Sejumlah universitas di Inggris menghadapi gelombang baru kecurangan akademik: penggunaan alat kecerdasan buatan seperti ChatGPT untuk mengerjakan tugas dan ujian. Menurut statistik, hampir 7.000 kasus pelanggaran telah diverifikasi pada tahun akademik 2023-2024, lebih dari tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Patut dicatat, para pakar pendidikan mengatakan angka-angka ini hanyalah "puncak gunung es". Sementara itu, "plagiarisme" (bentuk kecurangan akademik yang sebelumnya umum) sedang menurun drastis.
AI mengubah sifat kecurangan di sekolah
Sebelum perangkat AI tersebar luas, plagiarisme menyumbang dua pertiga pelanggaran di universitas-universitas di Inggris. Namun, seiring ChatGPT dan platform bantuan penulisan menjadi semakin canggih dan mudah diakses, sifat kecurangan akademik telah berubah.
AI tidak hanya membantu siswa “menulis” esai, tetapi juga menyarankan struktur, referensi, dan bahkan frasa yang lebih “alami” untuk melewati sistem deteksi kecurangan.
Menurut statistik, pada Mei 2024, tingkat pelanggaran akademik terkait AI telah meningkat menjadi 7,5/1.000 mahasiswa, sementara plagiarisme tradisional telah menurun menjadi hanya sekitar 8,5/1.000. Pembalikan ini menyulitkan universitas untuk mendeteksi dan menangani pelanggaran.
Survei internal oleh Institut Kebijakan Pendidikan Tinggi Inggris menemukan bahwa hingga 88% mahasiswa mengaku menggunakan AI untuk membantu mereka belajar dan menyelesaikan tugas. Dalam uji coba di University of Reading, esai yang dihasilkan AI berhasil lulus ujian dengan tingkat kelulusan hingga 94%.
Dr Peter Scarfe, dosen psikologi di Universitas Reading, memperingatkan bahwa mendeteksi konten yang dihasilkan AI hampir mustahil jika pengguna tahu cara mengeditnya.
"Tidak seperti plagiarisme, di mana Anda dapat membandingkan teks yang disalin, perangkat AI menciptakan konten baru yang sulit diverifikasi. Kecuali siswa mengakuinya, sangat sulit untuk menghukum mereka," kata Peter Scarfe .
Banyak mahasiswa bahkan menganggap penggunaan AI sebagai bagian integral dari studi mereka. Seorang mahasiswa administrasi bisnis mengakui bahwa ia sering menggunakan ChatGPT untuk bertukar pikiran dan mencari referensi, dan bahwa "semua orang menggunakannya sampai batas tertentu."
"AI tidak buruk jika digunakan dengan benar," kata akademisi Thomas Lancaster dari Imperial College London. "Namun, jelas banyak mahasiswa yang melewati batas ini."
Apa arah untuk pendidikan tinggi?
Meskipun pelanggaran meningkat pesat, lebih dari 27% universitas di Inggris masih belum mengklasifikasikan penyalahgunaan AI sebagai kategori pelanggaran terpisah, sehingga menyulitkan pencatatan, pemantauan, dan penanggulangan pelanggaran.
Sementara itu, di platform seperti TikTok, serangkaian video yang menunjukkan cara "menghindari aturan" kepada siswa menjadi viral: mulai dari penggunaan perangkat lunak untuk menafsirkan ulang konten yang dihasilkan AI, hingga kiat-kiat untuk melewati filter yang mendeteksi konten tidak wajar. Berbagai alat ini membantu "memanusiakan" unggahan, membuatnya tampak seolah-olah ditulis oleh manusia.
Tak hanya mahasiswa, perusahaan teknologi juga melihat potensi dari kelompok pengguna ini. Google memberikan paket upgrade perangkat Gemini gratis kepada mahasiswa selama 15 bulan, sementara OpenAI menawarkan harga istimewa bagi mahasiswa di AS dan Kanada.
Menteri Sains dan Teknologi Inggris, Peter Kyle, baru-baru ini menyatakan bahwa AI harus digunakan untuk mendukung siswa, terutama mereka yang memiliki kesulitan belajar. Namun, ia juga menekankan bahwa integrasi AI ke dalam pengajaran, pembelajaran, dan penilaian perlu dipertimbangkan secara cermat untuk menghindari penyalahgunaan.
Sumber: https://baovanhoa.vn/cong-nghe/bao-dong-tinh-trang-gian-lan-thi-cu-bang-ai-tai-anh-143326.html
Komentar (0)