2]
Sumber
Komentar (0)