Penjualan senjata AS ke negara-negara asing meningkat sebesar 16% pada tahun fiskal 2023, mencapai lebih dari $238 miliar, level tertinggi sepanjang sejarah.
Sebuah laporan yang dirilis oleh Departemen Luar Negeri AS pada tanggal 29 Januari menunjukkan bahwa penjualan senjata melalui transaksi langsung antara perusahaan pertahanan AS dan pemerintah asing mencapai $157,5 miliar pada tahun fiskal 2023, sedikit meningkat dari $153,6 miliar pada tahun sebelumnya, sementara pendapatan melalui perantara naik dari $51,9 miliar menjadi $80,9 miliar.
Secara total, ekspor senjata AS pada tahun fiskal 2023 mencapai $238,5 miliar, meningkat 16% dibandingkan tahun sebelumnya dan merupakan angka tertinggi sepanjang sejarah.
"Transfer senjata dan kesepakatan pertahanan merupakan alat kebijakan luar negeri yang penting bagi AS, yang mampu menciptakan dampak jangka panjang pada keamanan regional dan global," demikian pernyataan laporan tersebut.
Ekspor senjata AS melonjak di tengah upaya banyak negara NATO untuk memperoleh senjata sebagai respons terhadap potensi eskalasi konflik Rusia-Ukraina. Polandia, negara yang berbatasan dengan Ukraina, adalah salah satu pembeli senjata AS terbesar tahun lalu.
Pesawat tempur F-16 AS di pameran pertahanan di Seoul, Korea Selatan, pada Oktober 2023. Foto: AFP
Negara tersebut telah mencapai kesepakatan senilai $12 miliar untuk membeli helikopter tempur AH-64E Apache yang diproduksi oleh Washington, serta menghabiskan $10 miliar untuk peluncur roket multi laras HIMARS, $4 miliar untuk Sistem Komando dan Kontrol Terpadu (IBCS), dan $3,75 miliar untuk tank tempur utama M1A1 Abrams.
Beberapa negara anggota NATO lainnya, seperti Jerman, Republik Ceko, Bulgaria, dan Norwegia, juga telah menghabiskan miliaran dolar untuk membeli helikopter tempur, rudal anti-pesawat, dan kendaraan tempur infanteri dari Amerika Serikat. Sekutu AS di Asia, seperti Korea Selatan dan Jepang, juga telah menandatangani beberapa kesepakatan senjata besar dengan Washington.
Penjualan senjata Washington melonjak di tengah fokus Rusia pada konflik Ukraina, saingan utamanya di pasar ekspor senjata. Menurut laporan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), industri ekspor senjata Moskow mulai menurun pada awal tahun 2010-an karena persaingan dari India dan China, serta sanksi Barat yang bertujuan mencegah negara lain membeli peralatan militer Rusia.
Peluncur roket multi laras HIMARS AS menembak selama latihan gabungan di Indonesia pada September 2023. Foto: AFP
Menyusul pecahnya konflik di Ukraina, AS dan sekutunya memberlakukan sanksi tambahan terhadap Moskow, sehingga menyulitkan negara tersebut untuk mengakses komponen berteknologi tinggi tertentu untuk pembuatan senjata dan menerima pembayaran dari para mitranya.
Industri pertahanan Rusia juga perlu memfokuskan sumber dayanya untuk memenuhi kebutuhan militer daripada menjual senjata ke luar negeri, sementara gambar-gambar peralatan Moskow yang hancur atau rusak di medan perang telah menyebabkan beberapa pelanggan lama Rusia mempertanyakan kualitas senjata yang diproduksi oleh negara tersebut.
Sebuah laporan dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) pada bulan Maret lalu menunjukkan bahwa pangsa Rusia dalam ekspor senjata global telah menurun dari 22% pada periode 2013-2017 menjadi 16% pada periode 2018-2022, sementara pangsa AS meningkat dari 33% menjadi 40%.
Sementara itu, pada November 2023, perusahaan pertahanan Rusia Rostec menyatakan bahwa senjata buatan Moskow semakin mendapat perhatian karena efektivitasnya dalam konflik di Ukraina, termasuk jet tempur Su-35, helikopter tempur Ka-52, tank T-90, artileri termobarik TOS-1A, artileri swa-gerak Msta-S, dan banyak peralatan lainnya.
Pham Giang (Berdasarkan Reuters, Politico, BI )
Tautan sumber






Komentar (0)