| Dr. Nguyen Thi Ngoc Minh percaya bahwa kemampuan seorang anak tidak dapat diukur hanya berdasarkan nilai ujiannya. (Foto: Disediakan oleh narasumber) |
Biarkan anak Anda mengalami kegagalan.
Saat masih di sekolah dasar, putra sulung saya mencoba mengikuti ujian seleksi tim siswa berbakat sekolah, tetapi dia gagal. Dia pulang sambil tersenyum lebar dan berkata kepada saya, "Bu, aku tidak lolos seleksi tim!" Saat itu, dia belum mengerti apa artinya menjadi siswa berbakat atau berada di tim tersebut; dia tidak merasakan kesedihan atau kekecewaan.
Selama liburan musim panas kelas lima, ketika saya kembali dari Amerika, anak saya sudah gagal dalam semua ujian masuk sekolah menengah. Namun anak saya tetap ceria dan riang, tidak menunjukkan tanda-tanda kesedihan atau kekecewaan. Anak saya dengan bangga bercerita bahwa sekolahnya mengadakan ujian besar, dan meskipun mereka mengerjakan ujian dengan baik, mereka melakukan kesalahan yang menurunkan nilai mereka.
Kelas tujuh dan delapan adalah periode krisis demi krisis. Covid-19 memaksa anak saya untuk tinggal di rumah, terkadang belajar daring selama 8-9 jam sehari. Kemudian saya memiliki bayi baru, anak saya mengalami pubertas, dan seluruh keluarga merasa seperti kapal di tengah badai. Anak saya menjadi mudah marah, frustrasi, dan mudah mengamuk, kecanduan video game dan mengabaikan pelajarannya. Prestasi akademiknya anjlok drastis. Saya tidak tahu harus berbuat apa setiap kali guru mengirim pesan untuk melaporkan prestasi akademik anak saya.
Memasuki kelas 9 adalah periode yang penuh tekanan untuk persiapan ujian, dan juga saat anak saya mulai merasakan tekanan belajar, kepahitan kegagalan, dan mulai berusaha lebih keras. Secercah harapan baru saja muncul ketika kegagalan lain menimpa. Saya bisa merasakan rasa bersalah, kekecewaan, dan bahkan kebencian pada anak saya. Tetapi saya tidak punya pilihan lain selain membiarkan anak saya mengalami kegagalan secara langsung...
Menjadi semakin kuat setelah setiap ujian.
Namun ketika putra saya menghadapi tantangan, saya mulai mengenali dalam dirinya kualitas seorang pemuda yang dewasa: kejujuran, harga diri, tanggung jawab, tekad, dan kekuatan batin untuk mengatasi kesulitan.
| "Tidak mungkin mengatakan bahwa anak yang mendapat nilai sempurna 10 lebih berharga daripada anak yang mendapat nilai 2. Oleh karena itu, mengukur seluruh perkembangan anak hanya berdasarkan nilai ujian adalah tindakan yang berat sebelah, dangkal, dan tidak objektif." |
Saya sangat senang menyadari bahwa jati diri batin anak saya secara bertahap muncul, menjadi lebih jelas dan kuat. Saya telah merasakan jati diri batin itu sepanjang perjalanan membesarkan anak saya, dan saya terus memelihara dan merawat "pohon karakter" itu, tetapi saya juga tidak tahu berapa kali saya ragu, bertanya-tanya, kecewa, dan bahkan merasa buntu.
Namun sekarang, setelah ujian, saya benar-benar percaya pada anak saya. Bukan karena prestasi yang telah mereka raih, tetapi karena ketahanan dan kekuatan batin yang mereka temukan saat menghadapi kegagalan dan tantangan.
Saya tidak hanya melihat hasil dari sembilan tahun pendidikan berdasarkan nilai yang diperoleh anak saya. Tentu saja, saya senang dan bangga ketika anak saya mendapatkan nilai tinggi. Tentu saja, saya sedih ketika anak saya mendapatkan nilai rendah dan gagal ujian. Tetapi Anda tidak dapat mengukur hasil dari sembilan tahun pendidikan hanya berdasarkan nilai.
Bagaimana dengan pertumbuhan fisik, emosional, dan pribadi anak Anda? Bagaimana dengan nilai-nilai dan cita-citanya? Ada banyak sekali prestasi lain yang tidak dapat tercermin dalam angka-angka sederhana. Ada begitu banyak pengalaman dan pelajaran yang terus dipelajari anak Anda sepanjang hidupnya – hal-hal yang tidak dapat diukur dengan nilai.
| "Bagi seorang anak yang dibebani begitu banyak harapan, gagal masuk ke sekolah yang 'sangat sulit' sudah dianggap sebagai kegagalan. Di balik apa yang kita definisikan sebagai keberhasilan atau kegagalan, terdapat banyak prasangka sosial yang, jika kita tidak waspada, akan meng overwhelming kita." |
Jumlah kegembiraan dan perbuatan baik yang telah dibawa seorang anak kepada orang lain tidak dapat diukur dengan angka. Anda tidak dapat mengatakan bahwa seorang anak yang mendapat nilai sempurna 10 lebih berharga daripada seorang anak yang mendapat nilai sempurna 2.
Oleh karena itu, mengukur seluruh perkembangan anak hanya berdasarkan nilai ujian adalah tindakan yang berat sebelah, dangkal, dan tidak objektif.
Tetaplah kuat menghadapi "badai" ujian.
Kegagalan atau kesuksesan dalam hidup hanyalah sebuah konvensi. Bagi seorang anak yang dibebani ekspektasi berlebihan, gagal masuk ke sekolah yang "sangat sulit" sudah dianggap sebagai kegagalan. Di balik apa yang kita definisikan sebagai kesuksesan atau kegagalan terdapat banyak prasangka sosial yang, jika kita tidak waspada, dapat meng overwhelming kita.
Jika, sayangnya, hasil yang diperoleh anak tidak sesuai harapan saat ini, wajar jika orang tua merasa sedih, kecewa, marah, kesal, dan menyesal.
Namun, pada saat inilah orang tua dapat berhenti sejenak untuk bertanya pada diri sendiri: Pelajaran apa yang telah dipelajari anak saya selama masa sekolahnya? Bagaimana perkembangan anak saya? Kualitas positif apa yang telah dikembangkan dalam diri mereka? Potensi apa yang belum sepenuhnya mereka sadari? Bagaimana mereka dapat mengembangkan potensi ini di tahap selanjutnya? Dukungan tambahan apa yang dibutuhkan anak saya?
Hasil ujian bukanlah hal terpenting, tetapi akan menjadi data berharga untuk menganalisis dan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini, Anda akan melihat berbagai hal dari perspektif yang berbeda—lebih optimis dan tenang. Dan saat itulah orang tua dapat duduk dan berbicara dengan anak-anak mereka, seperti orang dewasa.
Saya selalu percaya bahwa pendidikan seharusnya berfokus pada pembinaan dan pengembangan karakter daripada mengukur anak berdasarkan nilai. Dan jika kita memahami hal ini, kita akan memiliki ketenangan dan ketahanan yang cukup untuk menghadapi "badai" ujian, sehingga kita dapat melangkah lebih santai dalam perjalanan pengasuhan anak kita.
Sumber










Komentar (0)