Acara tahun ini, yang berlangsung dari 16 hingga 19 Oktober di Kuala Lumpur, Malaysia, menjanjikan konvergensi sinema, teater, dan seni visual bagi penonton. Tema tahun ini, "Through The Cracks", mencerminkan gerakan budaya dan sosial yang kuat di kawasan ini.
Sutradara Dain Said, direktur Festival Film SeaShorts, menyampaikan bahwa saat Festival Film SeaShorts memasuki tahun ke-10, penyelenggara ingin memperluas dialog budaya lintas batas dan bentuk seni, dengan sinema sebagai pusatnya.
Dari 703 film yang dikirimkan dari 11 negara Asia Tenggara, penyelenggara memilih 40 karya untuk dikompetisikan, sebuah rekor dalam sejarah acara ini, dengan jumlah terbesar berasal dari Indonesia dan Filipina. Direktur program artistik SeaShorts Film Festival, Eddy Tan, mengatakan tema Through The Cracks menunjukkan bahwa meskipun situasi politik , ekonomi, dan etika terus berubah, sinema, khususnya film pendek, tetap menemukan jalannya sendiri.

Selain kategori kompetisi, SeaShorts 2025 juga akan menyelenggarakan program-program khusus, termasuk Shorts+, yang merayakan sutradara dan sinematografer perempuan di Asia Tenggara; Beyond Indian Shores, yang terus menyoroti sinema Tamil kontemporer; Heatseeker Malaysia dan Heatseeker Japan, yang menampilkan film-film mahasiswa Malaysia dan Jepang; dan JAFF Picks, bekerja sama dengan Jogja Asian Film Festival - NETPAC (JAFF), yang menampilkan sineas-sineas muda berbakat dari kawasan ini. Festival ini juga akan menampilkan serangkaian diskusi dan kelas master tentang seni perfilman.
Salah satu daya tarik Festival SeaShorts 2025 adalah perpaduan panggung dan sinema dalam pertunjukan langsung oleh kelompok seni komunitas Malaysia, Sekolah Main Wayang. Kali ini, kelompok tersebut membawakan lakon Chemor Mai Pasak (Ruai) (yang secara harfiah berarti: Legenda Leluhur), yang disutradarai oleh sutradara panggung Ayam Fared dan seniman multimedia Fairuz Sulaiman, dan dipentaskan oleh 13 remaja Semai dari Bota, Perak.
Pertunjukan ini merupakan penghormatan terhadap warisan budaya dan kreativitas komunitas Orang Asli Malaysia. Selama setahun terakhir, Sekolah Main Wayang juga telah berpartisipasi dalam parade boneka Awas Mawas dan menyelenggarakan pameran seni di berbagai wilayah Malaysia, yang menunjukkan vitalitas seni komunitas.
Tak hanya didedikasikan untuk komunitas adat, SeaShorts 2025 juga mengapresiasi perkembangan seni Tamil yang luar biasa di Malaysia. Film dokumenter Araro Ariraro berhasil membangkitkan kembali lagu-lagu rakyat Tamil yang terlupakan di komunitas buruh perkebunan.
Berdasarkan kesuksesan tersebut, Beyond Indian Shores, yang diluncurkan pada tahun 2024, kembali mengeksplorasi diaspora Asia Selatan dalam budaya visual kontemporer Malaysia. Film pendek Tamil dari Malaysia dan Sri Lanka menyoroti hubungan historis dan pertukaran kreatif antara kedua negara. Program ini dikuratori oleh kurator Gogularaajan Rajendra dan Lena Srinivasan, yang sangat terlibat dalam sinema Tamil.
Untuk pertama kalinya, SeaShorts Film Festival mempersembahkan Nusantara Focus – sebuah perjalanan sinematik melintasi kepulauan Indonesia, dari Aceh hingga Kalimantan Utara, dari Sumbawa hingga Timika-Papua, hingga Jakarta yang semarak. Bekerja sama dengan Eagle Institute Indonesia, serial ini menawarkan perspektif baru, yang mencerminkan kekayaan dan keragaman kehidupan di seluruh kepulauan Indonesia.
Sumber: https://www.sggp.org.vn/the-gioi-sang-tao-o-lien-hoan-phim-ngan-dong-nam-a-post818797.html






Komentar (0)