Memegang tas Louis Vuitton tua, menikmati merpati goreng murah di trotoar, dan berbelanja pangsit diskon... Itulah gambaran aneh tetapi nyata dari ekonomi Tiongkok saat ini, gambaran deflasi, bukan inflasi.
Sementara bisnis Barat berjuang dengan kenaikan harga, perusahaan China menghadapi perang harga yang sengit, yang menyebabkan konsumen mengubah kebiasaan belanja mereka dengan kecepatan yang memusingkan.
Ini bukan hanya tentang angka CPI atau PPI, tetapi juga tentang pergeseran sikap antargenerasi, dari mendambakan barang baru yang mewah menjadi memburu barang lama yang berorientasi nilai. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi pada ekonomi terbesar kedua di dunia ini ?
Deflasi - "sindrom" baru ekonomi Tiongkok
Chef Wang, mengenakan seragam putih bersih, dengan cekatan membalik merpati goreng berwarna keemasan dari sebuah kios keliling di trotoar di luar Beiyuan Grand Hotel yang mewah di Beijing. Alih-alih menyajikan hidangan lezatnya di restoran mewah, ia kini menjualnya kepada pejalan kaki dengan harga yang telah turun dari $8 menjadi hanya $5,30.
Ini bukan sekadar kampanye pemasaran, tetapi potongan mikroskopis namun sangat tajam dari realitas makro yang membayangi ekonomi terbesar kedua di dunia: China sedang menghadapi momok deflasi.
Sementara ekonomi Barat berjuang melawan inflasi, China dilanda masalah sebaliknya.
Data resmi yang dirilis pada hari Selasa menunjukkan bahwa indeks harga konsumen (IHK) turun 0,3 poin persentase secara tahunan (year-on-year) pada bulan September, penurunan yang lebih tajam dari perkiraan. Di saat yang sama, indeks harga produsen (IHP) turun 2,3%, menandai bulan ke-35 berturut-turut berada di wilayah negatif. Meskipun penurunan IHP sedikit membaik dibandingkan bulan Agustus (2,9%), hal ini tetap menunjukkan bahwa pabrik terpaksa menjual produk mereka dengan harga yang lebih murah.
Deflasi menyebar di berbagai sektor. Akar penyebabnya ada dua faktor utama: kehati-hatian konsumen dan kelebihan kapasitas. Namun, para ahli menunjukkan masalah yang lebih struktural.
Sekitar 70% aset rumah tangga Tiongkok terikat pada properti. Karena pasar properti telah mengalami kemerosotan yang berkepanjangan, "efek kekayaan" yang negatif telah terjadi. "Penurunan harga rumah seringkali mengurangi pengeluaran karena pemilik rumah merasa lebih miskin," kata Tianchen Xu, ekonom senior di Economist Intelligence Unit.
Orang-orang, yang khawatir tentang masa depan dan penurunan nilai properti, cenderung mengetatkan pengeluaran mereka, memprioritaskan produk-produk yang "bernilai uang". Wan Qiang, seorang pekerja kantoran, dengan senang hati membeli makan malam leher bebek dan pangsit dari sebuah kios di Hotel Beiyuan dengan harga lebih dari $4, berkomentar: "Perekonomian sedang tidak terlalu bagus. Makanan di sini bersih dan berkualitas baik."

Ketika deflasi merayap ke setiap sudut jalan, konsumen Tiongkok menulis ulang definisi "kemewahan" dan "nilai" (Foto: Reuters).
Di sisi korporat, kelebihan kapasitas di hampir setiap sektor, mulai dari kendaraan listrik hingga panel surya hingga layanan pengiriman makanan, telah memicu apa yang disebut orang Tiongkok sebagai “persaingan dari bawah ke atas” – sebuah pertarungan yang begitu sengit hingga dapat bersifat destruktif.
Nama-nama besar seperti Meituan, Alibaba dan JD.com terus meluncurkan promosi dan kupon diskon untuk menarik pelanggan dan menurunkan harga layanan.
Pemerintah Tiongkok sangat menyadari risiko bahwa deflasi berkepanjangan dapat melumpuhkan perekonomian. Beijing telah meluncurkan kampanye melawan "persaingan dari bawah ke atas", mendesak industri untuk mengurangi kelebihan produksi dan menawarkan langkah-langkah stimulus seperti subsidi untuk tukar tambah peralatan lama.
Namun, kelompok penelitian Gavekal mengatakan "saat ini hanya ada sedikit bukti bahwa upaya ini menaikkan harga", dan bahkan berisiko mengurangi investasi dan pertumbuhan.
“Indeks Tas Bekas” – sebuah ukuran unik perekonomian Tiongkok
Jika Barat memiliki "indeks lipstik" untuk mengukur perekonomian, lonjakan pasar barang mewah bekas bisa dianggap sebagai "indeks tas tangan bekas" yang khusus untuk Tiongkok. Alih-alih membeli tas Gucci atau Prada baru, kaum muda dan bahkan orang kaya justru berbondong-bondong ke toko barang bekas atau aplikasi yang khusus menjual barang mewah bekas.
Pasar ini sedang berkembang pesat, dengan pertumbuhan sebesar 35% tahun ini, sementara total pengeluaran untuk barang-barang mewah baru diperkirakan akan turun hampir 25% pada tahun 2024. Hal ini menunjukkan perubahan besar dalam psikologi konsumen.
Bagi sebagian orang, ini adalah cara untuk mempertahankan penampilan mewah tanpa menguras kantong. Tas Celine yang berbentuk kotak bisa berharga sekitar $680, bukan lebih dari $4.000. "Sulit menghasilkan uang, jadi mengapa tidak berbelanja di tempat seperti ini dan berhemat?" kata seorang pembeli.
Namun, kebangkitan pasar barang bekas bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga mencerminkan perubahan norma sosial. Membeli barang bekas dulu dianggap "tidak dapat diterima". Kini, pola pikir itu telah berubah. Generasi milenial dan Gen Z tidak lagi malu menggunakan barang bekas.
Fenomena ini juga sejalan dengan pergeseran politik yang lebih luas di Tiongkok. Setelah satu dekade kampanye antikorupsi, pamer kekayaan secara berlebihan tidak dianjurkan dan bahkan dapat menimbulkan masalah. Membeli barang bekas adalah salah satu cara untuk menghindari perhatian yang tidak semestinya.
Kebiasaan konsumen baru: Hemat uang, tetap bergaya
Ledakan pasar barang bekas mewah merupakan contoh utama perubahan kebiasaan konsumen Tiongkok, yang tidak lagi mengejar barang mahal hanya untuk memamerkan status, tetapi mencari nilai sesungguhnya.
Bukan hanya merek-merek lama yang sedang didefinisikan ulang. Hotel-hotel mewah seperti Beiyuan Grand di Beijing telah membuka kios-kios pinggir jalan untuk menjual hidangan spesial mereka dengan harga lebih murah. Chef Wang mengatakan ia menjual lebih banyak merpati goreng di pinggir jalan, bahkan dengan harga 30% lebih rendah.
"Di restoran, kami dulu menjual 60-70 per hari," kata Pak Wang. "Sekarang, jumlahnya sekitar 200."
Demikian pula, layanan pengiriman makanan telah menjadi "medan perang" yang sangat kompetitif, di mana perusahaan terus-menerus memberikan potongan harga untuk menarik pelanggan.
Ini menunjukkan tren baru, yaitu konsumen masih ingin berbelanja, masih ingin menikmati produk berkualitas, tetapi dengan harga yang lebih terjangkau. Mereka belajar untuk berbelanja dengan cerdas, mencari diskon, dan mencari barang murah.

Pasar barang mewah bekas China sedang berkembang pesat, tumbuh 35% tahun ini, menurut Digital Luxury Group (Foto: Getty).
Ledakan pasar barang bekas mewah, serta kisah kios merpati goreng di trotoar hotel bintang lima, keduanya merupakan "kode" penting. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen Tiongkok tidak sepenuhnya berhenti berbelanja, tetapi menjadi lebih praktis, cerdas, dan selektif. Mereka mencari persamaan nilai baru di mana kualitas, merek, dan harga berpotongan pada titik yang lebih wajar.
Bagi bisnis, baik di dalam maupun di luar Tiongkok, memecahkan persamaan ini akan menjadi kunci keberlangsungan dan pertumbuhan. Era pertumbuhan yang mudah dan konsumsi yang tak terkendali telah berakhir. Kini, permainan ini milik mereka yang mampu menyediakan "kemewahan yang terjangkau" atau "kualitas premium dengan harga terjangkau".
Dari tas desainer bekas hingga makanan jalanan yang disiapkan oleh koki hotel bintang lima, revolusi konsumen sedang berlangsung secara diam-diam yang menjanjikan akan membentuk kembali wajah bisnis Tiongkok selama bertahun-tahun yang akan datang.
Sumber: https://dantri.com.vn/kinh-doanh/thoi-dai-mua-cu-an-ngon-chuyen-dong-thu-vi-cua-kinh-te-trung-quoc-20250910215548197.htm






Komentar (0)