![]() |
Real Madrid mengalahkan Barcelona di El Clasico. |
Di Bernabeu pada tanggal 26 Oktober, kemenangan itu menghasilkan lebih dari tiga poin - itu adalah respon dari sebuah tim yang tidak pernah membiarkan siapa pun menghina kehormatannya.
Ketika kesombongan menyala
Dalam olahraga elit, hinaan bisa menjadi bahan bakar paling ampuh. Michael Jordan pernah menciptakan "musuh imajiner" untuk mempertahankan hasratnya untuk menang. Real Madrid tidak perlu menciptakan siapa pun – Lamine Yamal telah melakukannya untuk mereka.
Ketika pemain muda Barcelona itu menyebut Madrid "tim yang suka diving dan mencuri", ucapannya yang tampak biasa saja mengguncang ruang ganti Valdebebas. Tak seorang pun terhibur. Mereka tersinggung, tertantang. "Mau perang? Perang saja," begitulah nyanyian yang bergema di seantero tim.
Bagi Real Madrid, ini bukan lagi sekadar perebutan gelar. Mereka kalah empat kali dari Barcelona musim lalu, tetapi kekalahan itu tidak lebih menyakitkan daripada rasa malu yang mereka rasakan. Jadi, mereka tidak hanya ingin menang – mereka ingin memberi pelajaran kepada lawan mereka tentang rasa hormat.
Sejak nama Lamine Yamal muncul di papan skor, Bernabéu bergemuruh. Puluhan ribu peluit bersahutan, dingin dan keras. Setiap kali pemain nomor 10 Barça menyentuh bola, suaranya menggema bak pengingat: "Kami tak pernah lupa".
![]() |
Mbappe (kanan) bersinar, sementara Lamine Yamal redup. |
Di lapangan, para pemain Real Madrid bermain seolah-olah mereka menerima perintah dari lubuk hati mereka. Mereka menekan dengan keras, beradu sengit, dan pantang menyerah. Dan ketika kemenangan 2-1 dipastikan, semua emosi yang terpendam selama seminggu terakhir akhirnya meledak.
Carvajal adalah orang pertama yang mendekati Yamal, memberi isyarat "lanjutkan" – sebuah balasan yang apik untuk ucapannya sebelum pertandingan. Courtois ikut bergabung, dan Vinicius, dengan sikap pantang menyerahnya, menambah panasnya suasana. Ketegangan memuncak, Pedri diganjar kartu merah, dan polisi terpaksa turun tangan.
Itu bukan sekadar perkelahian. Itu adalah hasil tak terelakkan dari pertarungan kehormatan yang telah dipersiapkan Real secara mental.
Ketika Real Madrid berbicara dengan kemenangan
Patut dicatat bahwa Real Madrid tidak perlu bereaksi dengan kata-kata. Mereka membiarkan tindakan dan hasil mereka yang berbicara. Setelah pertandingan, Jude Bellingham mengunggah foto dirinya merayakan kemenangan dengan merentangkan tangan, dengan keterangan singkat di Instagram: "Mudah diucapkan. Hala Madrid selamanya."
Tak perlu menggoda, tak perlu menyerang. Kalimat dingin itu sudah cukup untuk mengakhiri semua pertengkaran. Karena dalam sepak bola, kata-kata berlalu, tetapi tujuan tetap ada. Dan Real Madrid, seperti biasa, masih tahu cara membungkam lawan dengan kemenangan.
![]() |
Lamine Yamal dengan cepat menjadi musuh Real Madrid. |
Bagi Lamine Yamal, di usianya yang baru 18 tahun, menjadi "musuh publik nomor satu" di Bernabéu merupakan sebuah kehormatan sekaligus peringatan. Di Madrid, mereka bisa memaafkan kesombongan, tetapi tak pernah lupa ketika harga diri disakiti.
El Clasico selalu lebih dari sekadar pertandingan. Ini adalah pertarungan semangat, ego, dan harga diri. Kali ini, Real Madrid menang bukan hanya karena mereka bermain lebih baik, tetapi karena mereka memahami arti kehormatan – hal yang telah membedakan mereka selama lebih dari seabad.
Kisah ini akan berlalu, tetapi kenangan Carvajal menghadapi Lamine, siulan yang menggema di Bernabéu, dan senyum dingin Bellingham akan selalu dikenang. Karena semua itu mengingatkan orang: Real Madrid tidak hanya bermain sepak bola—mereka melindungi harga diri.
Dan ketika kehormatan disentuh, jawaban mereka selalu sama: Kemenangan.
Sumber: https://znews.vn/real-madrid-cuoc-tra-dua-duoc-bao-truoc-post1597806.html









Komentar (0)