Tak hanya di Kota Ho Chi Minh, perambahan dan distorsi warisan arsitektur juga terjadi di banyak tempat. Di Hanoi , banyak vila kuno di jalan-jalan: Tran Hung Dao, Phan Chu Trinh, Ly Thuong Kiet..., direnovasi secara sembarangan, papan nama bisnis dipasang, dan fasad bangunan diperluas, sehingga kehilangan nilai aslinya.
Di wilayah Dalat, banyak bangunan kuno atau vila tua dihancurkan, digantikan oleh hotel dan kafe modern. Setiap insiden merupakan "goresan" dalam memori, mencerminkan kesenjangan kesadaran dan koridor hukum untuk melindungi warisan.
Sementara itu, penambahan peraturan tentang karya arsitektur dan seni milik pribadi ke dalam Undang-Undang Warisan Budaya (diamandemen dan tambahan pada tahun 2024; berlaku efektif mulai 1 Januari 2025) merupakan langkah maju yang penting. Dengan demikian, semua karya yang bernilai sejarah, budaya, dan seni, baik milik Negara, organisasi, maupun perorangan, diakui dan dilindungi oleh Negara untuk kepemilikan yang sah. Pemilik berhak memanfaatkan karya tersebut untuk kehidupan sehari-hari, pariwisata, dan pendidikan , tetapi wajib menjaga keasliannya dan tidak boleh memperbaiki atau membongkarnya tanpa izin. Pada saat yang sama, Negara memiliki kebijakan tentang dukungan teknis, asuransi, insentif pajak, dan promosi warisan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam konservasi.
Titik terobosan dari Undang-Undang Warisan Budaya yang direvisi adalah legalisasi mekanisme kemitraan publik-swasta (KPS) dalam konservasi. Pemilik dapat bekerja sama dengan lembaga pengelola, museum, serta badan usaha budaya dan pariwisata untuk menampilkan dan memanfaatkan nilai-nilai warisan. Manfaat ekonomi dibagi secara transparan dan harmonis, memastikan faktor profesionalisme sekaligus menjaga vitalitas warisan dalam kehidupan kontemporer.
Hal ini sejalan dengan tren internasional, di mana warisan dipandang sebagai sumber daya lunak bagi pembangunan berkelanjutan, bukan sekadar "objek masa lalu" yang perlu dilindungi. Namun, agar hukum benar-benar efektif, kesadaran pengelolaan perlu diubah. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak pelanggaran konservasi warisan berawal dari pendekatan yang kaku atau kurangnya koordinasi antar otoritas.
Di Kota Ho Chi Minh, terdapat beberapa kasus vila-vila kuno di jalan No Trang Long atau Le Quy Don yang mengalami kerusakan parah, bahkan sayangnya dihancurkan karena tidak ada mekanisme yang mendukung pemiliknya, sementara restorasinya terhambat oleh prosedur yang rumit. Di Hanoi, beberapa bangunan diklasifikasikan tetapi tidak ada perencanaan untuk kawasan lindung, yang menyebabkan situasi konstruksi tambahan, yang merambah ruang lanskap. Kekurangan ini membutuhkan mekanisme yang lebih fleksibel, baik untuk melestarikan maupun mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam melestarikan warisan budaya.
Model-model seperti "Rumah Kuno Binh Thuy" (Can Tho) atau "Vila Bao Dai" (Lam Dong)—di mana pemiliknya secara sukarela melestarikan, memamerkan, dan membukanya untuk pengunjung—merupakan bukti nyata kerja sama yang efektif antara Negara dan rakyat. Undang-Undang Warisan Budaya yang direvisi tidak hanya memperluas cakupan perlindungan, tetapi juga menunjukkan pola pikir untuk mengembangkan budaya sejalan dengan pembangunan ekonomi.
Dalam proses urbanisasi, warisan budaya tidak boleh lepas dari arus modernitas, tetapi tidak boleh mudah tersapu oleh komersialisasi masif. Pelestarian bukan berarti "membingkai" melainkan menjaga "jiwa" dalam adaptasi dan regenerasi kreatif. Dan menjaga warisan juga berarti menjaga memori dan "jiwa" kota di tengah hiruk pikuk pembangunan masa kini.
LIBRA
Sumber: https://www.sggp.org.vn/giu-hon-di-san-giua-nhip-phat-trien-do-thi-post817609.html
Komentar (0)