Seorang perwakilan dari Kementerian Pendidikan dan Pelatihan mengatakan bahwa penerapan "sekolah bahagia" harus berasal dari kebutuhan sekolah dan guru, dan tidak boleh diubah menjadi gerakan dan memberi tekanan pada mereka.
Pada Diskusi Sekolah Bahagia pada pagi hari tanggal 25 Oktober yang diselenggarakan oleh Institut Ilmu Pendidikan Vietnam, Dana Dukungan dan Pengembangan Sekolah Bahagia (Happy Lof Schools), Bapak Vu Minh Duc, Direktur Departemen Guru dan Manajer, Kementerian Pendidikan dan Pelatihan, mengakui bahwa kebahagiaan adalah konsep abstrak, setiap orang, setiap tahap memiliki pemahaman yang berbeda. Singkatnya, kebahagiaan adalah perasaan gembira, emosi positif yang dirasakan setiap orang dalam setiap situasi tertentu. Misalnya, bagi generasinya, bersekolah adalah kebahagiaan.
Mengenai perlunya membangun sekolah yang bahagia, Ibu Louise Aukland, seorang peneliti ilmu saraf di Universitas Oxford, Inggris, mengatakan bahwa sektor pendidikan perlu bertanggung jawab untuk membangun lingkungan belajar yang lebih baik bagi siswa.
Mengutip angka-angka dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) dan Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF), Ibu Louise mengatakan bahwa satu dari tiga siswa menjadi korban kekerasan setiap bulan di sekolah dan 20% remaja di seluruh dunia menderita gangguan mental.
"Kita tidak hanya harus membuat siswa tersenyum, tetapi juga membantu mereka menikmati sekolah, memiliki emosi, pikiran, dan pola pikir yang positif. Generasi muda yang bahagia akan meraih hasil yang lebih baik," ujarnya.
Pada tahun 2018, Kementerian Pendidikan dan Pelatihan mulai menerapkan model sekolah bahagia. Setelah itu, beberapa provinsi, kota, dan sekolah mengubah kegiatan ini menjadi gerakan kompetitif dengan berbagai kriteria, termasuk ringkasan awal dan akhir serta penghargaan. Namun, Bapak Vu Minh Duc mengatakan bahwa hal ini perlu didorong dari kebutuhan sekolah dan guru itu sendiri.
"Jangan jadikan sekolah bahagia sebagai sebuah gerakan atau kriteria kompetisi, lalu paksa sekolah untuk menerapkannya. Itu hanya akan menambah tekanan bagi mereka," ujar Pak Duc.
Selain itu, menurut Bapak Duc, banyak sekolah telah menerapkannya secara efektif, membantu mengurangi tekanan pada siswa dan guru, serta membuat guru dan siswa senang menghadiri kelas. Namun, beberapa model tidak sesuai dan dieksploitasi untuk tujuan ekonomi. Oleh karena itu, beliau menyarankan agar sekolah memastikan nilai-nilai inti dari model ini.
Bapak Vu Minh Duc, Direktur Departemen Guru dan Manajer, Kementerian Pendidikan dan Pelatihan, pada pagi hari tanggal 25 Oktober. Foto: Thanh Hang
Dr. Le Thi Quynh Nga, Institut Ilmu Pendidikan Vietnam, menyarankan model sekolah bahagia dengan dua elemen utama.
Ibu Nga mengatakan bahwa faktor pertama adalah lingkungan eksternal seperti lingkungan yang ramah dan aman, fasilitas yang memadai, dan sesuai dengan usia serta perkembangan anak. Selain itu, kriteria ini juga mencakup hubungan antarmanusia, sehingga siswa merasa dihormati, dipercaya, dan berbagi.
"Misalnya, jika gerbang sekolah hampir runtuh atau kipas angin langit-langit berisiko jatuh, bagaimana siswa bisa bahagia? Demikian pula, cara guru memperlakukan satu sama lain dan staf memperlakukan siswa juga perlu diperhatikan, memastikan kesopanan dan rasa hormat," ujarnya.
Faktor yang tersisa, menurut Ibu Nga, adalah karena kebahagiaan merupakan keadaan emosional pribadi, agar siswa merasa bahagia, mereka perlu sehat secara fisik dan mental.
"Sekolah harus aktif menyelenggarakan kegiatan olahraga untuk membantu siswa meningkatkan kesehatan mereka. Untuk semangat mereka, bagaimana kita bisa mendukung mereka untuk berpikir positif, yang akan menghasilkan emosi positif, sumber kebahagiaan," ujar Ibu Nga.
Berbagi pengalaman praktisnya, Ibu Le Thi Mai Huong, Wakil Kepala Sekolah yang bertanggung jawab atas Sekolah Dasar, Menengah Pertama, dan Menengah Atas Eksperimen Ilmu Pendidikan, mengatakan bahwa tidak ada aturan baku yang berlaku untuk seluruh sekolah. Sebaliknya, siswa di setiap kelas harus menetapkan aturan mereka sendiri. Dengan demikian, mereka akan lebih bertanggung jawab dalam menerapkannya.
"Jika seorang siswa melanggar aturan, kami fokus pada konseling psikologis untuk mencari tahu mengapa anak tersebut bereaksi seperti itu. Kami tidak bisa mengkritik mereka hanya karena mereka salah," ujar Ibu Huong.
Hampir seminggu yang lalu, lokakarya tentang sekolah bahagia yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Pelatihan di Hanoi menarik lebih dari 500 guru dari lebih dari 60 provinsi dan kota. Di sana, para guru berdiskusi dan mencari solusi untuk mengurangi tekanan di sekolah, menemukan cara untuk mendidik secara positif, mengatasi kekerasan di sekolah,...
Thanh Hang
[iklan_2]
Tautan sumber






Komentar (0)