Langit belum cerah, tetapi banyak orang sudah tampak di atas Laut Tuy Hoa. Bapak Nam Chien (78 tahun, di kecamatan Tuy Hoa) telah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya dengan perahu kecil dan jaringnya, diam-diam mempersiapkan pelayaran pertama hari itu bersama rekan-rekan pelautnya. Angin laut yang asin, aroma ikan, dan oli mesin bercampur di udara, menciptakan aroma yang familiar bagi para nelayan di wilayah laut ini.
"Saya sudah terbiasa dengan pekerjaan ini, saya tidak tahan kalau tidak pergi," kata Pak Chien, sambil terus memeriksa jaringnya. Ketika jam menunjukkan pukul 4, ia dan krunya mendorong perahu ke air. Suara mesin yang keras memecah malam, dan perahu kecil itu menerobos ombak menuju laut.
Nelayan di daerah Tuy Hoa mempersiapkan jaring mereka untuk pergi menangkap ikan di pagi hari. |
"Setiap hari, saya dan teman-teman nelayan lainnya bangun pukul 3 pagi, menyiapkan peralatan, dan pergi melaut. Dari pukul 4 pagi hingga 8 pagi, kami bergantian dua kali melaut. Ada hari kami dapat ikan, ada hari tidak, tetapi kami pergi melaut hampir setiap hari," kata Pak Chien, matanya masih menatap ke laut. Selama lebih dari 40 tahun berkarier di profesi ini, bagi Pak Chien, laut bukan hanya tempat mencari nafkah, tetapi juga rumah, teman, tempat ia berbagi suka duka hidup.
Perahu Pak Chien kecil dan hanya berlayar mendekati pantai. Setiap hari, ia dan rekan-rekan tukang perahunya menjala ikan tombak, barakuda, ikan teri, udang, cumi-cumi, dll., dan terkadang bahkan makerel dan tuna. Begitu perahu mencapai pantai, istrinya memanfaatkan kesempatan itu untuk memilah dan memilih ikan-ikan berkualitas untuk dijual kepada para pencari makan pagi atau diantar ke restoran-restoran di pesisir. Pada hari yang baik, setiap tukang perahu mendapat 80.000 - 100.000 VND; pada hari yang buruk, mereka pulang dengan tangan kosong, yang dianggap sebagai kerugian (biaya perjalanan).
"Dengan begini, kami dapat uang, tapi tidak cukup untuk bertahan hidup. Modal kami terbatas, jadi kami hanya pergi ke dekat pantai. Hanya mereka yang punya uang yang bisa membeli perahu besar untuk menangkap tuna jauh dari pantai," kata Pak Chien, matanya masih tertuju pada permukaan laut yang baru saja memerah karena cahaya fajar.
Tak hanya di Tuy Hoa, banyak desa nelayan di pesisir timur Dak Lak juga mengawali hari baru dengan deburan ombak dan deru perahu motor yang menggema di sepanjang pantai. Di Desa My Quang Bac (Kelurahan Tuy An Nam), Bapak Nguyen Tam dan istrinya, Ibu Ho Thi Thu Tuyet, telah lebih dari 35 tahun mengarungi lautan. Barang bawaan mereka hanyalah sebuah perahu kecil bermesin dan beberapa jaring usang.
"Bekerja di laut itu tidak bisa diprediksi. Ada hari-hari kita bisa menangkap banyak ikan, di hari-hari lain kita hanya dapat beberapa kilogram ikan. Ikan tergantung musim, seperti musim ini ikan teri," kata Pak Tam sambil melipat jaringnya untuk mempersiapkan perjalanan berikutnya.
Setiap hari, Pak Tam bangun pukul 2 pagi dan mendorong perahu motornya ke laut saat hari masih gelap. Laut malam itu luas, hanya terdengar desiran angin dan kerlap-kerlip lampu perahu di kejauhan. Meskipun sudah terbiasa, ia tetap tidak subjektif karena laut memang tak terduga. Ada hari-hari ketika laut tiba-tiba ganas, ombak menghantam dengan keras, perahu motornya oleng dan hampir terbalik. Suatu kali, mesinnya mogok di tengah perjalanan, dan ia harus memanggil seseorang dari pantai untuk datang menyelamatkannya.
Sekitar pukul 5 pagi, ketika matahari baru saja terbit, ia kembali ke pantai. Di bawah sinar matahari kuning pucat, jaringnya terangkat, berkilauan dengan ikan dan udang segar—hadiah dari laut setelah berjam-jam bekerja keras. Di pantai, Ibu Tuyet juga sibuk menyiapkan keranjang, siap menerima ikan untuk disortir dan dijual kepada para pedagang yang sudah dikenalnya.
"Setiap kali suamiku melaut, aku tidak bisa tidur, aku merasa sangat khawatir karena lautan begitu luas. Tapi seiring waktu, aku sudah terbiasa. Aku sudah bekerja di laut selama puluhan tahun, bagaimana mungkin aku berhenti sekarang?", kata Bu Tuyet, tangannya masih dengan lincah mengambil setiap ikan teri yang tersangkut di jaring.
Mencari nafkah di laut, nelayan tak hanya menghadapi bahaya di laut, tetapi juga harus menanggung beban biaya yang kian tinggi: mulai dari bensin, alat tangkap, hingga reparasi mesin, perawatan perahu dan keranjang. Sementara itu, harga ikan berfluktuasi tak menentu, terkadang turun tajam, sehingga jerih payah melaut semalaman hanya terbayar dengan puluhan ribu dong. Banyak keluarga miskin tak punya cukup modal untuk membuat perahu baru dan membeli jaring, sehingga terpaksa menerima pekerjaan serabutan di pesisir, dengan penghasilan yang berfluktuasi setiap pasang surut. Namun, terlepas dari segalanya, mereka tetap setia pada laut. Mereka rela menerima kesulitan, rela menerima kerugian demi mempertahankan profesi, menjaga laut, dan melestarikan cara hidup yang ditinggalkan leluhur.
Setiap pagi, saat matahari terbit, perahu-perahu kecil saling mengikuti, membelah ombak dan berlayar menuju laut. Ritme kehidupan pun terus berlanjut—damai dan sederhana, layaknya manusia yang terikat dengan laut. Begitulah ritme kehidupan mereka yang menggantungkan hidup pada ombak, di mana setiap mata jaring tak hanya menampung ikan, tetapi juga menyimpan kenangan dan jiwa desa nelayan. |
Desa My Quang Bac—sebuah desa nelayan yang berusia hampir 200 tahun—kini dihuni lebih dari 780 rumah tangga, yang sebagian besar hidup dengan menangkap ikan di dekat pantai. Perahu keranjang dan perahu kecil berkapasitas cukup untuk melaut merupakan aset berharga, "alat pancing" bagi banyak generasi nelayan di sini. Bapak Nguyen Hoang Yen, Kepala Desa My Quang Bac, mengatakan: "Masyarakat di desa ini telah menangkap ikan sejak generasi kakek-nenek mereka, dan sekarang anak cucu mereka masih melakukannya. Hampir semua orang di sini tahu cara menarik jaring, menambal jaring, dan mencium aroma ikan sejak kecil. Ada keluarga yang tidak pernah meninggalkan laut selama tiga generasi."
Menurut Bapak Nguyen Hoang Yen, meskipun pekerjaan sebagai nelayan itu berat, profesi ini sudah mendarah daging. Nelayan melaut bukan hanya untuk mencari nafkah, tetapi juga karena mereka mencintai laut. Jaring yang tergantung di depan rumah mereka bukan hanya alat tangkap ikan, tetapi juga simbol kerja keras dan kenangan dari generasi ke generasi yang telah lama terikat dengan laut.
Meskipun pendapatannya tidak stabil, para nelayan di desa nelayan bagian timur Dak Lak masih berusaha untuk tetap melaut dan mempertahankan pekerjaan mereka. |
Ada hari-hari ketika laut sedang ganas-ganasnya, desa nelayan terasa sunyi senyap. Tak ada suara mesin, tak ada suara orang-orang yang saling berteriak untuk menarik jala. Namun, begitu laut kembali tenang, penduduk desa saling mengajak melaut. Meskipun mereka tahu bahwa menangkap ikan itu pekerjaan berat dan penghasilannya tak menentu, mereka tetap tak meninggalkan jala. Karena profesi ini telah memberi makan banyak generasi, mengajari mereka kesabaran, kesetiaan, dan keberanian untuk mengatasi kesulitan.
"Dalam profesi ini, selama masih kuat, masih bisa melaut. Selama masih bisa mendengar deburan ombak dan menghirup aroma angin asin, masih bisa melaut," ujar Bapak Nam Chien, penegasan tegas dari seorang pria yang tak pernah menyerah pada laut seumur hidupnya. Bapak Nguyen Tam tersenyum lembut: "Laut memberi kita kehidupan. Kita menghindari laut yang ganas, tetapi kita menyambut laut yang lembut. Laut tidak membuat kita kaya, tetapi dapat menghidupi kita, istri dan anak-anak kita. Laut tidak akan mengecewakan mereka yang mencintainya."
Di tengah perubahan kehidupan yang tak henti-hentinya, para nelayan di perairan timur Dak Lak masih dengan tenang mempertahankan profesi tradisional mereka. Tak hanya untuk mencari nafkah, tetapi juga untuk melestarikan sebagian jiwa desa nelayan tersebut—sebuah tempat dengan ombak, angin, dan kehangatan cinta manusia layaknya lautan.
Sumber: https://baodaklak.vn/xa-hoi/202508/luoi-ca-nhip-doi-6cf0a4e/
Komentar (0)