Saya ingat dapur lama ibu saya. Dapur kecil itu tertutup asap, dindingnya tertutup jelaga bekas pembakaran kayu bertahun-tahun. Di hari-hari hujan, ketika hawa dingin menyusup melalui setiap celah pintu, saat itulah dapur menjadi tempat terhangat. Ibu dan saudara-saudara perempuan saya bekerja keras di dekat tungku arang, di samping baskom berisi tepung beras yang dicampur sedikit bubuk kunyit untuk menghasilkan warna kuning, dan ditaburi daun kucai. Di sebelahnya ada seikat tauge dan potongan daun bawang, terkadang diganti dengan parutan singkong.
Dan kemudian, suara menggoda “mendesis… mendesis…” terdengar.
![]() |
| Pancake yang renyah dan keemasan, nikmat disantap saat hari hujan. |
Itu suara ibuku yang menyendok adonan ke dalam cetakan besi cor kecil yang panas (atau besi tebal) dengan sepotong daging berlemak atau sedikit minyak kacang atau minyak kelapa. Suara "mendesis" itu, bagiku, bahkan lebih menggairahkan daripada suara hujan di luar.
Berbeda dengan panekuk besar dan tipis dari Selatan yang dioles tipis di wajan besar, panekuk dari wilayah Tengah berukuran kecil dan muat di telapak tangan. Panekuk ini sungguh mencerminkan kepribadian masyarakat Tengah yang teliti, cermat, namun sangat kaya. Saus ikannya harus saus ikan murni atau saus ikan yang ditumbuk dengan cabai, bawang putih, lemon, dan gula, bercampur dengan aroma minyak yang memenuhi ruangan.
Musim hujan juga membawa hasil panen yang istimewa. Saya ingat pagi-pagi sekali, ayah saya memakai topi kerucutnya dan pergi ke kebun, ke ladang, dan oleh-oleh yang dibawanya pulang adalah jamur phan (orang-orang di negeri Nau menyebutnya jamur phan, jamur ini hanya tumbuh dari tanah setelah hujan pertama musim itu, montok, manis, dan renyah) dan bunga-bunga yang harum. Hari itu, ketika ayah saya pergi ke ladang yang dalam, ada banyak udang air tawar segar yang mudah patah. Terkadang, ibu saya pergi ke pasar dan membeli banyak cumi-cumi sekecil jari...
Segala hasil ladang, laut, langit, dan bumi di hari hujan itu bercampur menjadi daun banh xeo... Terkadang, dapur pedesaan yang miskin hanya punya kulit banh xeo, hanya tepung dengan minyak dan lemak, tanpa "isian" atau "rempah", tetapi tetap saja merupakan hidangan yang lezat!
Ibu dengan cekatan menutup panci, suara mendesis perlahan menghilang, berganti aroma harum. Aku dan saudara-saudaraku duduk mengelilingi api unggun, mata kami tak pernah lepas dari tangan Ibu. Dan ketika kue pertama yang keemasan dan renyah itu dikeluarkan, kami mengecap bibir dan mengendus-endus dengan keras.
Banh xeo paling nikmat disantap panas-panas. Lebih nikmat disantap langsung dari cetakan, selagi uapnya masih mengepul, langsung di dapur.
Dinginnya hujan tersapu oleh hangatnya dengusan. Seluruh keluarga berkumpul, makan, mengobrol, dan tertawa. Banh xeo hangat di hari hujan tak hanya menghangatkan perut yang lapar, tetapi juga jiwa. Itu adalah ikatan cinta yang sederhana namun kuat.
Begitulah Banh Xeo dulu. Hidangan yang ditunggu-tunggu, berkumpul di sekitar api unggun.
Saat ini, banh xeo telah menjadi hidangan populer. Orang-orang dapat menikmati banh xeo kapan saja, di mana saja. Dari warung kaki lima hingga restoran mewah, tersedia berbagai jenis: banh xeo Saigon, banh xeo Barat, banh xeo udang loncat, dan isiannya pun semakin beragam. Kue ini dapat dibuat dengan kompor gas atau listrik, cepat dan praktis.
Kenyamanan terkadang membuat kita bernostalgia.
Sore ini, hujan turun lagi. Para suster saling memanggil untuk berkumpul di dapur darurat di belakang kantor untuk membuat panekuk, karena beberapa teman membawa udang dan cumi-cumi dari laut ke kota pegunungan. Karena bekerja jauh, saya tiba-tiba menginginkan panekuk di hari hujan. Saya tidak hanya menginginkan rasa renyah dan berlemaknya, tetapi juga suasana hangat di hari hujan.
Budaya kuliner sudah tidak asing lagi, bahkan ada di dapur setiap keluarga. Melestarikan dan mempromosikan identitas budaya terkadang bukan hal yang sulit. Sesederhana saat hujan, alih-alih memesan makanan cepat saji, kita meluangkan waktu untuk pergi ke dapur dan mengajak seluruh keluarga atau teman untuk berkumpul.
Dan kemudian, suara "xèo... xèo..." bergema lagi, membawa aliran kenangan, dan dengan demikian, cinta dan budaya selalu terpelihara, hangat dan utuh, seperti panekuk panas di hari hujan...
Source: https://baodaklak.vn/van-hoa-du-lich-van-hoc-nghe-thuat/202511/banh-xeo-ngay-mua-3be17b1/








Komentar (0)