Vietnam.vn - Nền tảng quảng bá Việt Nam

Di tengah pedesaan, hatiku merindukan rumah

Việt NamViệt Nam18/02/2025

[iklan_1]

Saya lahir di pedesaan, tumbuh besar di pedesaan, dan tinggal di pedesaan, tetapi saya tetap merindukan kampung halaman. Tidak benar bahwa orang-orang hanya merindukan kampung halaman ketika mereka jauh dari rumah. Yang paling membuat orang merindukan kampung halaman adalah kenangan, kenangan yang familiar yang perlahan memudar seiring waktu, atau pemandangan yang sama seperti dulu, tetapi orang-orang yang dulu sudah tidak ada lagi.

Aku teringat jalan desa berpasir di kampung halamanku. Di pagi hari, ketika matahari baru saja memerahkan pipiku di ufuk timur, aku terbangun dengan mengantuk mengikuti panggilan ibuku untuk pergi ke ladang. Oh, rasanya berjalan tanpa alas kaki di jalan berpasir itu begitu indah. Butiran pasir yang putih, halus, dan lembut seakan meleleh di bawah telapak kakiku yang mungil. Aku suka sekali menggesekkan kakiku di atas pasir sehingga pasir menutupi seluruh telapak kakiku, merasakan kesejukan pasir meresap ke kulitku. Jalan desa tempatku dulu bersekolah, menggembala sapi, atau mengikuti ibuku ke pasar kabupaten setiap hari kini hanya tinggal kenangan. Desaku kini semua jalannya telah dibeton dan lapang. Di kedua sisi jalan, orang-orang membangun rumah-rumah yang berdempetan, pagar-pagar tinggi, gerbang-gerbang tertutup rapat, tak ada lagi deretan bunga kembang sepatu merah, deretan kebun teh hijau. Orang-orang yang telah lama jauh dari rumah kembali berkunjung dan tak henti-hentinya memuji kampung halaman mereka yang kaya dan indah, tetapi orang-orang di pedesaan sepertiku merasakan sesuatu yang hampa dan sepi.

Aku ingat ladang-ladang desa di belakang rumahku. Kampung halamanku adalah daerah semi-pegunungan tanpa hamparan burung bangau yang terbang lurus, hamparan sawah hijau tak berujung. Tapi bukan berarti aku tak mencintai ladang-ladang desa ibuku. Anak-anak seperti kami dulu, di luar sekolah, lebih banyak menghabiskan waktu di ladang daripada di rumah. Ladang-ladang desa bagaikan sahabat karib yang melindungi kami, memelihara mimpi-mimpi kami, dan memaafkan kesalahan-kesalahan kami. Sejak kecil, ibuku menggendongku ke ladang. Di satu sisi tiang bahu ada sekeranjang benih padi, di sisi lainnya aku. Di bawah naungan pohon elm, aku bermain santai sendirian, terkadang meringkuk dan tertidur di bawah pohon elm tua itu. Ketika aku sedikit lebih besar, ladang-ladang desa adalah tempat kami bermain petak umpet, lompat tali, petak umpet buta, tempat layang-layang yang membawa mimpi-mimpi kami terbang tinggi ke angkasa, keluar dari asap desa. Terkadang, mengenang masa lalu, aku sering berjalan-jalan ke ladang-ladang desa.

Aku duduk diam, menghirup aroma lembap tanah yang kuat, aroma tajam lumpur muda, mengenang setiap wajah gelap, rambut Ti dan Teo yang terbakar matahari, mengenang bola yang terbuat dari daun pandan berduri yang dilemparkan ke orang-orang, menyebabkan rasa sakit, dan tawa riang sore pedesaan. Sekarang, di sore yang pucat, aku menunggu lama, tetapi tidak ada lagi suara anak-anak yang saling memanggil untuk berlari keluar untuk bermain, permainan lama tidak lagi dimainkan oleh siapa pun. Aku duduk lama di tepi ladang, aku diam, ladang itu juga sunyi, hanya suara angin yang berdesir dan bermain dengan gelombang padi. ​​Sesekali, beberapa hembusan angin terbang ke mataku, membuatnya merah dan menyengat.

Aku teringat pondok beratap jerami nenekku dengan taman yang harum. Taman yang kuanggap sebagai harta karun semasa kecil, tempat yang kubanggakan bersama anak-anak pamanku di kota setiap kali aku pulang kampung. Di musim panas, angin bertiup dari ladang, sejuk dan menyegarkan. Angin membawa aroma harum pohon kayu putih ke dalam mimpi sore gadis kecil yang sedang tidur nyenyak diiringi lagu pengantar tidur nenekku. Aroma jambu biji matang, nangka matang, labu siam matang, dan kangkung matang memenuhi tidur siang musim panas itu. Ada pula sore-sore di mana aku menolak tidur, diam-diam mengikuti saudara-saudaraku ke kebun belakang untuk memanjat pohon jambu biji untuk memetik jambu biji. Jambu-jambu itu dipenuhi bekas kuku saudara-saudara kami untuk memeriksa apakah buahnya sudah matang. Dan akibat dari sore-sore tanpa tidur itu adalah bekas luka panjang di lututku karena jatuh dari pohon. Setiap kali kulihat bekas luka itu, aku merindukan nenekku, sangat merindukan taman peri itu. Aku teringat sumur batu, tempayan yang diletakkan di samping sumur, di mulut tempayan itu nenekku selalu meletakkan batok kelapa. Setelah bermain-main nakal, kami berlari ke sumur, menciduk air dari tempayan untuk mandi dan mencuci muka. Aku ingat, di samping tempayan itu pula, aku menciduk air sendok demi sendok untuk menyiram rambut nenekku. Sambil menuangkan air, aku bernyanyi, "Nenek, Nek, aku sangat mencintaimu, rambutmu putih, seputih awan". Nenek meninggal dunia, kebun masa kecil pun lenyap, sumur, tempayan, batok kelapa pun hanyut ke masa lalu. Hanya wangi kebun tua, wangi pohon soapberry yang biasa nenekku gunakan untuk mencuci rambutnya, yang masih membekas dalam diriku.

Aku teringat suara-suara masa kecilku yang tak asing lagi. Ayam jantan berkokok di pagi buta, anak sapi memanggil induknya, burung yang mengikatkan diri pada tiang di langit sore. Teriakan "siapa yang punya pecahan aluminium, plastik, panci, atau wajan untuk dijual" di siang musim panas yang terik mengingatkanku pada masa-masa ibuku mengangkut garam ke dataran tinggi untuk dijual dengan sepeda tuanya demi mencari uang untuk membesarkan kami. Sesekali dalam mimpiku, aku masih mendengar dentingan lonceng di pintu masuk gang dan teriakan "es krim, es krim di sini". Aku ingat anak-anak malang berlarian keluar membawa sandal patah, baskom pecah, besi tua, selongsong peluru yang mereka kumpulkan saat menggembala sapi untuk ditukar dengan es krim yang dingin dan lezat.

Tidak semua orang yang jauh dari rumah merindukan kampung halamannya. Yang paling membuat orang merindukan kampung halaman adalah kenangan, kenangan yang perlahan memudar seiring waktu, atau suasana yang sama namun orang-orang yang dulu telah tiada. Seperti saya, berjalan di tengah jalan desa, duduk di tengah ladang pedesaan, saya sangat merindukan masa lalu, saya merindukan asap yang mengepul dari dapur nenek saya setiap pagi dan sore. Mengetahui bahwa "hari esok dimulai hari ini", kampung halaman saya akan tetap banyak berubah, saya hanya berharap setiap orang masih menyimpan di dalam hatinya tempat untuk kembali, untuk mengenang dan mencintai, untuk ingin kembali ketika jauh, untuk ingin kembali ketika bahagia, untuk ingin kembali ketika menderita...

(Menurut Lam Khue/ tanvanhay.vn)

Di tengah pedesaan, hatiku merindukan rumah


[iklan_2]
Sumber: https://baophutho.vn/giua-que-long-lai-nho-que-227647.htm

Komentar (0)

No data
No data

Dalam topik yang sama

Dalam kategori yang sama

Di musim 'berburu' rumput alang-alang di Binh Lieu
Di tengah hutan bakau Can Gio
Nelayan Quang Ngai kantongi jutaan dong setiap hari setelah menang jackpot udang
Video penampilan kostum nasional Yen Nhi mendapat jumlah penonton terbanyak di Miss Grand International

Dari penulis yang sama

Warisan

Angka

Bisnis

Hoang Thuy Linh membawakan lagu hitsnya yang telah ditonton ratusan juta kali ke panggung festival dunia

Peristiwa terkini

Sistem Politik

Lokal

Produk