Departemen Pertanian dan Pembangunan Pedesaan menyatakan bahwa hingga saat ini, Binh Thuan belum memiliki studi atau investigasi dasar yang komprehensif untuk menghitung secara akurat jumlah spesies tumbuhan yang dapat digunakan sebagai tanaman obat. Penelitian di bidang ini sebelumnya sebagian besar dilakukan oleh individu dan organisasi yang memiliki minat terhadap tanaman obat, dan sebagian besar dikumpulkan dari penduduk lokal yang tinggal di sekitar hutan.
Berdasarkan informasi yang diberikan oleh berbagai organisasi dan individu, awalnya ditemukan bahwa di kawasan hutan utara provinsi tersebut terdapat beragam tanaman obat, seperti: Bi Ky Nam (juga dikenal sebagai pohon sarang semut, buah Bi Ky Nam, Kien Ky Nam), Huyet Rong (juga dikenal sebagai Hong Dang, Huyet Dang, Pohon Darah), dan Gecko Stone (juga dikenal sebagai Cot Toai Bo). Selain itu, terdapat juga Polygonum multiflorum, Kim Tien Thao, Xao Tam Phan, Tu Bach Long, An Xoa, Rau Meo (juga dikenal sebagai Pohon Kapas), Mat Nhan, Acanthopanax, Jahe Angin, Hibiscus Vine... Khususnya, terdapat spesies bernilai ekonomi tinggi seperti Sam Bo Chinh, Ba Kich, dan Jamur Lim Hijau.
Kawasan hutan di bagian tengah juga kaya akan tanaman obat seperti jamur lingzhi, kapulaga, Andrographis paniculata, Coptis chinensis, Euryale ferox, Cam bien, dan ubi cina. Khususnya, wilayah pegunungan di bagian selatan provinsi ini memiliki iklim yang mendukung, curah hujan yang tinggi, dan tipe hutan khas berupa hutan berdaun lebar yang selalu hijau, sehingga tanaman obat di sini lebih beragam dengan sekitar 350 spesies tanaman obat. Dari jumlah tersebut, 9 spesies tanaman obat telah tercatat dalam Buku Merah Vietnam, termasuk ubi jahe, Euryale ferox, Smilax glabra, Vajra, Anggrek, Le duong, Acanthopanax, Artemisia vulgaris, dan Tiger beard.
Berdasarkan penelitian kami, hingga saat ini, belum ada satu daerah pun di provinsi ini yang menerapkan model budidaya tanaman obat. Hanya pedagang kecil yang mengumpulkan dan membeli produk obat dari hutan melalui eksploitasi masyarakat, lalu menjualnya kembali ke pasar. Tahun lalu, Dinas Perlindungan Hutan Provinsi menerapkan model budidaya sejumlah spesies obat di bawah kanopi hutan, termasuk jamur lingzhi, ubi jalar, dan ginseng di kawasan hutan yang dikelola oleh Badan Pengelola Hutan Lindung Song Mong-Ka Pet, Song Mao, Hong Phu, dan Cagar Alam Ta Cu. Model budidaya tanaman obat di bawah kanopi hutan ini telah membuahkan hasil yang positif.
Menurut Dinas Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, dengan nilai proses pengumpulan dan pemanfaatan tanaman obat di alam liar, serta pemahaman tentang karakteristik, kondisi pertumbuhan, perkembangan, dan nilai setiap jenis tanaman obat, perlindungan, perluasan, dan pengembangan kawasan tanaman obat di bawah tajuk hutan sangatlah penting. Namun, kendala yang dihadapi saat ini adalah modal investasi awal untuk penanaman dan perawatan tanaman obat relatif tinggi dibandingkan tanaman lain. Penerapan proses teknis masih terbatas karena belum banyaknya tenaga ahli di bidang ini di provinsi ini. Selain itu, belum banyak model budidaya tanaman obat yang dapat dijadikan acuan masyarakat, dan pasar konsumsinya pun belum stabil.
Oleh karena itu, sektor fungsional provinsi telah mengusulkan berbagai langkah untuk mengatasi kendala dan mengembangkan tanaman obat di bawah tajuk hutan. Khususnya, sektor fungsional akan secara aktif mencari sumber pendanaan untuk penelitian dan perluasan areal tanaman obat langka dan bernilai tinggi, termasuk areal yang masih ada di alam liar dan areal baru yang ditanam di bawah tajuk hutan alam. Mendorong pembentukan usaha patungan; mengembangkan kebijakan preferensial dalam produksi, pendaftaran, dan peredaran tanaman obat serta produk olahannya. Mengembangkan mekanisme koordinasi investasi dan saling menguntungkan antara masyarakat dan pemilik hutan; mendorong penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi baru, khususnya dalam konservasi tanaman obat, perbanyakan, penanaman eksperimental, pendaftaran perlindungan, dan pengolahan produk olahannya.
[iklan_2]
Sumber
Komentar (0)