Setiap perjalanan merupakan saat yang sulit, tetapi juga momen yang berkesan tentang kesulitan profesi, tentang kemanusiaan yang mendalam, atau keagungan hutan yang agung.
Hari-hari ini, dalam suasana penuh sukacita peringatan 100 tahun Hari Pers Revolusioner Vietnam, saya dipenuhi haru ketika mengenang perjalanan ke hutan untuk menulis artikel tentang pengelolaan dan perlindungan hutan, penghijauan, merefleksikan kehidupan etnis minoritas yang terkait dengan hutan, atau sekadar merekam keindahan alam liar dan agung hutan agung tersebut. Semuanya kembali, semarak seolah baru kemarin.

Yang paling saya ingat adalah dua kali saya mendaki beberapa gunung tinggi bersama staf Badan Pengelolaan Perlindungan Hutan Bac Bien Ho di distrik Chu Pah di kawasan hutan yang dikelola oleh unit ini. Pertama kali saya mendaki gunung itu adalah untuk merenungkan pekerjaan pengelolaan dan perlindungan hutan di puncak gunung Chu Prong. Perjalanan untuk menaklukkan gunung itu, yang tingginya sekitar 1.200 m di atas permukaan laut, cukup sulit. Jalan menuju puncak gunung itu berbatu dan memiliki banyak lereng curam. Untuk mendaki gunung itu, kami harus berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor yang dimodifikasi. Dalam perjalanan ke puncak gunung, staf Badan Pengelolaan Perlindungan Hutan Bac Bien Ho memberi kami tongkat dan menginstruksikan kami tentang beberapa keterampilan mendaki gunung seperti hanya minum sedikit air ketika haus, mematahkan cabang pohon untuk menandai jalan jika kami tersesat, dll.
Setelah lebih dari 2 jam berjalan, rombongan kami sampai di puncak gunung. Keringat mengucur deras dari badan, kaki terasa lelah. Di puncak gunung, terdapat tenda sementara yang terbuat dari terpal dan pepohonan hutan. Sebuah tikar dibentangkan di tengah tenda, dipisahkan dari tanah oleh lapisan dedaunan. Tiga lembar selimut dan kelambu tersusun rapi di atas tikar. Di depan tenda, terdapat banyak pohon besar dengan beberapa hammock yang diikatkan di batangnya. Sebuah rak anyaman kasar dari pepohonan hutan diletakkan di atas pohon Barringtonia acutangula untuk menyimpan panci, wajan, mangkuk, nasi, mi instan, ikan kering, dll. Di tanah, terdapat tungku dengan tiga batu untuk memasak. Di sinilah para petugas dan pegawai Badan Pengelola Perlindungan Hutan Bac Bien Ho menginap selama patroli dan pengelolaan perlindungan hutan.
Malam tiba, angin bertiup, kami meringkuk di dalam tenda. Api unggun menyala, tetapi tak cukup menghangatkan kami di malam yang panjang dan dingin. Saya sulit tidur, dan berkali-kali saya pergi mengumpulkan kayu bakar untuk membuat api semakin panas. Saya mendengar para penjaga hutan bercerita bahwa gaji mereka tak sebanding dengan jejak kaki patroli mereka di ribuan hektar hutan; lalu cerita tentang seseorang yang tiba-tiba jatuh sakit, dibawa turun gunung, dan tak selamat, membuat hati saya dipenuhi pikiran-pikiran berat. Ketika saya duduk untuk menulis, sudut mata saya terasa perih.

Kami juga menaklukkan gunung lain di distrik Chu Pah untuk mendokumentasikan kegiatan penanaman hutan. Warga yang menerima pohon-pohon tersebut memutuskan untuk mendirikan tenda-tenda di gunung untuk waktu yang lama guna menyelesaikan kegiatan tersebut. Wajah semua orang seputih dedaunan karena suhu yang rendah. Setiap kali angin bertiup kencang, tenda-tenda pun miring. Melihat makan siang yang disajikan, saya mengagumi semangat para penanam hutan untuk mencari nafkah. Tanpa mangkuk, setiap orang memasukkan nasi ke dalam kantong plastik, menambahkan beberapa ekor ikan kering, memercikkan sedikit kecap ikan, bersandar di pohon, dan duduk menikmati hidangan lezat.
Di lain waktu, saya menaklukkan puncak gunung setinggi lebih dari 1.000 m di tengah langit, di kawasan hutan Badan Pengelolaan Hutan Lindung Ia Grai Utara (di komune Ia Khai, distrik Ia Grai). Tempat ini masih menyimpan jejak-jejak masa perang. Tak hanya menjadi tugu peringatan, kawah bom, tempat perlindungan, parit, dan peluru..., di bawah kanopi hutan tua ini juga terdapat tempat peristirahatan terakhir para prajurit Batalyon 631 Front Dataran Tinggi Tengah.
Memasuki tanah suci nan agung yang pernah dibom namun kini tak banyak dikenal, membuat saya terharu. Alih-alih dupa, saya menulis sebuah artikel untuk mengungkapkan kenangan dan rasa terima kasih saya kepada rakyat Vietnam yang telah berkorban demi Tanah Air. Tulisan ini juga merupakan ucapan terima kasih kepada staf Badan Pengelolaan Perlindungan Hutan Ia Grai Utara yang tak segan-segan mendukung saya dalam perjalanan ini. Mereka, seperti saya, setelah perjalanan ini, mengalami banyak luka di tubuh akibat terjangan pohon-pohon hutan.

Saya ingat suatu kali, saya mengikuti sekelompok orang memancing di daerah waduk Ia Mlah (Kecamatan Krong Pa). Semalam di hutan memberi saya pengalaman menarik. Ternyata memancing juga merupakan profesi yang sangat rumit. Sebelum pergi memancing, setiap orang harus menyiapkan umpan dengan memfermentasi dedak selama 2-3 hari. Semua bahan dimuat ke dalam kendaraan bersama dengan beberapa pot, hammock, tirai, dan terpal untuk tenda. Setibanya di sana, para nelayan memilih tempat untuk mendirikan kemah dan mulai memancing.
Dalam kegelapan yang sunyi, setiap orang memilih sudut untuk melempar umpan guna menarik ikan. Jika memancing ikan lele, ikan gabus, atau ikan gabus, mereka menggunakan cacing, jangkrik, usus ayam, dll. sebagai umpan; jika memancing ikan mas rumput, nila, atau ikan mas biasa, mereka menggunakan umpan dedak fermentasi. Setelah melempar umpan, mereka berkumpul di sekitar api unggun untuk duduk dan mengobrol. Sesekali, mereka memeriksa joran atau menunggu bel alarm yang terpasang di joran berbunyi, lalu bergegas menuju joran untuk menarik ikan.
Malam di tengah padang gurun yang luas terasa sunyi. Sesekali angin dari hutan pinus berhembus, membawa dinginnya air danau. Saya dan teman-teman nelayan berkumpul di sekitar api unggun yang menyala-nyala, menghangatkan diri, dan menikmati makan malam. Sebuah santapan yang tak terlupakan dengan hasil bumi pegunungan dan sungai Krong Pa. Kami membawa dua panci untuk memasak nasi dan sup. Supnya terbuat dari sayuran liar yang tumbuh di hutan. Saus cocolannya adalah sarang semut rangrang yang baru ditangkap, ditumbuk dengan garam, cabai liar, daun kemangi, dan serai... Makanannya adalah ikan segar. Beberapa nelayan mengajari saya cara bertahan hidup di hutan, mulai dari memilih arah, menandai ketika tersesat, hingga tanaman yang bisa dimakan, mencari sumber air minum, dan membuat api.

Saya dan rekan-rekan juga sering berjalan kaki sejauh 10 km di jalan setapak yang mengarah ke hutan lebat untuk menyelidiki situasi penebangan liar. Jalannya licin, curam, dan terkadang kami harus berpegangan pada akar dan tanaman merambat pohon untuk melewatinya. Menemukan lokasi penebangan liar, kami merasa gugup, takut, tetapi juga gembira, melupakan rasa lelah kami. Setelah berfoto-foto, kami menuruni gunung dengan keringat yang membasahi sekujur tubuh.
Boleh dibilang, perjalanan mendaki hutan dan gunung bukan sekadar pekerjaan, melainkan bagian dari kehidupan jurnalis seperti saya. Hal ini melatih saya untuk gigih, berani, dan mencintai pekerjaan saya. Duduk dan memandangi foto serta video yang terekam dari pegunungan dan hutan yang telah meninggalkan jejak saya, hati saya dipenuhi nostalgia yang tak terlupakan. Semua ini menjadi aset berharga bagi saya untuk terus mengabdikan diri, mempersembahkan kisah-kisah autentik dan hidup dari negeri Gia Lai yang cerah dan berangin ini kepada para pembaca.
Sumber: https://baogialai.com.vn/nho-nhung-chuyen-tac-nghiep-o-rung-post328996.html
Komentar (0)