Saya berhenti dan membeli sebungkus nasi hijau. Panasnya menyebar melalui daun teratai, membawa aroma murni surga dan bumi. Setiap butir nasi hijau yang lengket berpadu dengan kacang hijau, kelapa parut, dan sedikit wijen sangrai, sederhana namun lengkap. Di tengah kota modern, hidangan pedesaan ini masih mempertahankan ciri khas pedesaannya yang familiar, bagaikan bagian dari jiwa Hanoi .
Menyantap nasi ketan dengan nasi muda di pagi yang dingin, tiba-tiba aku teringat masa-masa kuliahku yang jauh dari rumah. Pagi-pagi sekali dalam perjalanan menuju ruang kuliah, sarapanku hanyalah sebungkus nasi ketan dengan nasi muda yang dibeli terburu-buru di depan gerbang sekolah. Saat itu, uangku tak banyak, tetapi segenggam nasi ketan hangat saja sudah cukup untuk mengawali hari yang panjang dan penuh energi. Aroma nasi ketan yang harum, daun teratai dengan aroma samar sinar matahari, tangisan yang familiar di jantung jalan kecil... semua menjadi kenangan tak terlupakan dari masa mudaku yang sederhana namun indah.
Hari ini, di jantung kota Hanoi, saya menemukan kembali rasa itu, begitu hangat, akrab, dan penuh cinta. Tanpa perlu iklan yang mencolok, nasi ketan tetap bercerita dengan tenang. Kisah tentang kegigihan para pekerja, tentang gaya hidup sederhana warga Hanoi, dan tentang bagaimana orang-orang di sini saling menghangatkan melalui setiap pemberian kecil. Sebungkus nasi ketan bukan hanya hidangan sarapan, tetapi juga simbol kemanusiaan—jenis kasih sayang yang membuat pengunjung dari jauh merasakan keramahan dan kedekatan.
Hanoi mungkin paling indah di musim gugur, ketika segalanya melambat. Dalam aroma nasi hijau yang menyebar, kita dapat mendengar napas jalanan, merasakan kelembutan penduduknya, lembut, mendalam, dan dijiwai cinta kasih manusia. Setiap langkah menyusuri kota tua, setiap kali mendengar seruan "nasi hijau panas di sini..." membuat hati kita tenang. Ternyata di tengah kehidupan modern, yang menahan orang-orang bukanlah gedung-gedung tinggi, melainkan cita rasa tradisional, perasaan menyentuh kenangan sendiri.
Di tengah hiruk pikuk kota, saya menyadari bahwa aroma nasi hijau bukan sekadar rasa, melainkan juga kenangan, cara warga Hanoi melestarikan jiwa di tengah arus modern. Seperti saya, banyak orang datang ke warung nasi ketan bukan hanya untuk makan, tetapi juga untuk mencari ketenangan, untuk menenangkan diri di tengah segala kekhawatiran. Mungkin itulah mengapa Hanoi, meskipun berubah setiap hari, selalu membuat orang merindukannya. Karena di setiap butir nasi hijau, tak hanya tercium aroma musim gugur, tetapi juga manisnya cinta manusia, hal-hal kecil yang cukup untuk mengisi kota ini dengan jiwa Vietnam.
Aku meninggalkan sudut jalan, sambil menenteng bungkusan nasi ketan hangat. Aroma daun teratai masih tercium di ujung jariku, mengingatkanku bahwa ada hal-hal sederhana yang mampu membuat hati orang-orang luluh. Aroma musim gugur, nasi ketan, dan kasih sayang manusia—tiga rasa berpadu membentuk identitas Hanoi, membuat siapa pun yang pernah berkunjung ingin kembali, sekadar mencari sedikit kedamaian di tengah kesibukan hidup ini.
Gantung Saya
Sumber: https://baodongnai.com.vn/van-hoa/202511/dieu-gian-di-huong-thu-xoi-com-tinh-nguoi-71908bf/






Komentar (0)