
Dengan partisipasi lebih dari 200 delegasi termasuk ilmuwan , ahli hukum, pimpinan lembaga negara, perwakilan kementerian dan organisasi sosial, lokakarya tersebut tidak hanya menegaskan komitmen Vietnam untuk melindungi hak asasi manusia tetapi juga mengusulkan solusi spesifik dan strategis untuk menyeimbangkan pengembangan teknologi dan penghormatan terhadap nilai-nilai dasar hak asasi manusia.
Dalam pidato pembukaannya, Kolonel Nguyen Thi Thanh Huong, Kepala Seksi Hak Asasi Manusia, Kantor Badan Tetap Komite Pengarah Nasional Hak Asasi Manusia, menekankan: “Meningkatkan mekanisme perlindungan hak asasi manusia di lingkungan digital merupakan salah satu prioritas utama Vietnam di periode baru ini.” Hal ini sejalan dengan salah satu dari delapan prioritas Vietnam selama masa jabatannya sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (2026-2028), yang berfokus pada penjaminan hak asasi manusia dalam konteks perubahan iklim dan transformasi digital.

Laporan pengantar, yang disampaikan oleh Associate Professor Dr. Tuong Duy Kien, Direktur Institut Hak Asasi Manusia, memberikan pandangan komprehensif tentang isu-isu teoritis dasar, sekaligus menekankan perlunya pendekatan baru dan inovatif untuk menghadapi tantangan dari teknologi digital .
Setelah sesi pembukaan, Lokakarya dibagi menjadi empat sesi kerja utama, yang berfokus pada aspek teoretis, hukum, praktis, dan isu-isu terkini. Presentasi dan diskusi tidak hanya terbatas pada analisis risiko, tetapi juga mengusulkan solusi spesifik, yang berkontribusi pada penyempurnaan kerangka hukum nasional dan regional. Dengan tingkat akses internet sebesar 78,8% dan lebih dari 76,2 juta pengguna media sosial di Vietnam, acara ini menjadi semakin mendesak, menegaskan posisi proaktif negara tersebut dalam integrasi internasional di bidang hak asasi manusia.
Konteks transformasi digital di Vietnam saat ini merupakan proses komprehensif yang mengintegrasikan teknologi digital ke dalam semua aspek kehidupan—mulai dari administrasi negara, ekonomi, pendidikan, layanan kesehatan, hingga layanan publik—untuk menciptakan struktur operasional baru berbasis data, konektivitas, dan otomatisasi. Hal ini telah menciptakan banyak peluang sekaligus tantangan baru bagi perwujudan hak asasi manusia.
Dr. Tran Thi Hong Hanh, Institut Hak Asasi Manusia
Dalam presentasi mereka di lokakarya tersebut, banyak pakar memperingatkan bahwa tren penyalahgunaan teknologi pengenalan wajah, perangkat pengawasan pintar, serta pengumpulan dan analisis data berskala besar dapat menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia jika tidak didukung oleh mekanisme hukum dan pemantauan yang memadai. Profesor Madya Dr. Tran Quang Dieu, Direktur Pusat Teknologi Informasi, Akademi Politik Nasional Ho Chi Minh, menganalisis bahwa meskipun pengenalan wajah dan analisis perilaku menggunakan kecerdasan buatan membantu meningkatkan keamanan, mendukung manajemen, dan layanan publik, jika tidak dikontrol secara ketat, hal tersebut dapat memengaruhi privasi, merusak kepercayaan sosial, dan menciptakan risiko yang tidak dapat diantisipasi sepenuhnya oleh masyarakat.
Banyak argumen dalam lokakarya tersebut sepakat bahwa melindungi data pribadi berarti melindungi hak asasi manusia di lingkungan digital—sebuah sudut pandang yang telah ditekankan secara tegas oleh lembaga-lembaga pengelola dalam forum-forum terakhir. Hal ini membutuhkan penerbitan standar hukum yang cukup ketat dan transparan, serta proses penilaian dampak hak asasi manusia dalam proyek-proyek teknologi, kota pintar, sistem data bersama, atau basis data kependudukan.

Selain itu, keamanan siber masih dianggap sebagai tantangan besar. Seorang delegasi dari Departemen Keamanan Siber dan Pencegahan Kejahatan Berteknologi Tinggi (Kementerian Keamanan Publik) mengatakan bahwa jumlah serangan siber, pencurian data, penipuan identitas, dan penipuan daring meningkat pesat, yang secara langsung memengaruhi hak milik, hak privasi, dan hak keamanan pribadi. Menyeimbangkan keamanan nasional dan melindungi kebebasan pribadi serta kebebasan berekspresi selalu menjadi tantangan yang sulit. Jika pengaturannya terlalu ketat, terdapat risiko pembatasan hak-hak warga negara yang sah; tetapi jika dilonggarkan, dunia siber dapat menjadi tempat yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok jahat untuk menyebarkan informasi palsu, menghasut, menimbulkan kekacauan, dan mengancam jaminan sosial. Oleh karena itu, lokakarya tersebut menekankan perlunya mengembangkan kebijakan "ritme ganda": Memperkuat keamanan siber dengan tetap memastikan standar hak asasi manusia, transparansi, akuntabilitas, dan menghindari tindakan ekstrem yang tidak sesuai dengan hukum internasional.
Salah satu isu yang banyak dibahas oleh para akademisi adalah hak atas kebebasan berekspresi dan akses informasi di lingkungan digital. Teknologi membuka kemungkinan akses luas terhadap pengetahuan, tetapi juga memfasilitasi penyebaran berita palsu, distorsi, dan hasutan kebencian—faktor-faktor yang secara langsung dapat melanggar hak asasi manusia orang lain. Oleh karena itu, membangun lingkungan informasi yang sehat merupakan tanggung jawab ganda: Negara membangun koridor hukum yang transparan; platform digital meningkatkan tanggung jawab penyensoran; dan masyarakat meningkatkan kesadaran dan etika dalam menggunakan informasi. Lokakarya ini menyepakati bahwa masyarakat digital yang aman bukanlah masyarakat yang terlalu dikontrol, melainkan masyarakat yang hak dan tanggung jawabnya dijaga keseimbangannya, dan semua pihak memahami batasannya dengan jelas.
Dari analisis teoretis dan praktis dalam lokakarya tersebut, terdapat beberapa rekomendasi yang dapat ditarik: Pertama , perlu terus meningkatkan kerangka hukum perlindungan data pribadi, memastikan prinsip-prinsip transparansi, pembatasan tujuan, dan akuntabilitas. Kedua , perlu menciptakan mekanisme untuk menilai dampak hak asasi manusia dalam proyek-proyek teknologi berskala besar, terutama proyek pengumpulan data berskala besar. Ketiga , terus memperkuat ekosistem keamanan siber, dengan fokus pada pelatihan sumber daya manusia, meningkatkan kerja sama internasional, dan secara aktif melaksanakan kampanye komunikasi untuk meningkatkan kesadaran publik. Keempat , memadukan perlindungan hak asasi manusia dan kepentingan nasional secara erat, memastikan penghormatan terhadap hak-hak dasar, tidak hanya di atas kertas tetapi juga dalam praktik.
Konferensi ilmiah "Hak Asasi Manusia di Era Digital - Teori dan Praktik" bukan hanya forum ilmiah, tetapi juga wadah untuk menegaskan kembali pandangan Vietnam: Melindungi hak asasi manusia di era digital merupakan tren yang tak terelakkan, sebuah komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan, sekaligus tolok ukur kapasitas tata kelola nasional. Ketika teknologi berubah lebih cepat dari sebelumnya, menempatkan manusia—dengan martabat, hak, dan kebebasannya—di pusat akan menentukan keberhasilan proses transformasi digital. Hal ini sejalan dengan kebijakan Partai dan Negara, sekaligus memenuhi harapan masyarakat internasional akan Vietnam yang maju, beradab, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam segala situasi.
Sumber: https://nhandan.vn/bao-dam-quyen-con-nguoi-trong-ky-nguyen-so-post928382.html










Komentar (0)