Dengan berpartisipasi di semua tahap produksi, AI sedang membentuk kembali industri jurnalisme dengan cara yang tak terbayangkan beberapa tahun lalu. Jika mesin dapat menulis, mengedit, dan mendistribusikan konten lebih cepat daripada kebanyakan manusia, apa yang tersisa bagi jurnalis di era AI? VietNamNet berdiskusi dengan pakar Dao Trung Thanh, Wakil Direktur Institut Teknologi Blockchain dan Kecerdasan Buatan ABAII, mengenai hal ini.
AI "melakukan pekerjaan manual" sehingga jurnalis dapat "melakukan pekerjaan intelektual"
AI kini sangat terlibat dalam proses jurnalisme. Bisakah Anda berbagi lebih lanjut tentang tugas spesifik AI dalam produksi jurnalisme?
Kita hidup di era di mana pertanyaannya bukan lagi apa yang bisa dilakukan AI, melainkan apa yang masih harus dilakukan para jurnalis. Mungkin terdengar mengejutkan, tetapi jika melihat keseluruhan rantai nilai proses jurnalisme, AI telah hadir dan menciptakan jejak yang tak terbantahkan.
Di ruang redaksi dalam dan luar negeri, AI berperan: mengumpulkan dan menganalisis berita; menulis draf dan meringkas konten; memeriksa informasi dan melawan berita palsu; mempersonalisasi dan mendistribusikan konten; serta memproduksi video secara otomatis. Di Vietnam, perangkat AI seperti ONECMS dapat memindai, mengklasifikasikan, dan mensintesis berita dari ratusan sumber secara otomatis – sesuatu yang tidak dapat dilakukan reporter secara manual dalam waktu singkat. Beberapa ruang redaksi juga menguji model seperti GPT untuk menyusun draf, sehingga menghemat waktu dan tenaga manusia.
Menurut yang Anda sampaikan, AI melakukan semua "pekerjaan manual" untuk jurnalis?
Benar sekali. Suatu hari nanti, jurnalis sejati akan menjadi orang yang menguasai "kerja otak": mengajukan pertanyaan yang tepat, menyampaikan kisah yang menarik, dan membela kebenaran di dunia yang penuh ketidakpastian. AI tidak mengambil alih pekerjaan jurnalis, melainkan hanya mengambil alih hal-hal yang seharusnya tidak menyia-nyiakan waktu jurnalis.
AI tidak tahu bagaimana merasakan sakit ketika menyaksikan ketidakadilan sosial
Dalam 5-10 tahun ke depan, bagaimana Anda memprediksi AI akan berkembang dan berdampak pada industri jurnalisme?
Jika laju evolusi AI saat ini, terutama model bahasa besar (LLM) dan AI multimodal, terus berlanjut, AI tidak hanya akan berperan sebagai asisten, tetapi juga rekan penulis dalam banyak aktivitas jurnalistik. Produksi konten terstruktur dan berulang – seperti penulisan laporan cuaca, laporan olahraga , dan laporan keuangan – akan diotomatisasi hingga 90%. Bahkan beberapa peran back-office seperti penyuntingan teknis, transkripsi, dan pemeriksa ejaan mungkin akan tergantikan hampir seluruhnya.

Namun, AI tidak akan sepenuhnya menggantikan jurnalis, terutama mereka yang terlibat dalam jurnalisme investigasi, komentar mendalam, penceritaan yang manusiawi, atau hubungan komunitas. Jurnalisme itu sendiri bukan hanya tentang menulis – melainkan tentang melihat apa yang tidak dilihat orang lain, dengan berani menanyakan apa yang orang lain takut tanyakan, dan menceritakan kisah dengan cara yang membuat pembaca melihat diri mereka sendiri di dalamnya. AI memang piawai dalam meringkas dan menafsirkan bahasa, tetapi tidak mengenal empati, tidak memiliki intuisi moral, dan tidak tahu bagaimana berduka ketika menyaksikan masyarakat yang tidak adil.
Menurut para ahli, bagaimana jurnalis di era AI akan berubah dibandingkan saat ini?
Saya yakin akan muncul generasi jurnalis baru yang tidak hanya pandai menulis, tetapi juga mahir dalam data, memahami cara bekerja dengan AI, memiliki pemikiran kritis, dan yang terpenting, memiliki "kompas moral" dalam matriks informasi. Ruang redaksi yang tahu cara menerapkan AI secara bijak akan beralih dari "pelaporan" menjadi "klarifikasi hakikat peristiwa", dari "produksi massal" menjadi "penceritaan yang dipersonalisasi".
Pertanyaan yang lebih besar bukanlah "Siapa yang akan menggantikan siapa?", tetapi siapa yang tahu bagaimana bekerja sama dengan AI untuk menghasilkan jurnalisme yang lebih baik? Sehebat apa pun teknologi, ia tetaplah sebuah sarana. Ketika sarana menjadi lebih kuat, etika para penulis harus lebih teguh.
Jurnalis tidak hanya harus melaporkan berita tetapi juga bertindak sebagai "filter etis"
Dengan AI yang terintegrasi secara mendalam ke dalam proses produksi jurnalisme, risiko potensial apa yang akan muncul jika mengandalkan AI, Pak?
Menurut pendapat saya, ada tiga risiko utama:
Pertama, risiko misinformasi dan disinformasi. AI dapat menciptakan berita yang menarik dari data, tetapi juga dapat memproyeksikan informasi yang tampak nyata tetapi sepenuhnya fiktif (halusinasi). Tanpa proses verifikasi yang ketat dan pengawasan manusia, AI sendiri dapat menjadi sumber misinformasi yang tidak disadari.
Kedua, hilangnya suara dan identitas artikel. Sebuah artikel bukan hanya kumpulan informasi, tetapi juga perspektif penulis tentang kehidupan, cara redaksi memilih pendekatannya. Jika pers menyalahgunakan AI untuk produksi massal, kita secara bertahap akan kehilangan hal-hal yang paling berharga: suara yang unik, emosi yang nyata, dan empati—hal-hal yang hanya dapat dimiliki manusia melalui pengalaman hidup. Pers kemudian tidak akan lagi menjadi api yang menerangi opini publik, melainkan hanya lampu LED stereotip.
Ketiga, krisis etika dalam proses implementasi. Saya memperhatikan bahwa jurnalis Vietnam sangat responsif terhadap teknologi, tetapi tidak sepenuhnya siap menghadapi sisi gelapnya. Jika AI diibaratkan mobil tanpa pengemudi, etika jurnalistik adalah sistem pengeremannya, bukan untuk berhenti, melainkan untuk menghindari tergelincir dari jalan.
Tuan, bagaimana menurut Anda AI mengubah sifat informasi dan cara masyarakat mengakses informasi?
Dulu, informasi adalah sesuatu yang kita cari. Kini, dengan AI dan algoritma yang dipersonalisasi, informasi menjadi sesuatu yang datang kepada kita. Hal ini mengubah hakikat informasi: dari sekadar arus opini publik, informasi semakin terpecah menjadi aliran-aliran kecil, "gelembung informasi", di mana setiap orang hanya melihat apa yang ingin mereka percayai, membaca apa yang biasa mereka baca. AI telah menjadi "penjaga gerbang baru". Algoritma memainkan peran ini, bukan jurnalis, bukan pula ruang redaksi.
Pergeseran ini memiliki dua sisi. Di satu sisi, AI membantu menyampaikan informasi kepada orang yang tepat, pada waktu yang tepat, ketika mereka membutuhkannya, tetapi di sisi lain, AI berisiko menjebak publik dalam ruang gema, melemahkan kemampuan untuk berdebat dan menerima pandangan yang berbeda, yang merupakan jiwa demokrasi informasi.
Ketika AI menjadi "penjaga gerbang" informasi, menurut Anda tugas tambahan apa yang akan dimiliki jurnalis di era AI?
Saya pikir jurnalis tidak hanya melaporkan berita tetapi juga harus bertindak sebagai "filter etis", tidak mengejar pandangan tetapi memiliki keberanian untuk menyajikan perspektif yang berbeda, dapat diverifikasi, dan manusiawi.
AI mengubah bentuk dan arah informasi, mulai dari cara produksi, distribusi, hingga cara kepercayaannya. Di dunia yang penuh kebisingan, peran jurnalisme yang jujur sebagai panduan menjadi semakin penting.
Terima kasih atas percakapan ini!
Sumber: https://vietnamnet.vn/chua-bao-gio-vai-tro-dan-duong-cua-bao-chi-chan-chinh-can-thiet-den-the-2413487.html










Komentar (0)