Guci tanah liat, yang menyimpan jejak waktu, berisi butiran beras putih bersih, dan tong takar beras tua yang berkarat di beberapa tempat, begitu sederhana, begitu nostalgia, begitu penuh kenangan. Benda-benda sederhana ini, yang selama bertahun-tahun terpendam di bawah langit pedesaan yang damai, terasa begitu akrab hingga mudah terlupakan, tetapi sesungguhnya, semuanya terjalin erat dalam ingatanku. Seketika, aku kembali ke memori luas itu, tempat guci-guci tanah liat ibuku berada.
Kala itu, di sudut rumah, Ibu meletakkan sebuah guci beras tua berwarna cokelat tua, dengan beberapa batu kecil di bawahnya. Setiap kali memetik jambu biji dan srikaya yang masih muda, ia sering memasukkannya ke dalam guci beras. Terkadang ada seikat pisang hijau dan beberapa mangga yang baru matang. Aku dan saudara-saudaraku akan membuka dan menutup tutupnya, dengan cemas menunggu jambu biji dan mangga matang yang lembut dan manis. Guci tanah liat itu diam-diam menyimpan aroma masa kecil kami. Ketika buahnya matang, membuka tutup guci beras akan menampakkan aroma harum yang menghangatkan hati. Seolah-olah di dalam guci tanah liat yang berdebu itu terdapat sebuah keajaiban, sebuah kerinduan, dan gemerlap kegembiraan masa kecil. Kami perlahan-lahan tumbuh dari rempah-rempah yang harum itu, dan lebih dalam lagi, itu adalah hati Ibu kami yang manis dan utuh.
Ilustrasi: Tra My |
Dulu, Ibu menggunakan tempayan tanah liat untuk menyaring air. Ia meletakkan kerikil bersih di tengah tempayan, lalu memasang tabung bambu berujung runcing di dasarnya. Kemudian, ia mengambil seember air sumur dan menuangkannya, membiarkan air mengalir keluar dari tabung bambu dengan aliran yang jernih. Ibu merebus air hasil saringan tersebut dan membiarkannya dingin agar bisa diminum seluruh keluarga atau menuangkannya ke dalam termos agar Ayah bisa membuat teh setiap pagi.
Aku menyentuh pelan-pelan toples penyaring air, selalu merasa sejuk dan damai. Selama berbulan-bulan di bawah teras belakang, toples tanah ibuku berlumut tipis. Di kaki alas batu, tampak ranting-ranting pakis yang jarang. Suara gemericik air menggema di hatiku, suara yang dalam dan damai, setiap kali aku merasa damai di dapur ibuku. Semburan air manis yang tersaring dari toples tanah, sejak kapan ia meresapiku dengan rasa cinta yang murni.
Di desa kecil saya, tempayan-tempayan untuk menampung air hujan sering diletakkan di depan rumah. Setelah berlarian di ladang, atau ketika penduduk desa datang ke rumah untuk memberi saya seikat sayur atau ikan, mereka akan menyendokkan air dingin untuk mencuci tangan dan kaki mereka. Sesekali, saya melihat sinar matahari yang tipis, menjorok melalui atap, menyinari tempayan. Terkadang seseorang lupa menutup tempayan, membiarkan kelopak jambu biji atau kamboja berkibar tertiup angin. Di malam hari, bulan bersinar terang di atas pedesaan. Menatap tempayan air itu, tiba-tiba saya merasa hati saya melunak, karena sinar keemasan yang mengambang, seolah menyatu dengan lagu daerah. Karena semua kesederhanaan itu, saya tak tega melupakan tempayan tanah liat yang lembut, berisi keempat musim, di depan rumah.
Ibu juga menggunakan stoples gerabah untuk mengawetkan sayuran dan saus ikan. Bagian dalam stoples gerabah seolah terlapisi enamel seiring waktu, mempertahankan cita rasa asli sayuran dan saus ikan, terlepas dari cuaca di luar, baik cerah maupun hujan. Stoples-stoples itu menyimpan jejak tangan Ibu yang bekerja keras. Di sudut kecil nan sederhana, dengan bayang-bayang yang terpantul selama bertahun-tahun, mereka diam-diam menyimpan tanah tua yang tercinta. Stoples-stoples itu menyimpan citra Ibu, Nenek, dan banyak perempuan pedesaan yang hidup keras, mengirimkan mimpi-mimpi mereka ke dapur dan kebun.
Nenek saya telah meninggal dunia. Rambut ibu saya telah berubah warna menjadi sewarna laut murbei. Saya pulang ke rumah dan terkejut menyadari bahwa masa kecil saya telah berlalu begitu jauh. Kini, tangki dan filter air modern telah tersedia, dan dapur di pedesaan perlahan-lahan kehilangan toples-toples saus ikan dan toples-toples terong. Toples-toples gerabah tua itu perlahan memudar, tetapi saya masih bisa mendengar tawa ketika buah di dalam toples itu matang, dan suara air mengalir dari teras belakang...
Sumber: https://baodaklak.vn/van-hoa-du-lich-van-hoc-nghe-thuat/van-hoc-nghe-thuat/202508/chum-dat-ngay-cu-0c20363/
Komentar (0)