Siswa SMA Nguyen Hien, Distrik Binh Thoi, Kota Ho Chi Minh pada hari pembukaan tahun ajaran baru - Foto: NHU HUNG
Tahun lalu, selain jadwal kelas pagi utama, saya hanya memiliki satu sesi untuk beberapa mata kuliah tambahan yang disusun dalam sesi silang. Dengan demikian, saya memiliki lebih banyak waktu untuk beristirahat dan mempelajari mata kuliah tambahan favorit saya. Tahun ini, jadwal kelas dibagi menjadi beberapa sesi yang lebih kecil, dengan beberapa sesi hanya memiliki dua periode, sementara yang lain memiliki tiga periode.
Akibatnya, anak-anak sulit mendaftar mata pelajaran ekstrakurikuler meskipun mata pelajaran tersebut hanya memerlukan waktu satu jam per sesi.
Menjemput dan mengantar anak saya juga merupakan masalah yang sulit. Jika saya mengantar anak saya lebih awal ke tempat kerja, ia harus berdiri di luar gerbang sekolah karena sekolah tidak mengizinkan orang masuk terlalu awal, yang akan mengganggu kegiatan belajar mengajar. Jika saya menunggu hingga mendekati waktu tersebut, saya pasti akan terlambat ke tempat kerja.
Seorang tetangga bahkan lebih sulit lagi. Setiap Sabtu pagi, anaknya harus bangun jam 6 pagi hanya untuk satu kelas.
Peraturan dan kenyataan berbeda
Pada tanggal 5 Agustus, Kementerian Pendidikan dan Pelatihan mengeluarkan pedoman untuk menerapkan pengajaran dua sesi per hari mulai tahun ajaran 2025-2026.
Oleh karena itu, siswa SMP dan SMA belajar maksimal 11 sesi per minggu, dengan maksimal tujuh sesi per hari, dengan masing-masing sesi berdurasi 45 menit. Di sekolah dasar, jumlah sesi minimal adalah sembilan sesi, dengan masing-masing sesi berdurasi 35 menit.
Kebijakan tersebut diharapkan dapat mengurangi tekanan, menciptakan lebih banyak ruang bagi kegiatan pelengkap dan pembangunan komprehensif.
Namun, kenyataannya, banyak sekolah, terutama sekolah negeri di perkotaan, tidak memiliki fasilitas yang memadai karena jumlah siswa yang besar, sehingga mereka terpaksa menyesuaikan diri dengan jadwal yang tidak teratur. Untuk memastikan tersedianya kelas reguler dan kelas tambahan yang memadai, beberapa sekolah terpaksa "memusatkan" jadwal mereka ke Sabtu pagi.
Beberapa orang tua mengatakan bahwa anak-anak mereka hanya bersekolah di pagi hari di akhir pekan selama satu hingga tiga jam pelajaran, yang mana sangat jarang dan mengganggu kehidupan keluarga. Di Hanoi , banyak sekolah terpaksa mengatur kelas pada hari Sabtu karena jika mereka hanya belajar dari Senin hingga Jumat, mereka tidak akan memiliki cukup jam pelajaran yang dibutuhkan.
Hari sekolah yang hanya terdiri dari dua sesi juga menimbulkan kesulitan bagi orang tua. Banyak sekolah di perkotaan membiarkan siswa selesai sekolah pada sore hari, mulai pukul 15.00 hingga 15.30, sementara jam kerja orang tua berakhir lebih lambat.
Tanpa layanan antar-jemput atau layanan taksi daring, banyak orang tua terpaksa pulang kerja lebih awal. Bagi para pekerja di kawasan industri, ketidaksesuaian antara jam kerja dan jam sekolah anak-anak mereka berdampak langsung, sehingga beberapa terpaksa berhenti bekerja demi mengasuh anak-anak mereka.
Belum lagi keluarga tersebut memiliki dua orang anak yang bersekolah di dua tingkat yang berbeda seperti yang diceritakan teman saya, anak SMP masuk sekolah pukul 06.45 dan harus dijemput pukul 10.30, masuk sekolah pukul 02.00 dan selesai pukul 04.00, dan anak SD asrama masuk sekolah pukul 07.30 dan selesai pukul 05.00.
Tekanan belajar tidak berkurang.
Perlu dicatat bahwa perubahan jumlah periode tidak disertai penyesuaian kurikulum. Kerangka pengetahuan SMP dan SMA tetap sama, sementara ujian pindah, ujian kelulusan, dan ujian masuk universitas masih sama sulitnya seperti sebelumnya.
Karena adanya pembagian waktu sekolah reguler, siswa kesulitan untuk mengikuti sesi evaluasi berkelanjutan. Sementara itu, peraturan saat ini hanya mengizinkan pembelajaran tambahan dalam tiga kasus: les privat untuk siswa yang kurang mampu, melatih siswa yang berprestasi, dan evaluasi untuk ujian akhir.
Artinya, siswa di kelas 6, 7, dan 8 hampir tidak memiliki kesempatan untuk meninjau secara formal, dan guru juga tidak memiliki mekanisme untuk mengajar kelas tambahan dengan bayaran.
Akibatnya, kebutuhan untuk kelas tambahan masih ada tetapi telah bergeser ke pusat-pusat swasta atau kelompok belajar spontan, di mana kualitas dan keamanannya sulit dikontrol.
Kesenjangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan juga semakin melebar. Sekolah-sekolah di perkotaan dengan fasilitas yang baik dapat menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, dan asrama, sementara siswa di pedesaan hanya mempelajari mata pelajaran utama lalu pulang. Sebuah kebijakan umum, tetapi menciptakan dua realitas yang berbeda.
Pengalaman internasional
Menurut OECD Education at a Glance 2023-2025, siswa sekolah menengah pertama di negara-negara anggota belajar rata-rata 909-916 jam/tahun, atau sekitar 24 jam/minggu, setara dengan 4,7-4,8 jam per hari (lima hari/minggu). Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan di Vietnam, di mana siswa biasanya belajar 6-7 jam/hari, belum termasuk kelas tambahan.
Yang lebih penting, jadwal di negara-negara OECD disusun secara sistematis sepanjang hari, dengan memasukkan kegiatan ekstrakurikuler langsung di sekolah. Di Finlandia, siswa belajar dari pukul 08.00 hingga 14.00, lalu bergabung dengan klub.
Denmark memiliki model "sekolah sehari penuh", dengan makan siang dan kegiatan keterampilan di sekolah. Norwegia juga memiliki sekolah asrama yang populer, di mana siswa tinggal di sekolah sampai orang tua mereka pulang kerja. Dengan demikian, orang tua tidak perlu menjemput dan mengantar mereka berkali-kali, dan siswa memiliki waktu yang seimbang antara belajar dan beristirahat.
Sebaliknya, di Vietnam, peraturan "tidak lebih dari tujuh periode/hari" tetapi tidak adanya model asrama membuat jadwal sekolah terfragmentasi, mengubah "mengurangi beban" menjadi beban penjemputan dan pengantaran.
OECD juga menekankan bahwa waktu di kelas hanyalah bagian dari proses pengembangan. Siswa membutuhkan ruang untuk belajar mandiri, berkreasi, dan bersosialisasi.
Namun di Vietnam, peraturan "tidak lebih dari tujuh jam pelajaran sehari" tidak memiliki mekanisme asrama yang seragam. Jadwal sekolah menjadi terfragmentasi, siswa tidak belajar secara berkelanjutan dan tidak beristirahat sepenuhnya.
Diperlukan pendekatan yang fleksibel
Alih-alih menetapkan secara kaku "tidak lebih dari tujuh jam pelajaran/hari", sekolah dapat diberikan otonomi untuk mengatur, misalnya, delapan jam pelajaran pada hari-hari tertentu, dengan imbalan siswa mendapatkan satu hari libur penuh di hari lain. Dinas pendidikan dapat mewajibkan sekolah untuk menanyai keinginan orang tua, dan hanya menyelenggarakan kelas Sabtu pagi jika benar-benar diperlukan dan dengan konsensus.
Yang lebih penting, model asrama perlu diperluas sehingga siswa dapat makan, beristirahat, dan belajar di sekolah, sehingga mengurangi tekanan transportasi bagi orang tua...
Sumber: https://tuoitre.vn/ngay-hoc-7-tiet-tu-ky-vong-den-ap-luc-20250916082206285.htm
Komentar (0)