Survei Pengajaran dan Pembelajaran Internasional (TALIS) mengumpulkan data dari 3.500 guru sekolah menengah di 145 sekolah negeri dan 10 sekolah swasta di Singapura. Hasilnya menunjukkan gambaran yang menggembirakan sekaligus mengkhawatirkan tentang profesi guru di negara kepulauan tersebut.
Menurut TALIS, guru penuh waktu di Singapura bekerja rata-rata 47,3 jam per minggu, jauh lebih tinggi daripada rata-rata OECD sebesar 41 jam dan tidak berubah sejak tahun 2018. Dari jumlah tersebut, hanya 17,7 jam per minggu yang benar-benar dihabiskan untuk mengajar, lebih rendah daripada rata-rata OECD sebesar 22,7 jam. Sebaliknya, guru Singapura menghabiskan 8,2 jam untuk mempersiapkan pelajaran dan 4 jam untuk pekerjaan administratif, lebih tinggi daripada rata-rata global.
Beban kerja yang berat tercermin pada kesehatan mental mereka. Sebanyak 27% guru di Singapura mengaku merasa sangat stres, dibandingkan dengan rata-rata OECD sebesar 19%. Perlu dicatat, tingkat stres guru di bawah usia 30 tahun secara signifikan lebih tinggi dibandingkan guru di kelompok usia yang lebih tua.
Tiga penyebab utama stres adalah beban kerja administratif yang besar, terlalu banyak penilaian, dan tanggung jawab atas kinerja siswa. Sekitar 53% guru mengatakan tugas administratif merupakan sumber utama stres mereka.
Menurut Kementerian Pendidikan , berkurangnya jam mengajar bukan berarti inefisiensi, melainkan mencerminkan meluasnya peran guru. Mereka diharapkan tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai pelatih, mentor, dan pengelola ekstrakurikuler. Namun, hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan profesi guru seiring meningkatnya tuntutan di luar kelas.
Menghadapi situasi ini, Kementerian Pendidikan Singapura (MOE) telah mengonfirmasi penerapan berbagai langkah untuk mengurangi beban kerja. Dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian telah memangkas 10% pekerjaan administratif dan meluncurkan uji coba "Portal Orang Tua" untuk membantu orang tua mengirimkan dokumen secara daring, sehingga mengurangi beban guru.
Kementerian juga mengimbau para guru untuk tidak menanggapi pesan tugas di luar jam sekolah, kecuali dalam keadaan mendesak, dan menggunakan AI untuk mengotomatiskan penilaian, asesmen siswa, dan manajemen data. Langkah ini, menurut kementerian, bertujuan untuk "membantu para guru lebih fokus pada pengajaran dan pengembangan siswa yang komprehensif".
Di sisi lain, laporan tersebut menemukan bahwa guru-guru Singapura adalah yang terdepan di dunia dalam hal adopsi teknologi. Sekitar 75% guru mengatakan mereka menggunakan AI dalam mengajar, dua kali lipat rata-rata OECD (36%). Dari jumlah tersebut, 82% mengatakan AI membantu mereka meningkatkan perencanaan pembelajaran, dan 74% merasa AI mengurangi beban kerja administratif.
Namun, Kementerian Pendidikan Singapura juga mengakui bahwa penerapan AI tidak membantu “mengurangi jam kerja” secara signifikan, karena mengintegrasikan teknologi juga memerlukan pelatihan berkelanjutan dan peningkatan keterampilan, sehingga menciptakan tekanan baru bagi banyak guru.
“Hasil TALIS bermanfaat dalam membantu pemerintah memahami tantangan yang dihadapi profesi guru dan membangun sistem pendukung yang lebih kuat,” ujar Menteri Pendidikan Singapura Desmond Lee. “Singapura akan terus menyederhanakan proses, berinvestasi dalam teknologi, memperluas pelatihan psikologis bagi guru, dan menumbuhkan budaya menghargai waktu pribadi guru.”
Sumber: https://giaoducthoidai.vn/nghe-giao-giua-vong-xoay-ap-luc-post751886.html
Komentar (0)