Dalam perjalanan menuju Tri Ton, saya merasa gembira sekaligus penasaran. Saya membawa kamera kecil—teman saya untuk mengabadikan setiap momen. Saya bertanya-tanya: Apa yang membuat festival ini ada, yang telah berlangsung selama beberapa dekade, menjadi kebanggaan bukan hanya masyarakat Khmer tetapi juga seluruh wilayah Barat Daya? Jawabannya, saya yakin, terletak pada foto-foto yang akan saya ambil.

Sejak pagi, Tri Ton ramai bak festival. Orang-orang dari berbagai penjuru berbondong-bondong ke arena pacuan kuda, semuanya membawa kegembiraan. Orang-orang Khmer dengan kostum tradisional warna-warni, wisatawan dari dalam dan luar provinsi, dewasa, anak-anak, semuanya berdesak-desakan, berceloteh bak festival musim semi.

Saya memasuki kerumunan, memegang kamera di tangan. Melihat seorang lelaki tua Khmer bersandar pada tongkat, berjalan perlahan di antara kerumunan, saya segera mengangkat kamera untuk mengabadikan senyum lembutnya. Kemudian saya melihat anak-anak tertawa terbahak-bahak ketika melihat sepasang lembu digiring keluar, mereka bersorak kegirangan, mata mereka berbinar-binar. Saya terus memotret, mencoba mengabadikan suasana yang ramai.

Di dalam arena pacuan, sepasang lembu dipersiapkan, tubuh mereka tegap, mata mereka berbinar penuh semangat. Para penunggang lembu—anak-anak Khmer yang tegap, kaki telanjang mereka yang terbiasa dengan lumpur ladang—juga bersiap, mata mereka tegang, penuh tekad. Saya mengarahkan kamera untuk menangkap setiap pasang lembu yang saling beradu kepala sebagai pemanasan, lalu memotret para penunggang lembu yang berbisik dan menepuk-nepuk punggung lembu seolah-olah untuk menenangkan mereka.

Suasana berangsur-angsur memanas. Ketika pengeras suara berbunyi, menandakan dimulainya pertandingan, saya mengangkat kamera, jantung saya berdebar kencang seolah hendak mengabadikan momen tak terlupakan.

Musik lima nada bergema nyaring. Sepasang lembu berlari ke depan, membelah ladang berlumpur. Dari tribun, ribuan mata menyaksikan, sorak sorai menggelegar. Saya mengangkat kamera, menekan tombol-tombolnya terus-menerus. Sulit untuk mengabadikan momen ketika lumpur memercik, sepasang lembu berlari kencang, atau wajah pengemudi lembu meringis penuh konsentrasi.

Pada suatu saat, saya harus segera membersihkan lensa karena terkena cipratan lumpur. Namun, saya segera mengambil foto lagi, karena setiap detik yang berlalu, momen berharga bisa hilang. Saya menonton dengan gugup sekaligus bersemangat layaknya seorang paparazzi sejati.

Alunan musik lima nada bergema, lumpur bercipratan, setiap pasang lembu berlari cepat merupakan koordinasi yang apik antara kekuatan dan teknik pengendalian sang penunggang lembu.

Penonton sesekali bersorak ketika sepasang lembu terpeleset atau jatuh, atau ketika sepasang lembu lain tiba-tiba menyalip mereka. Saya juga berdesakan di antara kerumunan, bersorak dan berusaha mengangkat kamera tinggi-tinggi, mengambil foto panorama: lautan manusia yang ramai, lumpur putih, dan sepasang lembu yang berlari kencang bagai angin. Ada saat-saat di mana saya yakin foto-foto itu tak hanya akan indah, tetapi juga meninggalkan kesan yang mendalam.

Saat istirahat, saya meletakkan kamera dan mengobrol dengan beberapa penduduk setempat. Seorang pria Khmer tua berkata kepada saya: "Pacuan sapi bukan hanya untuk bersenang-senang, tetapi untuk menunjukkan rasa terima kasih kepada leluhur kita dan berdoa untuk panen yang baik." Mendengarkannya, saya mengerti mengapa festival pacuan sapi telah ada begitu lama. Ini bukan sekadar permainan, tetapi juga jembatan yang menghubungkan masyarakat dan sebuah ritual yang memiliki makna spiritual.

Setiap pasang lembu yang berpartisipasi adalah milik dan kebanggaan seluruh keluarga. Orang-orang merawat mereka sepanjang tahun, dan pada hari perayaan, mereka menganggapnya sebagai hadiah bagi masyarakat. Saya mengangkat kamera, mengabadikan senyum dan jabat tangan setelah lomba berakhir. Dalam lensa saya, mereka bukan sekadar pemenang dan pecundang, melainkan sahabat dan saudara dalam komunitas Khmer yang damai dan erat.

Selain festival tradisional, Festival Pacuan Sapi juga dianggap sebagai pertukaran budaya dan ruang kreatif bagi para fotografer, yang dapat mengambil foto di mana saja, di medan apa pun.

Berdiri di tengah pemandangan itu, saya tiba-tiba teringat festival balap perahu Ngo di komune Go Quao yang juga baru-baru ini saya saksikan. Jika balap banteng Tri Ton berlangsung di padang lumpur, di mana kekuatan dahsyat sepasang banteng menentukan kemenangan atau kekalahan, balap perahu Ngo berlangsung di sungai yang luas, tempat puluhan pendayung bekerja sama, menciptakan kekuatan kolektif.

Saya juga telah mengambil banyak foto perahu Ngo yang membelah ombak, dengan lambung panjang bercat cerah, dan dayung yang diangkat serempak. Dibandingkan dengan gambar sepasang lembu yang berlari kencang, keduanya merupakan dua gambar yang sangat berbeda, tetapi keduanya luar biasa penuh vitalitas. Yang satu mencerminkan kehidupan pertanian yang terkait dengan ladang, yang lain mencerminkan budaya sungai yang luas. Kesamaannya adalah keduanya berasal dari kepercayaan Khmer, dari semangat berdoa untuk panen yang baik dan persatuan masyarakat. Dalam kacamata saya, festival balap lembu dan balap perahu Ngo, meskipun berbeda dalam pemandangan dan suara, keduanya memancarkan senyum, kebanggaan, dan kecintaan terhadap kehidupan masyarakat Khmer di Selatan.

Balapan terakhir membuat lapangan bergemuruh. Lumpur berceceran di mana-mana saat dua pasang lembu terkuat mulai beraksi, dan sorak sorai membahana bagai ombak. Saya bersorak mengikuti kerumunan dan bersulang, nyaris tak bisa bernapas.

Saat kedua lembu itu melewati garis finis, sang penunggang mengangkat cambuknya tinggi-tinggi, saya mengabadikan momen itu. Foto itu menunjukkan kekuatan, kegembiraan, dan kegembiraan. Itu bukan sekadar foto sebuah kompetisi, melainkan foto kemenangan sebuah komunitas. Saya yakin, ini akan menjadi foto paling berharga sepanjang perjalanan.

Festival balap banteng bukan sekadar acara olahraga , melainkan kesempatan bagi komunitas Khmer untuk melestarikan dan mengekspresikan identitas budaya tradisional mereka. Setiap kali festival tiba, kerumunan orang dari berbagai penjuru berbondong-bondong ke arena pacuan, semuanya membawa kegembiraan.

Ketika meninggalkan Tri Ton, saya masih linglung. Dalam perjalanan pulang, saya menyalakan kamera dan meninjau ratusan foto. Setiap foto adalah sepenggal kenangan: senyum seorang bayi, tatapan mata seorang lelaki tua, sorak sorai penonton, derap kaki sapi di lumpur. Tiba-tiba saya mengerti: Kamera tak hanya menangkap gambar, tetapi juga emosi. Berkat kamera, saya tahu bahwa berapa pun waktu berlalu, saya akan tetap mengingat panasnya, kebisingannya, dan kegembiraan festival balap sapi di Tri Ton.

Dibandingkan dengan banyak festival modern, pacuan banteng Tri Ton atau pacuan perahu Ngo Go Quao memiliki daya tarik tersendiri: sederhana namun meriah, sederhana namun megah. Keduanya membuat saya semakin mencintai Barat, dan lebih menghargai keindahan budaya Khmer Selatan.

Pertama kali saya menonton pacuan banteng, saya bukan hanya melihat sebuah pacuan, melainkan sebuah warisan yang hidup. Dan melalui lensa saya, kenangan itu akan tetap utuh, cerah, seperti senyum dan kebanggaan orang-orang yang saya temui kemarin.

Artikel dan foto: HUU DANG

    Sumber: https://www.qdnd.vn/van-hoa/doi-song/xem-hoi-dua-bo-847206