Perselisihan Fiskal dan Siklus Ketidakstabilan Baru
Krisis saat ini meletus setelah Perdana Menteri Francois Bayrou mengusulkan rencana pemangkasan belanja publik guna mengendalikan utang publik yang terus meningkat. Namun, rencana tersebut gagal mendapatkan dukungan dari blok-blok politik di Majelis Nasional, yang berujung pada mosi tidak percaya yang menjatuhkan pemerintahan Bayrou.
Dalam konteks tersebut, Presiden Emmanuel Macron segera menunjuk Menteri Pertahanan Sebastien Lecornu sebagai Perdana Menteri yang baru. Namun, pergantian personel tersebut tidak menyelesaikan masalah inti: Majelis Nasional saat ini sangat terpolarisasi, tanpa ada faksi yang memegang mayoritas, sehingga proses legislasi hampir lumpuh.
Keruntuhan pemerintahan bukan lagi fenomena langka dalam politik Prancis saat ini. Ini adalah ketiga kalinya dalam kurang dari dua tahun sebuah pemerintahan mengundurkan diri setelah gagal mencapai konsensus di Majelis Nasional. Situasi ini mencerminkan kenyataan yang mengkhawatirkan: sistem politik Prancis secara bertahap kehilangan kemampuannya untuk beroperasi secara stabil di tengah lingkungan multipartai yang semakin terfragmentasi.
Menurut France 24, koalisi sentris yang dipimpin Presiden Macron tidak lagi cukup kuat untuk memainkan peran sentral di Majelis Nasional. Sebaliknya, kekuatan oposisi memanfaatkan ketidakstabilan ini untuk meningkatkan pengaruh mereka, meskipun mereka tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menjalankan pemerintahan.
Dalam konteks seperti ini, Majelis Nasional pasti akan terjerumus ke dalam "perpecahan dan kebuntuan". Partai-partai politik dapat bersatu untuk memveto usulan kebijakan pemerintah, tetapi tidak dapat membangun alternatif yang berkelanjutan.
Runtuhnya pemerintahan Bayrou telah memicu gelombang reaksi beragam di masyarakat Prancis. Beberapa orang turun ke jalan untuk merayakan di depan balai kota sebagai bentuk protes terhadap pemerintah. Reaksi-reaksi ini menunjukkan bahwa ketidakpuasan publik semakin meningkat, terutama ketika masalah sosial-ekonomi seperti inflasi, biaya hidup, dan memburuknya layanan publik belum terselesaikan secara efektif. Kesenjangan antara kepemimpinan politik dan kehidupan nyata rakyat merupakan akar penyebab terus menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Situasi sulit bagi Presiden Emmanuel Macron
Menurut New York Times, krisis ini telah menempatkan Presiden Emmanuel Macron dalam posisi yang sulit. Dengan reputasinya yang sangat terpuruk (hanya sekitar 15% pemilih yang mempercayainya, menurut survei oleh Verian Group), ia menghadapi pilihan-pilihan berisiko tinggi.
Pilihan pertama adalah melanjutkan penunjukan perdana menteri baru, seperti dalam kasus Sebastien Lecornu, untuk menjaga stabilitas jangka pendek. Namun, jika Bapak Lecornu tidak dapat membangun mayoritas di Majelis Nasional, skenario kegagalan pemerintah lainnya sangat mungkin terjadi.
Pilihan kedua adalah mengadakan pemilihan umum parlemen lebih awal. Namun, mengingat perpecahan pemilih saat ini dan kecenderungan untuk mendukung partai oposisi, ini bisa menjadi pertaruhan yang berbahaya bagi pemerintah dan posisi Presiden Macron.
Pilihan terakhir dan terburuk bagi Presiden Macron adalah mengundurkan diri. Meskipun belum ada tanda-tanda yang jelas bahwa Macron akan mengambil langkah ini, seruan agar ia mengundurkan diri semakin meningkat dari partai-partai oposisi, termasuk partai France Undaunted pimpinan Jean-Luc Mélenchon dan beberapa politisi moderat yang pernah mendukung Presiden Macron.
Banyak pakar politik meyakini bahwa krisis saat ini bukan sekadar insiden sementara, tetapi merupakan manifestasi kelemahan struktural dalam sistem kelembagaan Prancis.
Dr. Alexander Kamkin, dari Universitas Keuangan di bawah Pemerintah Rusia, mengatakan bahwa kegagalan pemerintahan Bayrou dalam mengadopsi kebijakan fiskal merupakan akibat langsung dari kurangnya konsistensi dalam strategi pemerintahannya. Ia menekankan bahwa citra pribadi Presiden Macron telah merusak kredibilitasnya baik di dalam negeri maupun internasional, yang memengaruhi sentimen investor maupun peringkat kredit negara.
Sementara itu, Profesor Madya Dmitry Levi dari Universitas Negeri St. Petersburg memperingatkan bahwa seringnya pergantian perdana menteri dalam waktu singkat merupakan tanda krisis kelembagaan yang mendalam yang dapat berlangsung hingga pemilihan presiden mendatang. Selain itu, faktor penting lainnya adalah prioritas kebijakan luar negeri sementara isu-isu dalam negeri diabaikan, yang menyebabkan basis pemilih tradisional Presiden Macron, terutama kelas menengah dan sayap kiri moderat, semakin menjauh darinya.
Dengan partai-partai tradisional yang berada dalam posisi defensif, kekuatan sayap kanan, terutama National Rally (RN) pimpinan Marine Le Pen, muncul sebagai kekuatan potensial dalam pemilu mendatang. Sangat mungkin partai ini dapat meningkatkan pengaruhnya di Majelis Nasional, atau bahkan berhasil mencalonkan diri sebagai presiden, jika tren ketidakstabilan terus meluas.
Krisis politik yang sedang terjadi di Prancis bukan hanya merupakan peristiwa internal, tetapi juga merupakan tanda kesulitan dan tantangan yang dihadapi banyak negara Eropa. Ketika kepercayaan publik menurun dan efektivitas pemerintahan saat ini dalam mengelola negara dipertanyakan, reformasi komprehensif menjadi tak terelakkan.
Masa depan politik Prancis, serta kedudukan Presiden Emmanuel Macron, bergantung pada kemampuannya untuk menyajikan visi yang menyelaraskan kepentingan, memenuhi harapan pemilih, dan memulihkan stabilitas pada sistem politik yang goyah.
Hung Anh (Kontributor)
Sumber: https://baothanhhoa.vn/chinh-truong-phap-truoc-nhung-thach-thuc-moi-261084.htm






Komentar (0)