Sejumlah operasi bedah dibatalkan di Korea akibat pemogokan dokter magang.

Lebih dari 8.800 dokter magang – 71 persen dari angkatan kerja – kini mogok kerja, kata wakil menteri kesehatan kedua Korea Selatan, Park Min-soo, pada tanggal 21 Februari, di tengah semakin sengitnya protes terhadap peningkatan kuota pendaftaran universitas kedokteran oleh pemerintah.

Seoul menyatakan perubahan ini diperlukan karena jumlah dokter di Korea Selatan rendah dan populasi menua dengan cepat. Namun, para dokter mengatakan hal ini akan memengaruhi penyediaan layanan medis di rumah sakit serta kualitas pelatihan di sekolah kedokteran.

Dokter magang Korea Selatan mogok kerja memprotes rencana pemerintah baru

Para penentang gerakan protes mengatakan para dokter sebagian besar khawatir bahwa penambahan jumlah dokter dapat menurunkan gaji dan status sosial mereka. Kebijakan pemerintah ini mendapat dukungan publik yang luas di Korea Selatan, terutama di daerah terpencil yang seringkali sulit mendapatkan akses ke layanan medis berkualitas.

Menurut Wakil Menteri Park, 7.813 dokter magang tidak masuk kerja pada tanggal 21 Februari – hampir lima kali lipat jumlah pada tanggal 19 Februari, hari pertama pemogokan – meskipun pemerintah telah meminta banyak dari mereka untuk kembali ke rumah sakit.

Di depan Rumah Sakit Universitas Nasional Seoul pada tanggal 21 Februari

"Misi mendasar para tenaga medis adalah melindungi kesehatan dan nyawa masyarakat, dan tindakan kolektif apa pun yang mengancam hal ini tidak dapat dibenarkan," ujar Park seperti dikutip AFP. Pejabat tersebut juga mengatakan bahwa aksi mogok para dokter tersebut melanggar hukum Korea Selatan, karena staf medis tidak dapat menolak perintah untuk kembali bekerja "tanpa alasan yang dapat dibenarkan."

Park mengatakan rumah sakit umum Korea Selatan sangat bergantung pada dokter magang untuk perawatan darurat dan bedah. Menurut media lokal, pasien kanker dan perempuan yang membutuhkan operasi caesar tidak dapat menjalani operasi karena pemogokan, yang dalam banyak kasus telah menyebabkan "kerusakan".

Tn. Hong Jae-ryun, seorang pasien kanker otak berusia 50-an dari Daegu, mengatakan perawatan kemoterapinya telah ditunda tanpa tanggal yang jelas karena situasi saat ini, meskipun sel-sel kanker telah menyebar ke paru-paru dan hatinya.

"Ini absurd. Dalam konflik antara pemerintah dan dokter, apa yang bisa dikatakan pasien yang tak berdaya? Rasanya seperti pengkhianatan," kutip AFP dari Bapak Hong.

Sekelompok pasien dengan penyakit serius, termasuk kanker dan amiotrofik lateral sklerosis (ALS), mengatakan mereka menderita “hari-hari penuh rasa sakit yang mengerikan”.

"Kami putus asa setiap menit, setiap detik. Pasien yang kritis membutuhkan perawatan segera... Kami dengan tulus meminta para dokter magang yang telah meninggalkan rumah sakit untuk kembali ke dunia medis sesegera mungkin," kata mereka dalam sebuah pernyataan yang dikirimkan kepada AFP.

Pada 21 Februari, sekelompok dokter yang berpraktik di Provinsi Kyunggi mengadakan protes di pusat kota Seoul. Mereka mengenakan ikat kepala merah bertuliskan "(Kami) sangat menentang perluasan penerimaan mahasiswa kedokteran."

Dokter muda mengatakan reformasi baru dalam pelatihan staf medis merupakan pukulan terakhir bagi profesi yang sudah berjuang dengan kondisi kerja keras.

"Meskipun bekerja lebih dari 80 jam seminggu dan menerima upah minimum, dokter magang masih diabaikan oleh pemerintah sejauh ini," kata Asosiasi Dokter Intern-Residen Korea dalam sebuah pernyataan.

Mereka juga mengatakan bahwa ketergantungan yang berlebihan pada dokter magang dalam sistem perawatan kesehatan saat ini di Korea tidak masuk akal dan tidak adil, dengan mengklaim bahwa pemerintah memperlakukan mereka seolah-olah mereka adalah "penjahat."

Tautan sumber: https://thanhnien.vn/hang-loat-ca-mo-bi-huy-tai-han-quoc-vi-bac-si-tap-su-dinh-cong-185240221202054267.htm