Resimen Radar 351 telah berdiri di garis depan badai selama hampir setengah abad, sebuah garis pertahanan yang kokoh. Di sana, setiap stasiun radar bagaikan percikan api di tengah badai, tenang dan gagah berani. Bukan menghadapi musuh dengan senjata, melainkan dengan kecerdasan, keberanian, dan kegigihan yang luar biasa. Pekerjaan yang tampak membosankan itu memiliki keindahan tersendiri, keindahan presisi dan ketenangan manusia yang hidup bersama waktu, namun bekerja bersama ruang.
Mereka tinggal di tempat-tempat yang ditandai peta topografi sebagai "tinggi, terpencil, dan sulit", tetapi di lubuk hati mereka, itulah posisi terindah untuk melihat negeri ini. Setiap pemindaian gelombang radar bagaikan detak jantung. Setiap target di layar adalah pengingat: Kedaulatan tak hanya ada di peta laut, tetapi di mata mereka yang tak pernah terpejam menjaga lautan Tanah Air.
Tim pengamatan mata di Stasiun Radar 540 (Resimen 351) melaksanakan misi tersebut. |
Saya telah mengunjungi semua stasiun radar Resimen 351 dalam 2 tahun terakhir, dan yang paling mengesankan adalah Stasiun 545. Di jalan berkelok menuju puncak gunung, dari kejauhan, Stasiun tersebut tampak tenang bagai benteng di langit, antenanya berputar perlahan, memantulkan sinar matahari pagi bagai mata raksasa Tanah Air.
Mayor Hoang Van Tuong, Kepala Stasiun, menyambut kami dengan senyum ramah: "Di sini, setiap hari sama saja: Angin, awan, dan layar osiloskop." ujar Mayor Hoang Van Tuong, lalu menunjuk ke sebuah ruangan kecil dengan peralatan modern. Di sana, layar osiloskop dipenuhi titik-titik kecil. "Kami bercanda menyebut ruangan ini 'jantung Stasiun'. Setiap pemindaian, setiap kilatan cahaya adalah detak jantung Tanah Air kita."
Di ruangan sempit itu, saya mendengar suara mesin radar bercampur dengan desiran angin yang menerobos pintu. Di layar, titik-titik target kecil terekam dan ditandai dengan cermat. Tak ada suara tembakan atau sorak sorai, hanya konsentrasi penuh dan tatapan mata yang tak lepas dari layar. Kapten Pham Van Tien, seorang karyawan radar di Stasiun 545, berkata: “Hari pertama saya tiba di sini, saya sangat bingung. Namun semakin lama saya di sini, semakin saya merasa terikat. Di sini, kami memiliki rekan satu tim dan layar osiloskop, "mata ajaib" sebagai teman. Kami bekerja dengan radar dengan hati dan sistem saraf yang jernih. Satu detik saja teralihkan, kami akan kehilangan jejak target.” Mayor Hoang Van Tuong berkata dengan suara hangat: “Begitulah pekerjaan ini. Jika kami meleset dari target, kami tak akan merasa aman. Perasaan melindungi seluruh wilayah laut membuat semua orang tetap waspada.”
Di puncak-puncak gunung di wilayah Tengah, yang oleh penduduk kaki gunung disebut "atap angin", setiap stasiun radar Resimen ke-351 bagaikan itu: sederhana namun tangguh. Stasiun-stasiun radar itu bagaikan "mata dewa penjaga lautan", membentuk garis pertahanan yang tak terlihat namun kokoh. Di sana, para prajurit yang bisu mengubah kesepian menjadi kekuatan, dan mengubah suara angin menjadi bahasa profesional.
Letnan Kolonel Nguyen Phuong Chinh, Wakil Komisaris Politik Resimen, mengatakan: “Saudara-saudara di sini punya slogan sendiri: Pulau adalah rumah, laut adalah tanah air, osiloskop adalah medan perang, setiap target adalah prestasi senjata. Sekilas terdengar kiasan, tetapi setelah tinggal di sini, Anda akan melihat bahwa itu benar kata demi kata.” Berhenti sejenak, Chinh melanjutkan: “Di masa damai, ada prestasi senjata tanpa tembakan, tetapi jika Anda tidak mendeteksinya sejak dini dan tidak melaporkannya tepat waktu, konsekuensinya akan tak terduga. Oleh karena itu, setiap sinyal yang terdeteksi, setiap informasi akurat tentang target adalah prestasi senjata tanpa tembakan.”
Dalam beberapa tahun terakhir, Resimen Radar 351 telah dilengkapi dengan sistem radar jarak jauh modern. Para perwira dan prajurit dengan cepat menguasai teknologi ini, menggabungkan peralatan elektronik dan intuisi profesional. "Semodern apa pun mesinnya, tetap saja membutuhkan tangan dan pikiran seorang prajurit," ujar Letnan Kolonel Nguyen Viet Hung, Asisten Teknis dan Kepala Stasiun Perbaikan, sambil memeriksa sistem peralatan radar: "Hanya sinyal kecil yang tercampur dalam kebisingan, tetapi para prajurit tetap menyadari bahwa itu adalah target yang sebenarnya. Dalam profesi ini, semakin mahir Anda menggunakan mesin, semakin Anda harus mahir dalam menghadapi orang lain." Ia tersenyum, matanya berbinar-binar di wajahnya yang gelap karena sinar matahari dan angin: "Saya masih berpikir bahwa bekerja di radar laut adalah belajar mendengarkan napas laut", sebuah ungkapan sederhana namun mendalam, seolah merangkum "jiwa" profesi radar, profesi "mendengarkan" Tanah Air dengan gelombang elektromagnetik.
Sore tiba, angin laut bertiup kencang menerjang gunung. Di kejauhan, gumpalan awan berwarna merah karena matahari terbenam. Di kaki gunung, lampu-lampu kota menyala. Titik-titik kecil masih tampak di layar osiloskop, gelombang radar melingkar masih berputar teratur, seperti detak jantung raksasa. Mayor Hoang Van Tuong diam-diam menatap layar osiloskop dan tangan rekan-rekannya masih dengan cepat mencatat dan menetapkan target, suaranya pelan: "Kemungkinan besar akan hujan malam ini. Kabut kembali tebal, kru yang bertugas harus sangat waspada agar tidak meleset atau salah sasaran." Ia tersenyum, senyum yang lembut sekaligus bangga. Di ujung angin dan awan, para prajurit radar masih mengawasi laut siang dan malam. Di masa damai, mereka hidup seolah-olah berada di garis depan yang "disiplin, waspada, dan rendah hati". Setiap "malam putih" mereka adalah fajar bagi Tanah Air. Setiap kilatan cahaya di layar adalah hembusan kedamaian . Dan sementara kita terlelap dengan damai di bawah langit cerah, di jantung negeri yang damai, di tempat yang jauh, mata yang tak bisa tidur masih mengikuti setiap hamparan lautan Tanah Air.
Selama bertahun-tahun, tak hanya melestarikan tradisi heroik, para perwira, staf, dan prajurit Resimen 351 juga terus melangkah menuju modernisasi. Dari tahun-tahun awal yang sulit, hingga menerima sistem radar jarak jauh berteknologi tinggi, para perwira dan prajurit telah menguasai peralatan baru, mengubah teknologi menjadi kekuatan, mengubah disiplin menjadi keyakinan. Itulah ketenangan yang tercipta dari disiplin, rasa tanggung jawab, dan cinta tanah air yang dilatih menjadi naluri. Barangkali, hanya prajurit radar yang mengerti bahwa "waktu tidak diukur dalam jam, melainkan dalam shift". Hari seperti hari-hari lainnya, terlepas dari hari libur atau Tet, kesepian perlahan menjadi teman dan kegembiraan sederhana adalah ketika layar setenang laut setelah badai.
Mereka tidak memamerkan prestasi mereka, tetapi setiap kali mereka mendeteksi target lebih awal, setiap kali mereka melapor tepat waktu agar tidak bersikap pasif atau terkejut—itulah kemenangan yang senyap. Di masa damai, mereka tetap hidup seperti di masa perang: Selalu siap, selalu waspada, selalu "bertahan di stasiun, bertahan di radio, bertahan di laut". Semua itu adalah prestasi tanpa tembakan, tetapi bersinar dengan kecerdasan, rasa tanggung jawab, dan kesetiaan tak terbatas kepada Tanah Air. Tradisi Resimen Radar 351 adalah aliran yang berkelanjutan: Dari generasi pertama yang membangun Stasiun di tengah bukit tandus, hingga generasi muda saat ini yang duduk di depan layar digital, terhubung oleh benang tak kasat mata yang disebut "iman kepada Tanah Air". Dari puncak gunung Lao yang berangin hingga tepi Laut Tengah, di tengah malam-malam tanpa tidur, mereka masih duduk di sana dengan tenang, di bawah cahaya biru redup osiloskop, mata mereka seterang mercusuar, menatap fajar negeri ini.
Mereka memahami bahwa melindungi kedaulatan bukan hanya tentang menjaga setiap jengkal daratan dan lautan, tetapi juga tentang menjaga perdamaian, stabilitas, dan menjaga kepercayaan rakyat tetap kuat.
Di tengah dunia yang penuh gejolak, para prajurit radar Resimen 351 (Daerah Angkatan Laut 3) tetap memilih berdiri di tempat yang paling tenang, agar Tanah Air bisa menjadi paling damai.
Sumber: https://www.qdnd.vn/phong-su-dieu-tra/phong-su/trung-doan-351-ban-cua-mat-than-canh-bien-885617
Komentar (0)