Nasib siswa di daerah perbatasan
Setiap kali tahun ajaran akan dimulai, sosok guru Chu Phuong Uyen (43 tahun, dari Provinsi Bac Giang Lama) mengendarai sepeda motor kesayangannya berkeliling desa-desa otonom di dusun Tam Pho menjadi akrab bagi warga di sini. Baginya, tidak ada liburan musim panas, yang ada hanyalah hari-hari "berpacu" melawan waktu untuk memotivasi siswa agar mau bersekolah.
Pada tahun 2001, setelah lulus kuliah, gadis muda Chu Phuong Uyen mengikuti keluarganya ke Tây Ninh untuk memulai bisnis dan bekerja di Sekolah Dasar Tan Dong. Saat itu, Tan Dong masih menghadapi banyak kesulitan. Sebagai komune perbatasan, kehidupan masyarakatnya, terutama suku Khmer, menghadapi banyak kesulitan.
Ibu Uyen ditugaskan untuk mengajar di Sekolah Tam Pho, sebuah lokasi terpencil yang jauh dari pusat kota, di mana 100% siswanya adalah anak-anak etnis Khmer. Pada awalnya, kendala terbesar bukanlah kurangnya fasilitas, melainkan bahasa dan kesadaran. Banyak orang tua tidak mengerti bahasa Vietnam, dan anak-anak mereka tumbuh di lingkungan di mana mereka hanya berkomunikasi dalam bahasa ibu mereka. Bagi banyak keluarga, bersekolah tampak seperti "kemewahan" setelah memikirkan makanan dan pakaian.

"Tahun-tahun pertama sungguh sulit. Anak-anak datang ke kelas seolah-olah mereka berada di dunia lain. Mereka tidak mengerti apa yang saya katakan, dan saya tidak bisa berbahasa mereka dengan baik. Saya harus belajar, belajar dari mereka, belajar dari para tetua desa, kepala dusun, belajar setiap sapaan dan setiap pertanyaan," ungkap Ibu Uyen.
Bekerja di daerah perbatasan, Ibu Uyen menemukan kebahagiaannya dan memulai sebuah keluarga. Suaminya bekerja di Kota Ho Chi Minh. Biasanya, Ibu Uyen bisa saja meminta untuk dipindahkan kembali ke kota untuk reuni keluarga, terutama karena ia telah memindahkan kartu tanda penduduknya ke Kota Ho Chi Minh. Namun, hati dan kariernya masih terikat dengan tanah Tan Dong.
"Selama lebih dari 20 tahun, saya dan anak saya memilih untuk tinggal di daerah perbatasan ini. Para siswa di sini membutuhkan kami. Mereka sudah seperti anak kami sendiri, jadi bagaimana mungkin kami meninggalkan mereka?" ungkap Ibu Uyen.
“Menabur” kepercayaan pada orang tua
Menurut Ibu Uyen, untuk “menabur ilmu” kepada siswa, pertama-tama kita harus “menabur” kepercayaan kepada orang tua.
Ia berkata: "Kebanyakan orang tua di sini adalah petani atau pekerja upahan. Banyak orang tidak menggunakan telepon, atau kalaupun ada, hanya untuk menelepon biasa. Kalau saya ingin menyampaikan pengumuman, saya tidak bisa mengirim SMS atau menelepon melalui Zalo, Facebook... seperti di kota. Satu-satunya cara adalah dengan pergi dari rumah ke rumah."
Perjalanan itu melewati jalanan tanah merah berdebu di hari cerah dan jalanan berlumpur di hari hujan. Beberapa rumah berjarak 6-7 km. Ia datang bukan hanya untuk mengingatkan anak-anaknya agar bersekolah, tetapi juga untuk mendengarkan.
Pengalamannya yang paling berkesan adalah proses "memecahkan" prosedur untuk anak-anak berusia 6 tahun. Banyak keluarga, karena keadaan dan tidak fasih berbahasa Vietnam, memiliki anak yang sudah cukup umur untuk masuk kelas satu tetapi masih belum memiliki akta kelahiran.
"Tanpa akta kelahiran, mereka tidak bisa mendaftar sekolah. Kalau saya tidak melakukannya, anak-anak akan kehilangan satu tahun sekolah. Jadi, saya harus menempuh perjalanan jauh untuk mengantar orang tua ke Departemen Kehakiman komune, menjelaskan dan membimbing mereka melalui langkah-langkah penyelesaian dokumen untuk anak-anak mereka. Melihat anak-anak dengan semua dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran, saya menangis bahagia," ungkap Ibu Uyen.
Lebih dari seorang guru
Di Tam Pho, Ibu Uyen bukan sekadar guru. Ia adalah seorang saudari, seorang ibu, dan jembatan penting antara sekolah dan masyarakat. Banyak keluarga memiliki kebiasaan menyekolahkan anak-anak mereka ke Kamboja untuk bekerja. Pada hari pertama sekolah, banyak anak belum kembali.
"Saya tidak bisa diam saja, jadi saya melapor ke sekolah. Lalu saya menemui para tetua desa, kepala dusun, dan orang-orang paling berpengaruh di kelompok swadaya masyarakat dusun Tam Pho untuk meminta mereka memberi tahu, mengingatkan, atau bahkan 'menekan' keluarga tersebut agar memahami pentingnya belajar dan memulangkan anak-anak mereka tepat waktu untuk upacara pembukaan," ungkap Ibu Uyen.
Kegigihan Ibu Uyen, khususnya, dan para guru telah membuahkan hasil. Tingkat kehadiran siswa di kelas Tam Pho selalu terjaga. Dari anak-anak pemalu yang bahkan tidak tahu sepatah kata pun bahasa Vietnam, melalui bimbingan para guru, mereka telah belajar membaca, menulis, dan menjadi lebih percaya diri dalam berkomunikasi dan berintegrasi.

Bapak Le Van Bao, Kepala Sekolah Dasar Tan Dong (Tay Ninh), berkomentar bahwa Ibu Uyen selalu menunjukkan antusiasme dan rasa tanggung jawab yang tinggi. Beliau tidak menganggap "mengembara dari rumah ke rumah" sebagai beban, melainkan menganggapnya sebagai tanggung jawab seorang guru di desa, seorang anggota Partai yang "berjalan dulu, berbuat dulu". Beliau selalu menyelesaikan semua tugas yang diberikan dengan sangat baik, tidak hanya dalam mengajar tetapi juga dalam kegiatan mobilisasi massa.
Sekolah Dasar Tan Dong memiliki 16 kelas di 3 lokasi, dengan total 410 siswa, 170 di antaranya berasal dari etnis minoritas. Beban memberantas buta huruf dan mempertahankan jumlah siswa selalu dipikul berat oleh para guru, dan Ibu Uyen adalah salah satu pelopor dalam hal ini. Pengorbanan diam-diam tersebut merupakan bukti paling nyata dari kecintaan Ibu Uyen terhadap profesinya, anak-anak, dan para guru yang mengajar di komune perbatasan,” tegas Bapak Bao.
Selama lebih dari 20 tahun, perjalanan Ibu Uyen telah teguh di jalanan tanah merah Tan Dong. Baginya, ini bukan hanya tentang mengajar, tetapi juga tentang memberdayakan setiap siswa kecil, untuk memastikan tidak ada yang tertinggal dalam perjalanan mencari ilmu.
Sumber: https://giaoducthoidai.vn/co-giao-hon-20-nam-miet-mai-geo-chu-noi-bien-gioi-tay-ninh-post755553.html






Komentar (0)