Berdasarkan Pasal 3 ayat 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perkawinan dan Keluarga, “perkawinan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita menurut ketentuan Undang-Undang ini tentang syarat-syarat perkawinan dan pencatatan perkawinan”.
Hubungan perkawinan dan kekeluargaan ditetapkan dan dilaksanakan menurut ketentuan yang berlaku, dihormati dan dilindungi undang-undang.
Perbuatan yang dilarang menurut Pasal 5 Ayat 2 Undang-Undang ini adalah:
“a) Pernikahan yang memalukan, perceraian yang dibuat-buat;
b) Pernikahan dini, pernikahan paksa, pernikahan palsu, dan penghalangan pernikahan;
c) Orang yang telah menikah yang menikah atau hidup bersama orang lain sebagai suami istri, atau orang yang belum menikah yang menikah atau hidup bersama orang yang telah menikah sebagai suami istri;
d) Perkawinan atau hidup bersama sebagai suami istri antara orang-orang yang sederajat; antara keluarga dalam batas-batas tiga generasi; antara orang tua angkat dan anak angkat; antara orang tua angkat terdahulu dengan anak angkat, mertua dengan menantu perempuan, ibu mertua dengan menantu laki-laki, ayah tiri dengan anak tiri istri, ibu tiri dengan anak tiri suami;
d) Klaim atas harta benda dalam perkawinan;
e) Perceraian yang dipaksakan, perceraian yang curang, penghalangan perceraian;
g) Melaksanakan persalinan dengan menggunakan teknik reproduksi berbantuan untuk tujuan komersial, surrogasi komersial, pemilihan jenis kelamin janin, dan reproduksi aseksual;
h) Kekerasan dalam rumah tangga;
i) Memanfaatkan hak perkawinan dan keluarga untuk melakukan perdagangan manusia, mengeksploitasi tenaga kerja, melakukan kekerasan seksual atau melakukan tindakan lain dengan tujuan mencari keuntungan.
Dapat dilihat bahwa undang-undang saat ini mengenai perkawinan dan keluarga tidak melarang orang yang menjalani hukuman penjara untuk menikah atau orang lain menikahi orang yang menjalani hukuman penjara.
Selain itu, Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan dan Keluarga Tahun 2014 mengatur syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:
“1. Laki-laki dan perempuan yang hendak melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a) Laki-laki berusia 20 tahun ke atas, wanita berusia 18 tahun ke atas;
b) Pernikahan diputuskan secara sukarela oleh pria dan wanita;
c) Tidak kehilangan kapasitas sipil;
d) Perkawinan tersebut tidak termasuk salah satu perkara perkawinan terlarang sebagaimana dimaksud pada butir a, b, c dan c.
d Ayat 2 Pasal 5 Undang-Undang ini.
2. Negara tidak mengakui perkawinan antara orang-orang yang berjenis kelamin sama.”
Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2015 yang telah diubah dan ditambah pada tahun 2017, mengatur tentang pencabutan hak-hak sipil tertentu sebagai berikut:
“1. Warga negara Vietnam yang dijatuhi hukuman penjara karena kejahatan terhadap keamanan nasional atau kejahatan lain dalam kasus yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ini, akan dicabut hak-hak sipilnya, baik yang berupa:
a) Hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan wakil lembaga negara;
b) Hak untuk bekerja di lembaga-lembaga negara dan hak untuk bertugas dalam angkatan bersenjata rakyat.
2. Jangka waktu pencabutan hak-hak sipil tertentu adalah 1 (satu) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun, terhitung sejak tanggal selesai menjalani pidana penjara atau sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, jika terpidana dijatuhi pidana penangguhan.
Dengan demikian, orang yang menjalani hukuman penjara tidak kehilangan hak untuk menikah, sehingga mereka tetap dapat mendaftarkan pernikahannya apabila memenuhi syarat dan tidak termasuk dalam perkara terlarang sebagaimana diamanatkan undang-undang.
Namun demikian, tata cara pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Catatan Sipil sebagai berikut:
1. Calon suami dan calon istri menyerahkan formulir pencatatan perkawinan sesuai dengan formulir yang ditentukan kepada Kantor Catatan Sipil dan wajib hadir pada saat pencatatan perkawinan.
2. Segera setelah menerima semua dokumen sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 Pasal ini, jika syarat-syarat perkawinan telah terpenuhi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perkawinan dan Keluarga, pejabat catatan sipil wajib mencatat perkawinan tersebut dalam Buku Catatan Sipil dan meminta kedua mempelai menandatangani Buku Catatan Sipil. Kedua mempelai wajib menandatangani Akta Nikah; pejabat catatan sipil wajib melapor kepada Ketua Panitia Rakyat di tingkat kelurahan untuk mengatur serah terima Akta Nikah kepada kedua mempelai.
Dalam hal diperlukan verifikasi syarat perkawinan antara laki-laki dan perempuan, waktu pemrosesan tidak boleh melebihi 05 hari kerja.
Oleh karena itu, pada prinsipnya, baik pria maupun wanita wajib menyerahkan formulir pencatatan pernikahan dan hadir saat pencatatan pernikahan, serta menandatangani Akta Nikah bersama-sama. Meskipun undang-undang tidak menghilangkan hak menikah bagi mereka yang menjalani hukuman penjara, karena mereka berada di bawah pengelolaan, penahanan, dan pendidikan ulang Negara, sangat sulit untuk memastikan mereka mematuhi peraturan wajib tentang prosedur pencatatan pernikahan sebagaimana disebutkan di atas dalam praktiknya.
Apabila salah satu pihak sungguh-sungguh ingin melangsungkan perkawinan, sedangkan pihak yang lain sedang menjalani hukuman penjara, maka orang yang berkeinginan dan memenuhi syarat dapat mengajukan permohonan kepada pihak penjara, dan Panitia Rakyat di wilayah tempat tinggal salah satu pihak dapat membuat syarat-syarat untuk melaksanakan pencatatan perkawinan di tempat penahanan.
Minh Hoa (t/h)
[iklan_2]
Sumber
Komentar (0)