“Mengirim rasa asin ke laut” sebagai pengakuan tulus Ton Nu Dieu Hanh

Kumpulan puisi ini terbagi dalam lima bab, meliputi: Jiwa Musim Gugur, Kata-kata Hati, Mengirim Rasa Asin ke Laut, Mengasihani Diri Sendiri, dan Empat Musim Cinta. Struktur ini membangkitkan perjalanan emosional dari getaran awal musim gugur, melalui bisikan hati, hingga perasaan yang dititipkan pada lautan, lalu kembali ke pengalaman hidup, dan akhirnya pada cinta yang harmonis di antara empat musim. Beginilah cara penulis menceritakan kisah cintanya sendiri dalam puisi.

Laut adalah gambaran sentralnya, luas sekaligus intim, ganas sekaligus lembut. Dalam puisi-puisinya, laut tak hanya muncul sebagai alam, tetapi juga sebagai simbol cinta, nostalgia, hasrat yang tulus, dan kesunyian yang tenang. Selain laut, musim gugur juga menjadi penopang lainnya. Dalam puisi "Menyentuh Musim Gugur" (bab "Jiwa Musim Gugur"), sang penulis meninggalkan kesan istimewa: musim gugur bukan hanya pemandangan, tetapi juga jiwa manusia, kemabukan cinta. Di sana, alam dan manusia seakan melebur satu sama lain, menciptakan paduan suara yang lembut dan penuh gairah.

Yang membuat "Sending Salt to the Sea" begitu memikat adalah ketulusan hatinya. Ton Nu Dieu Hanh menulis puisi seolah berbicara kepada hatinya sendiri, tanpa paksaan atau hiasan. Terkadang berupa pengakuan yang lembut, terkadang berupa kerinduan yang mendalam, tetapi semuanya jujur ​​dan dijiwai oleh pengalaman seseorang yang telah hidup, mencintai, dan merindukan masa muda dalam ingatannya - seperti yang ia tulis: "Tua atau muda, tak ada bedanya / Cinta adalah cahaya magis di hati".

Banyak penyair dan kritikus, ketika membaca kumpulan puisi ini, menekankan "keberanian" sang penulis. Keberanian itu bukan karena ia beralih dari prosa ke puisi, melainkan karena ia berani menulis tentang cinta dengan berani dan penuh semangat. Oleh karena itu, puisi Dieu Hanh menjadi berharga karena kejujuran, kesederhanaan, dan kekayaan emosinya.

Membaca "Sending Salt to the Sea", kita melihat perjalanan cinta dan kehidupan, melihat keheningan batin, melihat dialog tak henti dari hati yang peka. Puisi-puisinya terkadang bisikan, terkadang panggilan tulus, dan terkadang panggilan mendesak kepada waktu: "Kumohon waktu jangan berlalu begitu cepat/ Agar masa mudaku tak layu."

Menutup buku puisi, gema yang tersisa adalah hati yang penuh gairah, intens, namun juga lembut dan manusiawi. Itulah Ton Nu Dieu Hanh, seorang perempuan Hue yang lembut namun tangguh, seorang penulis, dan kini seorang penyair yang tahu bagaimana mendengarkan hatinya untuk berbagi dengan kehidupan.

Artikel dan foto: Hai Bang

Sumber: https://huengaynay.vn/van-hoa-nghe-thuat/khuc-tinh-ca-tu-hue-trong-gui-man-nong-cho-bien-158039.html