Karena kondisi yang buruk dan banyaknya korban setiap hari, mereka yang tewas dalam serangan udara Israel di Gaza dikuburkan dengan tergesa-gesa.
Pada suatu Jumat malam di Deir el-Balah, di Jalur Gaza bagian tengah, Amani al-Hor, 28 tahun, berkumpul bersama saudara-saudaranya dan keluarga mereka di rumah orang tuanya untuk melupakan deru bom yang beterbangan di atas kepala. Ia berbincang dengan mereka selama beberapa jam, lalu membawa keempat anaknya ke rumahnya sendiri di dekat situ.
Saat Amani kembali ke rumah, sebuah rudal menghantam apartemen orang tuanya. Setidaknya 40 anggota keluarga Amani tewas, termasuk orang tuanya, hampir semua saudara kandungnya, dan anak-anak mereka. Serangan udara tersebut juga merusak rumah Amani.
Serangan udara Israel menghancurkan rumah-rumah di kamp pengungsi Maghazi di Deir al-Balah pada 3 November. Foto: AFP
"Saya tidak mendengar roket jatuh, saya hanya melihat dinding dan langit-langit tiba-tiba runtuh," katanya. "Rasanya seperti berada di dalam kuburan. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa mengeluarkan semua anak saya dalam kegelapan."
Amani kemudian terkejut dengan banyaknya orang yang meninggal di rumah orang tuanya. "Dulu rumah itu penuh sesak, anak-anak selalu berisik, tapi sekarang mereka semua tertimbun reruntuhan," ujarnya.
"Dulu pemakaman sangat meriah," kata kerabat Amani, Mukhtar al-Hor, 57 tahun. "Puluhan, bahkan ratusan orang akan mendoakan almarhum sebelum dimakamkan. Sekarang, hanya segelintir orang yang bisa mendoakan orang yang mereka cintai."
Kuburan massal di Deir al-Balah pada 23 Oktober. Foto: AFP
Mukhtar mengatakan sedikitnya 18 mayat dikeluarkan dari reruntuhan setelah serangan udara di kamp pengungsi Nuseirat, beberapa dengan anggota tubuh yang robek.
"Saya tak bisa menggambarkan rasanya menguburkan anggota keluarga di kuburan massal," ujarnya. "Mereka tidak mendapatkan ritual seperti yang kami dapatkan di masa damai."
Diab al-Jaru, wali kota Deir el-Balah, mengatakan kota itu telah mencatat sedikitnya 20 serangan besar Israel dalam empat minggu terakhir, termasuk serangan yang menargetkan warga sipil dan pengungsi.
Biasanya, setelah dimandikan, jenazah akan dibawa pulang agar para wanita di keluarga dapat mengucapkan selamat tinggal, kemudian dipindahkan ke masjid agar para pria dapat berdoa sebelum dibawa ke pemakaman.
Upacara doa bersama diadakan tepat di halaman rumah sakit dengan sangat sedikit orang yang hadir. Jenazah akan dimakamkan di kuburan massal, tanpa nisan terpisah.
"Sebelum perang, jenazah orang dewasa biasanya dimandikan dengan sabun dan kamper, lalu dibungkus dengan tiga lembar kain. Namun, dalam situasi saat ini, kami tidak punya waktu atau sarana untuk melakukannya," ujarnya. "Kami mencoba menyeka darah dari wajah dan membungkus mereka hanya dengan satu lembar kain karena keterbatasan."
Abu Ammar, seorang petugas kamar mayat di Rumah Sakit Al-Aqsa di Deir el-Balah, 3 November. Foto: Al Jazeera
"Senjata paling mematikan sedang digunakan untuk melawan kami. Tindakan ini telah melewati semua batas merah, melanggar semua hukum hak asasi manusia internasional. Dunia harus menghentikan perang biadab ini terhadap kami," ujar pria berusia 45 tahun itu.
Perang Israel-Hamas akan memasuki bulan kedua. Meskipun komunitas internasional berulang kali menyerukan gencatan senjata, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa Israel "tidak akan berhenti sampai kita menang", dengan menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk "melenyapkan Hamas, membebaskan para sandera, dan memulihkan keamanan".
Di pihak Hamas, pasukan ini menyatakan bahwa mereka tidak akan berhenti melakukan serangan serupa pada tanggal 7 Oktober sampai mereka "menghancurkan Israel".
Hong Hanh (Menurut Al Jazeera )
[iklan_2]
Tautan sumber
Komentar (0)