GURU BAHASA INGGRIS TIDAK HANYA MENGAJAR BAHASA
Saya ingat seorang siswa miskin di Tay Ninh pernah berkata: "Saya takut berbicara bahasa Inggris karena saya takut membuat kesalahan." Saya hanya tersenyum dan menjawab: "Tidak apa-apa, karena belajar bahasa baru juga berarti belajar keberanian."
Sejak saat itu, saya menyadari bahwa guru bahasa Inggris tidak hanya mengajarkan bahasa tetapi juga mengajarkan kepercayaan diri, mengajarkan siswa bagaimana menjadi percaya diri, bagaimana berpikir dan bagaimana terhubung.
Bahasa di kelas bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga sarana bagi siswa untuk membentuk persepsi, memahami diri sendiri dan orang lain. Sebagaimana psikolog Soviet Vygotsky (1896-1934) pernah menulis: "Bahasa adalah alat berpikir". Dan ketika guru membantu siswa menggunakan bahasa untuk berpikir, bertanya, dan mengungkapkan pendapat , mereka bukan lagi sekadar guru. Mereka menjadi pemimpin pembelajaran.

Bapak Le Hoang Phong (kaos merah, tengah) selama partisipasinya dalam program Komunitas Praktik Pemimpin Sekolah dari jaringan Teach For All di Chili, Agustus 2025
FOTO: NVCC
Saya sering mengatakan kepada rekan-rekan saya: "Kita tidak hanya mengajarkan pelajaran, kita memimpin pembelajaran."
Karena pendidikan bukan hanya tentang mentransfer ilmu, tetapi juga tentang membangkitkan kemampuan belajar dan kepercayaan diri orang lain. Di era globalisasi, bahasa Inggris mungkin menjadi bahasa kedua, tetapi belajar selalu menjadi bahasa pertama hati. Dan guru, dengan kesabaran, kebijaksanaan, dan dedikasinya, adalah mercusuar yang memandu perjalanan itu.
"Mengajar bukan sekadar profesi. Mengajar adalah janji untuk percaya pada orang lain, sampai mereka bisa percaya pada diri mereka sendiri."
CERITA C HILE
Agustus ini, saya berkesempatan menghadiri Komunitas Praktik Teach For All School Leaders di Chili, sebuah inisiatif yang mempertemukan kepala sekolah dan pendidik dari lebih dari 60 negara dan wilayah untuk mempelajari seni kepemimpinan dan pembelajaran.
Pada suatu pagi yang dingin di kaki Pegunungan Andes, saya mendengarkan seorang kepala sekolah di Chili berkata: "Setiap Jumat sore, saya menghabiskan dua jam meninjau pelajaran minggu itu bersama guru-guru muda, bukan untuk menilai mereka, melainkan untuk menanyakan apa yang dipelajari siswa, dan apa yang kami pelajari dari mereka?"
Pernyataan sederhana itu membuat saya berpikir panjang. Di Chili, kepemimpinan sekolah tidak ditentukan oleh kekuasaan administratif, melainkan oleh kemampuan menciptakan budaya belajar di mana guru dan siswa tumbuh bersama dalam ruang kepercayaan, refleksi, dan pembelajaran.
Saya teringat kerangka teori Kenneth Leithwood, seorang profesor pendidikan di Kanada, yang menyatakan bahwa dampak kepala sekolah terhadap siswa terutama berasal dari bagaimana mereka mendorong pengembangan profesional guru. Kepala sekolah yang baik tidak hanya membantu siswa belajar lebih baik, tetapi juga menginspirasi guru untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat. Itulah semangat kepemimpinan instruksional, di mana kepala sekolah dan guru bersama-sama mengajukan pertanyaan bukan tentang nilai, tetapi tentang makna dan kualitas pembelajaran.
KEPALA SEKOLAH ADALAH PENJAGA METERAN, GURU ADALAH PEMUSIKNYA
Semakin saya bepergian, semakin saya percaya bahwa kepala sekolahlah yang menjaga ritme orkestra pembelajaran, dan para guru adalah musisi yang menciptakan bunyi pengetahuan. Ketika setiap guru didorong untuk belajar, mencoba, mengajar dengan rasa ingin tahu dan cinta, sekolah secara alami akan menjadi komunitas belajar yang hidup, di mana mengajar juga merupakan bentuk pembelajaran, dan belajar adalah perjalanan mengajar diri sendiri.
Menengok kembali perjalanan itu, saya teringat setahun yang lalu, juga dalam kerangka komunitas praktik Teach For All untuk para pemimpin sekolah, saat itu di Mumbai, India. Di sebuah sekolah negeri kecil di daerah pemukiman padat penduduk, saya bertemu dengan guru-guru muda bahasa Inggris, yang tidak satu pun memegang posisi manajemen, tetapi masing-masing memimpin dengan caranya sendiri yang unik.

Bapak Phong dan kepala sekolah dari jaringan Teach For All mengunjungi sebuah sekolah di Mumbai, India.
FOTO: NVCC
Mereka tidak hanya mengajarkan tata bahasa atau melatih keterampilan komunikasi, tetapi juga secara proaktif merancang topik pembelajaran praktis untuk rekan-rekan: mengajar bahasa Inggris melalui film dokumenter, proyek komunitas, dan topik sosial yang diminati siswa. Setiap bulan, mereka menyelenggarakan "pameran pembelajaran" untuk memperkenalkan ide-ide baru, berbagi pencapaian siswa, dan mengundang rekan-rekan untuk memberikan umpan balik. Sekolah kecil itu hampir menjadi "laboratorium pembelajaran", di mana guru berperan sebagai kreator, bukan sekadar pelaksana program.
Saya menyadari bahwa itulah semangat "kepemimpinan guru". Sebagaimana Profesor Alma Harris, peneliti pendidikan terkemuka dunia, pernah menegaskan: "Ketika guru diberi wewenang untuk memimpin, mereka akan menjadi agen perubahan yang sesungguhnya."
Di Mumbai, kepala sekolah bukanlah pusat dari semua inovasi, melainkan berfungsi sebagai "penampung" bagi tim untuk berprestasi. Para gurulah yang mendorong inovasi, mulai dari mengembangkan materi pembelajaran yang dirancang khusus untuk siswa kurang mampu hingga mengorganisir kelompok belajar profesional untuk mengembangkan keterampilan CLIL (pembelajaran berbasis proyek). Para guru secara terbuka membagikan hasil pembelajaran mereka untuk dianalisis oleh rekan sejawat, dan mereka memandang kemajuan seluruh sekolah sebagai tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab mereka sendiri. Inisiatif dan kolaborasi ini telah mengubah sekolah menjadi komunitas pembelajaran yang sesungguhnya.
Vietnam membuka jalan bagi generasi baru pemimpin pendidikan .
Kita menghadapi peluang bersejarah dengan Undang-Undang Guru 2025 dan strategi Bahasa Inggris sebagai Bahasa Kedua di Sekolah, yang semuanya membuka jalan bagi generasi baru pemimpin pendidikan. Namun, agar kebijakan-kebijakan ini benar-benar berdampak, penting untuk tidak hanya merombak kurikulum, tetapi juga merombak cara kita memimpin pembelajaran.
Sudah saatnya kita beralih dari “mengajar untuk mencapai target” menjadi “mengajar untuk belajar”, di mana setiap sekolah menjadi komunitas pembelajaran, di mana para pemimpin dan guru tumbuh bersama dalam hubungan pembelajaran bersama.
Sumber: https://thanhnien.vn/tieng-anh-la-ngon-ngu-thu-hai-nhung-su-hoc-moi-la-ngon-ngu-dau-tien-185251113211915751.htm






Komentar (0)