Memutuskan pola pikir “Kota Cerdas”: Mengapa kota-kota pesisir membutuhkan pola pikir desain yang berbeda dan lebih manusiawi?
Membuka sesi presentasi, Prof. Cho Kwanphil – Dosen Departemen Teknik Sistem Lingkungan dan Spasial, Universitas Internasional Handong (Korea) menyampaikan presentasi bertema "Desain Berbeda: Dari Kota Cerdas ke Komunitas Pesisir". Berbekal pengalaman internasional dalam desain perkotaan berkelanjutan dan desain parametrik, beliau mengusulkan perspektif baru dalam pembangunan perkotaan pesisir – menempatkan identitas lokal, kecerdasan komunitas, dan faktor manusia sebagai pusat, alih-alih menjadikan teknologi sebagai poros utama.
Dalam pengantarnya, Bapak Cho menunjukkan realitas yang luar biasa: banyak kota di dunia sedang terjerumus ke dalam "epidemi kesamaan". Dari London, Seoul, hingga Seattle, kota-kota secara bertahap tampak serupa, menyebabkan nilai-nilai lokal memudar dan model-model perkotaan ditiru secara mekanis. Menurutnya, tren ini tidak hanya mengurangi daya tarik daerah setempat, tetapi juga mendorong kaum muda meninggalkan kampung halaman mereka untuk mencari dinamisme di pusat-pusat kota besar, sehingga menciptakan ketidakseimbangan dalam struktur dan kehidupan perkotaan.
![]() |
| Prof. Cho Kwanphil mengangkat isu ini pada pembukaan sesi diskusi. Sumber: UEH (ISCM, Oktober 2025). |
Kota Bijak: Pendekatan Perkotaan Berbasis Nilai-Nilai Kemanusiaan dan Keberagaman Budaya
Bapak Cho mengusulkan pendekatan baru: Alih-alih memprioritaskan pembangunan "Kota Cerdas" yang berorientasi teknologi, daerah-daerah seharusnya berfokus pada model "Kota Bijak". Kota Cerdas berfokus pada otomatisasi data dan optimalisasi efisiensi operasional, sementara Kota Bijak menempatkan manusia sebagai pusat, mempromosikan identitas, nilai-nilai kemanusiaan, dan perbedaan setiap daerah. Menurutnya, inilah "material inti" yang membantu kawasan perkotaan berkembang secara berkelanjutan, bersaing secara sehat, dan memelihara kehidupan bermasyarakat.
Beliau menekankan bahwa Wise Town bukan hanya tentang arsitektur atau desain perkotaan, melainkan sebuah sistem komprehensif yang menghubungkan produksi, energi, pendidikan, dan kepedulian masyarakat. Model ini bertujuan untuk meningkatkan otonomi perkotaan melalui ekonomi sirkular, mengurangi ketergantungan pada sumber daya eksternal, dan menjaga keberagaman budaya. Secara khusus, beliau mengajak kota-kota di seluruh dunia untuk bekerja sama, alih-alih bersaing—bersama-sama membentuk jaringan "kota bijak" yang saling mendukung dan melengkapi, alih-alih mengulang model perkotaan yang stereotipikal.
Mengubah tetrapoda menjadi ruang komunitas: Solusi desain pesisir yang kaya akan identitas dan kemanusiaan
Untuk menggambarkan kelayakannya, Bapak Cho memperkenalkan sebuah proyek di pesisir timur Korea, di mana blok tetrapoda digunakan untuk melindungi garis pantai tetapi secara tidak sengaja mengisolasi masyarakat dari ruang alami. Terinspirasi oleh struktur basal dan permasalahan limbah kerang lokal, beliau mengusulkan untuk mengubah ruang pesisir menjadi area publik yang aman dan multifungsi yang melindungi pantai, menciptakan lanskap, dan menghubungkan masyarakat. Sebagai penutup, beliau memperingatkan bahwa dunia sedang menghadapi "epidemi tanpa kota" – hilangnya identitas akibat urbanisasi yang stereotip, dan mengajak para perencana untuk mengubah pola pikir mereka, dengan fokus pada desain yang berbeda dari sistem ke ruang, untuk membangun kota yang berkelanjutan, manusiawi, dan benar-benar berjiwa.
Perubahan iklim: Mengapa kota perlu beralih dari “melawan air” menjadi “hidup berdampingan dengan air”?
Dr. Adrian Yat Wai Lo (Universitas Thammasat, Thailand) menghadirkan perspektif baru tentang bagaimana perkotaan menghadapi perubahan iklim. Alih-alih memandang air sebagai ancaman, ia mendorong pemanfaatan ruang air sebagai bagian dari struktur perkotaan. Proyek mahasiswa dari Thammasat dan Institut Kota Cerdas dan Manajemen UEH (ISCM – UEH) menunjukkan pemikiran ini melalui model desain adaptif untuk masyarakat pesisir.
Ia memperingatkan bahwa perubahan iklim telah memasuki fase "dampak langsung". Menurut WMO, Bumi telah melampaui ambang batas aman yang ditetapkan oleh Perjanjian Paris 2015. Meningkatnya suhu menyebabkan permukaan laut naik dengan cepat – rata-rata 3,4 mm per tahun. Negara-negara seperti Tuvalu menghadapi risiko kepunahan dan memaksa penduduknya bermigrasi – sebuah contoh klasik migrasi iklim.
Dalam konteks tersebut, 136 kota pesisir berisiko banjir (UN-Habitat), yang berdampak pada ratusan juta penduduk. Namun, sebagian besar kebijakan masih berfokus pada pengurangan emisi, dengan sedikit perhatian pada adaptasi – yaitu, mempelajari cara merancang kota yang dapat hidup berdampingan dengan air secara berkelanjutan.
Warisan perkotaan yang terkait dengan air: bukti sejarah hubungan antara manusia – air – komunitas
Menurut Dr. Adrian, untuk membangun masa depan perkotaan yang tangguh terhadap iklim, masyarakat perlu kembali ke nilai-nilai yang pernah membentuk identitas mereka: hidup selaras dengan air. Hal ini membutuhkan kombinasi solusi "lunak" seperti infrastruktur hijau, hutan bakau, dan ekosistem alami, serta solusi "keras" seperti kota terapung dan arsitektur semi-amfibi – menuju model di mana masyarakat tidak melawan air, tetapi secara aktif hidup bersamanya.
Menengok sejarah, ia menunjukkan bahwa "hidup berdampingan dengan air" bukanlah konsep yang asing, tetapi pernah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Asia Timur. Hong Kong pernah memiliki dusun-dusun perahu terapung di mana anak-anak diikatkan di pinggang mereka agar tidak jatuh ke laut; Bangkok berkembang pesat dengan pasar-pasar terapung yang ramai; dan Saigon pernah memiliki jejak budaya kanal yang kuat. Meskipun banyak fitur budaya di atas air telah memudar akibat industrialisasi, model-model seperti desa terapung Teluk Ha Long masih menjadi bukti nyata vitalitas budaya "akuatik" – di mana komunitas, mata pencaharian, dan lingkungan akuatik hidup dalam harmoni.
![]() |
| Dr. Adrian Yat Wai Lo dari Universitas Thammasat, Thailand, berbagi dalam sesi diskusi. Sumber: UEH (ISCM, Oktober 2025). |
Pemikiran desain perkotaan “akuatik” untuk masa depan yang tangguh terhadap iklim
Dari irisan sejarah koeksistensi air, Dr. Adrian beranjak ke masa kini – di mana pemikiran desain adaptif sedang dikembangkan di lingkungan akademis. Ia memperkenalkan proyek desain perkotaan terapung oleh mahasiswa Universitas Thammasat, dengan dukungan profesional dari ISCM – UEH. Proposal ini memperluas struktur perkotaan ke permukaan air melalui modul-modul fungsional seperti pertanian , akuakultur, dan perumahan komersial, dengan tujuan membangun komunitas yang mandiri secara ekonomi, berkelanjutan, dan tangguh dalam menghadapi perubahan iklim. Dalam prosesnya, mahasiswa diperkenalkan dengan konsep struktur terapung dan amfibi – struktur yang dapat mengapung mengikuti permukaan air – yang membuka arah desain potensial untuk kawasan perkotaan di masa depan.
Semangat ini tidak berhenti pada model kertas. Proyek-proyek dikembangkan di arena bermain akademik internasional seperti Urban Beyond the Urban Summer Camp dan lokakarya Transit-Oriented Development yang diselenggarakan bersama oleh Thammasat dan UEH di wilayah Sungai Saigon. Di sini, para mahasiswa mempraktikkan pemikiran terpadu antara transportasi - ruang hijau - ekonomi lokal untuk menciptakan model perkotaan "hibrida air-darat" yang harmonis, adaptif, dan kaya akan identitas.
Menutup presentasinya, Dr. Adrian menekankan: “Hidup berdampingan dengan air bukan hanya pelajaran dari masa lalu, tetapi juga jalan menuju masa depan – di mana manusia tidak melawan alam, melainkan beradaptasi, menyelaraskan, dan hidup berdampingan dengannya.”
Bentang alam pesisir: membentuk kualitas hidup dan identitas perkotaan di era perubahan iklim
Dalam sesi berbagi tentang hubungan antara lanskap perkotaan dan komunitas, Bapak Ian Ralph - Kepala Perencanaan dan Desain Perkotaan di Skidmore, Owings & Merrill (SOM), sebuah perusahaan di Amerika Serikat - menekankan peran kunci lanskap pesisir dalam kualitas hidup manusia dan pembangunan perkotaan. Beliau mengatakan bahwa konteks Vietnam sedang mengalami urbanisasi yang pesat, sehingga menimbulkan kebutuhan mendesak: Kota-kota pesisir perlu beradaptasi dengan perubahan iklim sekaligus mengupayakan pembangunan yang berkelanjutan dan unik.
Berdasarkan pengalaman praktis di Hong Kong dan kota-kota Asia Tenggara, di mana lebih dari 70% proyek perencanaan SOM dalam dekade terakhir berfokus pada penciptaan kota-kota tangguh, Ian menunjukkan bahwa kota-kota pesisir memiliki potensi pembangunan yang besar tetapi juga menghadapi banyak tantangan seperti: banjir, intrusi air asin, polusi sampah plastik, dan degradasi ekosistem. Menghadapi kenyataan tersebut, ia menyerukan pergeseran dari pola pikir "eksploitasi laut" menjadi "ekonomi samudra biru" - sebuah model pembangunan yang berbasis pada konservasi - regenerasi - resonansi nilai dengan laut, alih-alih menguras sumber daya.
![]() |
| Bapak Ian Ralph – Kepala Perencanaan dan Desain Kota di Skidmore, Owings & Merrill (SOM) – berbagi pandangan dan perspektif penelitiannya pada diskusi panel. Sumber: UEH (ISCM, Oktober 2025). |
Dari solusi adaptasi hingga model regenerasi perkotaan: contoh praktis di Asia
Setelah menyerukan perubahan pola pikir, Bapak Ian menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak hanya teoretis, tetapi telah diimplementasikan oleh SOM dalam praktik di banyak kota pesisir. Di Thanh Da (Kota Ho Chi Minh), solusi "tanggul hidup" diusulkan untuk mengendalikan air, memurnikan aliran, dan sekaligus membuka ruang publik di sepanjang sungai bagi masyarakat. Di Jakarta (Indonesia), proyek Pluit City menerapkan model tanggul ekologis berlapis-lapis, yang mencegah banjir sekaligus memulihkan hutan bakau untuk menciptakan "perisai alami" alih-alih infrastruktur beton murni. Sementara itu, di Van Phong - Nha Trang, orientasi perencanaan menekankan pembentukan koridor ekologis berkelanjutan dari pegunungan ke laut, yang membantu menjaga kualitas air dan membatasi dampak urbanisasi terhadap lingkungan alam.
Berdasarkan bukti-bukti ini, Bapak Ian yakin bahwa masa depan kota-kota pesisir terletak pada model "kota regeneratif" – di mana alam dipulihkan, ruang publik diperluas, dan sistem perkotaan mampu beregenerasi sendiri. Ini adalah arah pembangunan yang membantu memastikan kesejahteraan ekonomi sekaligus keberlanjutan ekologis, menciptakan kota-kota di mana manusia dan alam hidup berdampingan dalam keseimbangan dan harmoni.
Berita dan foto:
Institut Kota Cerdas dan Manajemen (ISCM) - Universitas Ekonomi Kota Ho Chi Minh
Artikel ini merupakan bagian dari rangkaian artikel yang menyebarkan pengetahuan ilmiah dan terapan dengan pesan "Kontribusi Penelitian untuk Semua - Penelitian untuk Masyarakat" yang diimplementasikan oleh UEH bekerja sama dengan Surat Kabar, Radio, dan Televisi Khanh Hoa, dengan tujuan untuk mendampingi pembangunan berkelanjutan di Provinsi Khanh Hoa. UEH dengan hormat mengundang para pembaca untuk membaca berita pengetahuan ilmiah dalam artikel-artikel berikut.
Sumber: https://baokhanhhoa.vn/ueh-nexus-nha-trang/202512/thiet-ke-do-thi-ven-bien-huong-toi-suc-khoe-cong-dong-va-ban-sac-ben-vung-bcb7abd/













Komentar (0)