
Dalam pertemuan dengan para pembaca di Hanoi dalam rangka penerbitan buku “Menara Empati Tokyo” di Vietnam, yang diselenggarakan oleh Pusat Pertukaran Budaya Japan Foundation di Vietnam (Dana Pertukaran Internasional) bekerja sama dengan San Ho Books, Rie Qudan mengenakan ao dai putih bermotif teratai merah muda, membuatnya tampak seperti gadis Hanoi pada umumnya.
Pembaca yang hadir dalam acara untuk bertemu dan berbincang dengan penulis wanita tersebut sebagian besar adalah pembaca muda, banyak di antaranya adalah mahasiswa, dan beberapa di antaranya sedang memupuk mimpi untuk menulis.
Rie Qudan adalah salah satu tokoh terkemuka dalam sastra Jepang kontemporer, dikenal luas sebagai penulis yang memenangkan Penghargaan Akutagawa, salah satu penghargaan sastra paling bergengsi di Jepang.

Ia sangat dihargai atas gaya berceritanya yang unik, yang berasal dari kemampuannya mengamati masyarakat dengan mata tajam. Dunia yang ia gambarkan seringkali menyimpan ketegangan tersembunyi di balik nada yang tenang, dengan lapisan-lapisan kesepian yang mendalam dan emosi berlapis-lapis yang terpancar dari detail-detail yang sangat biasa, sehingga memberikan pembaca penemuan dan empati yang kuat. Meskipun masih seorang penulis muda, Rie Qudan dengan cepat menjadi penulis potensial yang membuka cakrawala baru bagi sastra Jepang kontemporer.
“Tokyo Tower of Empathy” adalah buku yang memenangkan Penghargaan Akutagawa, dan juga menyebabkan kehebohan di dunia sastra Jepang ketika penulis Rie Qudan mengatakan bahwa ia menggunakan sekitar 5% konten dari kecerdasan buatan (AI) dalam proses penulisannya.
Berlatar di Tokyo, Jepang, "Menara Empati Tokyo" merupakan gambaran yang halus tentang fluktuasi antara kehidupan individu dan celah-celah masyarakat modern. Karya ini menunjukkan jarak tak kasat mata antarmanusia, batas-batas yang terbentuk diam-diam dalam komunikasi, dan kemungkinan adanya empati di dunia yang semakin kompleks.

Karya ini berkisah tentang kehidupan seorang arsitek perempuan bernama Sara Machina, yang menjadi korban kejahatan kekerasan. Sara ditugaskan untuk merancang sebuah menara bagi para penjahat yang telah dihukum. Menara ini merupakan simbol kemanusiaan masyarakat Jepang yang memenjarakan para penjahat dengan penuh simpati, memberi mereka kehidupan yang relatif nyaman.
Juri Akutagawa Prize menyebutnya sebagai karya yang "melintasi batas genre", sebagian novel, sebagian eksperimen linguistik dan filosofis di era AI. Pembaca Barat melihatnya sebagai ramalan yang mengerikan tentang masyarakat di mana orang-orang kehilangan kemampuan untuk saling memahami meskipun bahasa tetap utuh.
Berbagi tentang proses penggunaan AI dalam tulisannya, Rie Qudan mengatakan bahwa angka 5% AI dalam buku "Tokyo Tower of Empathy" hanyalah perkiraan pribadinya, dan ia tidak menyangka hal ini akan menarik begitu banyak perhatian orang.
Dalam buku tersebut, Rie Qudan menggunakan ChatGPT untuk menamai menara dan diberi 7 nama, tetapi akhirnya tidak menggunakannya. Penulis juga mengatakan bahwa terkadang ia meminta AI untuk menampilkan paragraf yang diinginkannya, dan jika ia tidak puas, ia akan meminta AI untuk mengulanginya.
Rie Qudan juga berbagi bahwa ia ditugaskan untuk menulis cerita pendek berjudul "Hujan dan Awan" yang menggunakan 95% hasil AI. "Setelah menyelesaikan proyek ini, dalam ringkasannya, kami sampai pada kesimpulan bahwa perangkat AI tidak dapat mengatasi batasan di bidang penulisan, yaitu, 100% AI. Ada banyak penjelasan, tetapi alasan utamanya adalah AI tidak memiliki hasrat intrinsik yang sama untuk menulis seperti manusia," sang penulis berbagi.

Menurut Rie Qudan, manusia memiliki banyak keinginan, tetapi keinginan untuk berkarya memiliki bentuk yang sangat berbeda. Hingga manusia menganalisis proses hasrat kreatif manusia, AI tidak akan mampu mengatasi batasan dalam bidang penciptaan sastra dan seni. "Ketika proses kreatif manusia dianalisis dan modelnya diterapkan pada AI, AI akan mulai memiliki hasrat intrinsik, yang secara alami ingin berkarya, dan kemudian akan 100% mampu berkarya sendiri," analisis penulis perempuan tersebut.
Rie Qudan juga percaya bahwa, menurutnya, AI tidak menghilangkan identitas penulis, tetapi baginya, AI membantunya memahami dirinya sendiri lebih baik, memahami apa yang diinginkannya dalam tulisannya, sesuatu yang seringkali diabaikan oleh penulis saat menulis. Saat ini, banyak penulis cenderung menggunakan AI dalam tulisan mereka dan tidak kehilangan kreativitas pribadi mereka.
Bekerja dengan AI, Rie Qudan juga merasa lebih nyaman dilayani kapan pun ia membutuhkannya, tidak perlu bersikap tertutup, tidak perlu memilih bahasa saat berkomunikasi, dapat bertukar pikiran dengan bebas dan terus terang, serta memiliki lebih banyak kesempatan untuk melihat lebih dalam ke dalam dirinya. Inilah keunggulan AI dalam menulis yang disukai beberapa penulis saat ini.
Namun, bagi Rie Qudan, AI tetaplah sekadar alat yang berguna dalam proses kreatif. AI tidak dapat menggantikan hasrat intrinsik manusia, seperti hasrat untuk berkreasi, hasrat untuk diakui..., faktor-faktor yang berkontribusi pada identitas penulis," ujar Rie Qudan.
Sumber: https://nhandan.vn/tac-gia-nhat-ban-rie-qudan-ai-va-hanh-trinh-sang-tac-van-hoc-post927960.html






Komentar (0)