![]() |
Kombinasi Timur-Barat menghasilkan tim U22 yang tidak kompak. |
Paruh kedua tahun 2025 dapat dianggap sebagai periode tergelap bagi sepak bola Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Ekspektasi tinggi yang dibangun di atas kampanye naturalisasi besar-besaran, mulai dari ambisi untuk mencapai kejayaan di tingkat benua hingga impian Piala Dunia 2026, semuanya telah runtuh dengan cara yang paling menyakitkan.
Enam bulan terakhir tahun ini: saat semua perhitungan gagal.
Kegagalan di kualifikasi Piala Dunia 2026 merupakan pukulan terbesar. Indonesia memasuki babak keempat kualifikasi dengan pola pikir yang sama sekali berbeda dari sebelumnya: skuad besar yang terdiri dari pemain-pemain keturunan Eropa, pelatih Patrick Kluivert dengan kejayaan masa lalunya, dan dukungan finansial yang kuat dari Presiden Erick Thohir.
Namun, dua kekalahan beruntun melawan Arab Saudi dan Irak dengan cepat membawa tim Indonesia kembali ke kenyataan. Realita pahit menunjukkan bahwa, bahkan dengan naturalisasi massal, Indonesia masih jauh tertinggal dari tim-tim papan atas di Asia dalam hal kekuatan mental, pemikiran taktis, dan kedalaman skuad.
Masalahnya bukan hanya soal keterampilan teknis. Strategi naturalisasi adalah pertaruhan yang mahal. Mempertahankan tim dengan banyak pemain keturunan Eropa membutuhkan anggaran yang sangat besar, mulai dari gaji dan tunjangan hingga biaya logistik.
Tanpa sumber daya pribadi dan kecerdasan politik Erick Thohir, model ini hampir tidak akan bertahan lama. Tetapi bahkan dengan pendanaan yang berkelanjutan, hasilnya tidak proporsional, sangat mengikis kepercayaan penggemar.
Di level junior, situasinya tidak lebih baik. Indonesia kalah dari Vietnam di final Kejuaraan Asia Tenggara U23 2025, dan kemudian ters败 dari Korea Selatan di kualifikasi Kejuaraan Asia U23. Gagal lolos ke final Kejuaraan Asia U23 merupakan langkah mundur yang jelas dari pencapaian sebelumnya yang meraih peringkat keempat di benua tersebut. Hasil ini menunjukkan kesenjangan yang mengkhawatirkan yang muncul di sepak bola junior Indonesia, karena generasi pemain berikutnya tidak mencapai kualitas yang sama dengan generasi yang memenangkan SEA Games 2023.
Dalam enam bulan terakhir tahun ini, dari tim nasional hingga tim U23, Indonesia mengalami kegagalan yang hampir total. Kemenangan-kemenangan yang diraih tidak cukup untuk menutupi gambaran suram, di mana keputusan-kebijakan kebijakan utama secara konsisten menghasilkan hasil yang bertentangan dengan harapan.
![]() |
Tersingkirnya Indonesia dari SEA Games di babak penyisihan grup merupakan kejutan bagi sepak bola Indonesia. |
SEA Games dan konflik internal yang tak terbantahkan.
SEA Games 2025 seharusnya menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk memperbaiki citranya setelah periode kelam. Belajar dari kegagalan sebelumnya, staf pelatih memutuskan untuk menambahkan empat pemain naturalisasi dengan "gaya Eropa" ke dalam skuad U22, dengan harapan dapat membuat perbedaan dalam kompetisi regional. Namun di sinilah konflik internal sepak bola Indonesia menjadi paling jelas terlihat.
Masalah pertama terletak pada perbedaan filosofi bermain. Pemain Indonesia murni terbiasa dengan umpan pendek, tempo sedang, dan penekanan pada teknik individu. Sementara itu, pemain keturunan Eropa kuat secara fisik, kecepatan, kemampuan tekel, dan permainan langsung. Kedua gaya ini tidak menyatu tetapi berdampingan, membuat tim Indonesia menjadi tidak kompak.
Pelatih Indra Sjafri menghadapi dilema yang sulit. Dengan mayoritas pemain berasal dari dalam negeri, ia terpaksa membangun gaya bermainnya di sekitar mereka. Namun, kualitas kelompok pemain ini tidak cukup baik untuk mengendalikan permainan atau menciptakan dominasi. Indonesia lebih banyak menguasai bola tetapi kurang ide, serangan mereka kurang tajam, dan mereka mudah ditebak oleh lawan, seperti yang terlihat dalam pertandingan melawan Filipina dan babak pertama melawan Myanmar.
Hanya ketika dihadapkan pada situasi tanpa harapan, pelatih Sjafri menerima pendekatan "habis-habisan", beralih ke gaya bermain yang lebih pragmatis, memanfaatkan keunggulan para pemain naturalisasi. Bola-bola panjang lebih sering digunakan, dan serangan langsung menjadi pilihan utama. Pada saat itu, striker kelahiran Belanda, Jens Raven, dimasukkan di tengah babak kedua dan langsung mencetak dua gol. Tetapi semuanya sudah terlambat. Perubahan itu merupakan tindakan reaktif, bukan hasil dari strategi yang direncanakan sebelumnya.
Kegagalan di SEA Games bukan hanya soal performa profesional, tetapi juga mencerminkan kurangnya kesatuan dalam strategi pengembangan. Indonesia ingin membina pemain domestik dan memanfaatkan pemain naturalisasi, tetapi kurang memiliki filosofi yang cukup jelas untuk menghubungkan kedua kekuatan ini. Ketika konflik tetap tidak terselesaikan, tim dengan mudah jatuh ke dalam keadaan "setengah jalan," kurang memiliki identitas untuk menciptakan kekuatan kolektif.
Jika dilihat dari perspektif yang lebih luas, kegagalan sepak bola Indonesia pada tahun 2025 bukanlah kecelakaan sementara. Ini adalah konsekuensi dari proses pembangunan yang tidak seimbang, di mana keputusan jangka pendek menutupi masalah jangka panjang. Tanpa menyelesaikan konflik internal dan mendefinisikan kembali arahnya, Indonesia sangat mungkin akan terus mengalami penurunan, meskipun telah melakukan investasi besar-besaran dan memiliki impian yang ambisius.
Sumber: https://znews.vn/mau-thuan-noi-ngoai-khien-u22-indonesia-that-bai-tai-sea-games-post1611196.html








Komentar (0)