Dalam alur tersebut, budaya menabung perlu direposisi – dari tradisi leluhur ke tindakan masa kini, dari kualitas pribadi ke prinsip kelembagaan, dari setiap rumah tangga ke sistem otoritas publik – untuk menjadi perekat yang mengikat kepercayaan sosial dan kekuatan internal untuk pembangunan berkelanjutan.

Foto ilustrasi: baochinhphu.vn
Nilai budaya yang hidup dalam kehidupan sehari-hari
Dalam sebuah artikel penting berjudul "Mempraktikkan hidup hemat dan memerangi pemborosan adalah tanggung jawab bersama", Sekretaris Jenderal To Lam menegaskan sebuah prinsip dasar: "Mempraktikkan hidup hemat dan memerangi pemborosan adalah sesuatu yang perlu dilakukan dalam kehidupan setiap individu dan seluruh masyarakat, dan merupakan "landasan" yang berkontribusi untuk membangun masyarakat yang beradab dan berkelanjutan". Pernyataan tersebut tidak hanya menempatkan hidup hemat dalam dimensi yang tepat dari sebuah tanggung jawab sosial, tetapi juga memposisikannya sebagai nilai budaya inti yang perlu dihayati dalam setiap perilaku sehari-hari dan dalam setiap institusi kehidupan modern.
Berhemat bukan lagi pilihan etis pribadi, melainkan harus menjadi norma budaya dan sosial universal yang mengatur segala hal, mulai dari kehidupan keluarga hingga kebijakan nasional, mulai dari perilaku warga negara hingga tindakan para penguasa. Ketika hemat didefinisikan sebagai "makanan, air, dan sandang sehari-hari" sebagaimana ditekankan oleh Sekretaris Jenderal , hal itu bukan lagi slogan administratif, melainkan transformasi menjadi cara berpikir, gaya hidup, dan tindakan budaya sukarela yang permanen. Berhemat saat ini tidak dipaksakan dari luar, melainkan dipupuk dari dalam—menjadi bagian dari kepribadian dan budaya organisasi warga negara.
Oleh karena itu, menabung perlu hadir dalam setiap kebiasaan kecil: Mematikan lampu saat meninggalkan ruangan, mencetak di kedua sisi dokumen, menggunakan air dengan bijak, menumpang kendaraan pribadi alih-alih setiap orang memiliki mobil umum, tidak mengadakan pertemuan formal, tidak memamerkan foto, tidak menghabiskan anggaran untuk upacara mewah... Tindakan-tindakan yang tampaknya sepele tersebut justru menunjukkan kedewasaan budaya setiap individu dan masyarakat. Karena masyarakat yang beradab bukanlah masyarakat yang boros, melainkan masyarakat yang menggunakan dengan benar - cukup - dan bertanggung jawab.
Namun, agar menabung menjadi budaya yang hidup, kita tidak bisa hanya bergantung pada pendidikan moral atau propaganda formal. Kita perlu membangun kondisi budaya agar menabung dapat berkembang dan berkelanjutan: Merancang standar perilaku di tempat kerja; mendorong inisiatif kreatif untuk menghemat energi, material, dan waktu; membangun model komunitas konsumen yang bertanggung jawab; menghargai kelompok dan individu yang berada di garda terdepan dalam inovasi menabung yang berkaitan dengan efisiensi sosial. Kita perlu menjadikan menabung sebagai faktor yang membentuk reputasi, merek, dan kualitas moral, bukan hanya soal pengeluaran.
Di sini, persoalannya bukan lagi sekadar "berapa banyak uang yang harus ditabung", melainkan "nilai-nilai apa yang kita anut". Masyarakat di mana pejabat tidak membuang-buang waktu rapat, guru tidak membuang-buang kertas dan tinta, petani tidak membuang-buang air irigasi, siswa tidak membuang-buang waktu belajar—itulah masyarakat yang berbudaya hemat. Masyarakat seperti itu tidak membutuhkan paksaan, tidak membutuhkan slogan, melainkan beroperasi berdasarkan keyakinan diam-diam: Setiap tindakan yang bertanggung jawab hari ini adalah batu bata berkelanjutan bagi masa depan bangsa.
Menabung merupakan tradisi bangsa yang perlu diwariskan dan dikembangkan dengan semangat modern.
Sejak dulu, masyarakat Vietnam telah lama membangun sistem nilai-nilai hidup yang berkaitan dengan nilai-nilai hemat. Bukan kebetulan jika harta karun lagu daerah dan peribahasa Vietnam penuh dengan pepatah seperti: "Makan cerdas agar kenyang, berpakaian cerdas agar hangat", "Tabung kecil agar kaya", "Lebih baik hemat sedikit daripada boros". Ucapan-ucapan ini bukan sekadar nasihat tentang moderasi dalam berbelanja, tetapi juga filosofi hidup – yang mencerminkan cara berperilaku bertanggung jawab masyarakat Vietnam terhadap keluarga, masyarakat, dan alam. Di negara yang telah mengalami perang, kemiskinan, bencana alam, dan bahkan kelaparan historis, menabung bukan hanya bijaksana, tetapi juga untuk bertahan hidup, bermoral, dan disiplin.
Dalam konteks integrasi internasional yang mendalam, transformasi digital yang kuat, dan pembangunan berkelanjutan yang menjadi tuntutan mendesak, tradisi menabung dari leluhur perlu "dibalut dengan baju baru". Menabung di zaman modern bukan lagi kekikiran, melainkan perwujudan budaya konsumen yang selektif, budaya organisasi yang mampu mengelola risiko, dan budaya negara yang mampu mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan jangka pendek. Pada tataran yang lebih dalam, menabung adalah cara setiap orang dan setiap lembaga melestarikan sumber daya yang terbatas untuk masa depan – untuk anak cucu, untuk generasi mendatang.
Jika dulu orang Vietnam menabung karena kemiskinan, kini kami menabung karena harga diri, karena kami memahami bahwa: Hidup bertanggung jawab dengan sumber daya, tenaga, dan waktu adalah perwujudan patriotisme tertinggi di masa damai. Itulah pula cara kami melestarikan semangat leluhur dengan cara yang kreatif dan dinamis, sesuai dengan ritme dunia modern.
Menabung merupakan perilaku budaya yang sistematis – memerlukan organisasi, mekanisme dan keteladanan.
Jika budaya hemat diibaratkan pohon, maka sistem organisasi, kebijakan, dan panutan adalah tanah dan iklim yang menyuburkannya hingga berakar dan berbuah. Perilaku budaya, sebaik apa pun, tanpa lingkungan kelembagaan yang kondusif dan bimbingan dari pemimpin, akan mudah terlena dan memudar seiring waktu. Hal yang sama berlaku untuk hemat – ia tidak dapat diserukan hanya melalui pidato atau slogan dinding, tetapi perlu diwujudkan dalam mekanisme manajemen, dalam rancangan kebijakan yang spesifik, dan dalam perilaku sehari-hari orang-orang yang bertanggung jawab.
Perilaku teladan – sebagaimana pernah ditekankan oleh Sekretaris Jenderal – merupakan faktor penentu. Seorang pejabat yang meluangkan waktu untuk rakyat adalah pemimpin yang bertanggung jawab. Seorang pemimpin yang tidak menerima karangan bunga ucapan selamat atau mengadakan pesta mewah saat dilantik sedang menyampaikan pernyataan moral melalui tindakan. Seorang pemimpin yang memilih menggunakan mobil dinas yang ekonomis, menyelenggarakan konferensi tanpa bingkisan, dan mengadakan resepsi sederhana mengirimkan pesan yang kuat bahwa: Budaya hemat dimulai dari pengemudi.
Namun, perilaku teladan harus dibarengi dengan mekanisme kontrol. Tanpa sanksi yang transparan dan penilaian kuantitatif, seruan untuk berhemat dapat dengan mudah menjadi formalitas. Sebuah kantor bisa saja memasang slogan "Praktikkan Berhemat" di pintu, tetapi di dalamnya masih saja menyelenggarakan pertemuan mewah dan membeli aset publik melebihi batas, yang merupakan budaya tandingan. Oleh karena itu, diperlukan desain kelembagaan yang solid: mekanisme pemantauan anggaran publik, proses audit independen, evaluasi efisiensi belanja berdasarkan hasil, dan penerapan teknologi digital dalam manajemen publik untuk membatasi kerugian dan menjadikan setiap sen anggaran transparan.
Menabung, pada dasarnya, merupakan perilaku budaya – tetapi perilaku tersebut hanya dapat menjadi kebiasaan jika disistematisasi oleh lembaga. Negara harus menjadi pelopor dalam menabung untuk menjadi teladan bagi seluruh masyarakat. Pemerintah di semua tingkatan, kementerian, dan badan usaha milik negara perlu secara berkala mempublikasikan indikator-indikator mengenai belanja administrasi, aset publik, dan efisiensi sumber daya. Setiap bagian kecil dari sistem – mulai dari ruang rapat, kendaraan, perlengkapan kantor hingga listrik, air, dan sumber daya manusia – perlu memiliki standar penggunaan dan penilaian efisiensi yang jelas.
Ini bukan sekadar cara untuk "menghemat uang", melainkan cara untuk membangun administrasi budaya – di mana setiap tetes keringat rakyat dihargai, setiap sen anggaran digunakan di tempat yang tepat. Hanya dengan demikian, menabung akan benar-benar menjadi perilaku budaya yang sistematis – baik sebagai kualitas pribadi, etika komunitas, maupun struktur tata kelola nasional.
Menabung adalah ujian etika publik dan kepercayaan sosial.
Sekretaris Jenderal To Lam menegaskan dalam artikel tersebut bahwa ini adalah "salah satu solusi paling mendasar bagi negara untuk mengatasi segala badai". Di balik proposisi ekonomi yang tampak hambar ini terdapat makna budaya dan etika yang mendalam – bahwa setiap ekspresi penghematan, atau sebaliknya, setiap ekspresi pemborosan, merupakan ukuran sejati etika publik dan kepercayaan masyarakat terhadap aparatur publik.
Di mana pun ada konferensi-konferensi mencolok yang tidak perlu, masyarakat akan merasa tersisih dari proses reformasi. Di mana pun ada pengeluaran yang tidak wajar untuk pesta, hadiah, dan belanja resmi, kepercayaan terhadap pemerintah akan terkikis sedikit demi sedikit. Kasus-kasus pembelian aset publik di luar norma, pembangunan kantor pusat yang megah di jantung distrik miskin, atau pejabat yang memamerkan barang-barang bermerek, menyalahgunakan kendaraan umum—semua ini bukan hanya pelanggaran keuangan, tetapi juga pelanggaran moral, manifestasi dari kekuasaan yang terpisah dari rakyat.
Menabung, jika diamalkan dengan benar dan mendalam, merupakan komitmen moral tertinggi pejabat terhadap rakyat.
Ketika para pemimpin secara sukarela menolak menerima hadiah di hari pelantikan, ketika pegawai negeri sipil memilih rapat daring untuk mengurangi biaya operasional, ketika lembaga-lembaga negara menolak ritual formal dan boros – saat itulah kepercayaan dipulihkan melalui tindakan nyata. Rakyat tidak menuntut pemerintahan yang sempurna, tetapi selalu menginginkan pemerintahan yang hemat seperti mereka – menghemat setiap sen, setiap menit, setiap jengkal tanah.
Oleh karena itu, artikel Sekretaris Jenderal tidak menghindari, melainkan langsung membahas paradoks yang ada. Beberapa tempat menyelenggarakan ringkasan awal gerakan menabung… dengan konferensi yang mewah. Ada individu yang menyerukan penghematan di depan umum, tetapi justru boros dalam kehidupan pribadinya. Ada unit yang menyelenggarakan peringatan berdirinya industri dengan panggung puluhan miliar dong, sementara masyarakat di daerah terdampak banjir masih kelaparan, kedinginan, dan kekurangan air bersih. Paradoks-paradoks tersebut tidak hanya membatalkan kebijakan yang tepat, tetapi juga merusak kepercayaan yang sangat sulit dibangun dari masyarakat.
Oleh karena itu, penghematan – di tingkat negara bagian – tidak bisa menjadi gerakan jangka pendek. Penghematan perlu menjadi mekanisme etika yang stabil dan terverifikasi. Perlu ada sistem pemantauan yang independen dan transparan untuk belanja publik. Perlu ada penilaian tahunan terhadap tingkat penghematan aktual di setiap instansi, daerah, dan unit. Penting untuk memuji model dan inisiatif penghematan yang efektif dan menangani perilaku boros secara tegas, terutama dari para pemimpin. Karena tidak seorang pun berhak hidup mewah dengan uang pajak rakyat.
Pada saat yang sama, hemat juga harus menjadi tolok ukur budaya organisasi. Organisasi yang hidup sederhana, efisien, dan ekonomis seringkali merupakan organisasi yang dikelola dengan baik, disiplin, dan memelihara kepercayaan internal. Sementara itu, organisasi yang boros – baik dalam hal keuangan maupun waktu dan sumber daya manusia – seringkali menunjukkan kelemahan dalam pemikiran strategis, kurangnya kohesi, dan kemerosotan moral. Hal ini juga merupakan poin kunci yang ditekankan oleh Sekretaris Jenderal: Untuk berkembang secara berkelanjutan, kita harus memulai dengan hemat sebagai nilai inti – dan tidak boleh mengikuti jalan "muluk-muluk" sambil mengosongkan isinya.
Akhirnya, ketika memandang hemat sebagai ujian etika publik dan kepercayaan sosial, kita juga harus menghadapi pertanyaan: Apa yang telah dilakukan setiap individu untuk berkontribusi pada budaya hemat tersebut? Ini bukan hanya kisah para pemimpin atau aparat administrasi, tetapi juga karya setiap warga negara: Apakah kita menghemat listrik, air, dan waktu? Apakah kita menghemat kata-kata kosong, menghemat pamer yang tidak perlu di media sosial, menghemat perilaku sia-sia yang membuang-buang energi mental sosial?
Bila setiap orang hidup disiplin dalam membelanjakan uangnya dan bertanggung jawab kepada masyarakat, maka masyarakat itu akan membentuk standar moral yang berkelanjutan - di mana menabung bukan lagi sekadar slogan, melainkan ekspresi nyata dari budaya dan hati nurani.
Menabung merupakan strategi pembangunan dan kebangkitan kekuatan bangsa di era baru.
Setiap periode sejarah bangsa membutuhkan strategi pembangunan yang sesuai dengan konteks, kondisi, dan visi zaman. Jika pada masa perang, menabung adalah untuk bertahan hidup dan meraih kemenangan; pada masa inovasi, menabung adalah untuk bangkit dari kesulitan; maka kini, di era integrasi yang mendalam, revolusi industri 4.0, dan perubahan iklim global, menabung perlu diposisikan ulang: Bukan sekadar keutamaan, melainkan strategi pembangunan jangka panjang, berkelanjutan, dan berwawasan budaya.
Artikel Sekretaris Jenderal To Lam dengan jelas menunjukkan bahwa menabung bukan sekadar reaksi terhadap kesulitan – tetapi harus diorganisir secara proaktif sebagai metode tata kelola nasional modern. Dalam konteks sumber daya yang semakin menipis, tantangan iklim yang semakin parah, utang publik yang meningkat, dan risiko keuangan global yang membayangi, setiap tindakan menabung saat ini bertujuan untuk melestarikan mata pencaharian generasi mendatang. Itulah keteguhan bangsa yang dewasa, yang mampu menyaring hal-hal yang esensial, berani meninggalkan hal-hal yang remeh, dan mampu berfokus pada hal-hal yang berkelanjutan, alih-alih hal-hal muluk yang bersifat sementara.
Menabung, dalam arti luas, adalah cara untuk mengubah kelangkaan menjadi efisiensi, tantangan menjadi peluang, dan sumber daya yang terbatas menjadi motivasi tanpa batas. Kota yang tahu cara mendaur ulang sampah, menghemat listrik, dan mengatur lalu lintas yang cerdas adalah kota dengan pembangunan berkelanjutan. Pendidikan yang mengurangi pencetakan dan meningkatkan penggunaan sumber daya digital adalah pendidikan yang mengikuti perkembangan zaman. Industri yang berinvestasi dalam teknologi hijau dan menghemat energi adalah industri masa depan. Dan negara yang hemat dalam pengeluaran dan berfokus pada jaminan sosial adalah negara yang populer di kalangan masyarakat dan dipercaya oleh dunia.
Menabung bukan hanya soal mengelola negara, tetapi juga strategi untuk membangkitkan kekuatan batin rakyat. Selama beberapa generasi, masyarakat Vietnam telah memiliki tradisi "memberi lebih banyak kepada sesama", "makan enak dan berpakaian bagus", "menabung sedikit demi sedikit". Ketika tradisi itu dibangkitkan dalam kondisi baru—melalui teknologi, pendidikan, dan lembaga insentif—maka kekuatan rakyat akan menjadi "modal bebas bunga" yang paling dahsyat. Setiap warga negara dan setiap pelaku bisnis yang tahu cara hidup hemat secara proaktif berinvestasi untuk masa depan mereka sendiri, berkontribusi pada pembentukan ekonomi sirkular, ekonomi berbagi, ekonomi pengetahuan—di mana biaya dioptimalkan, efisiensi ditingkatkan, dan manfaatnya diintegrasikan, alih-alih terfragmentasi.
Oleh karena itu, menabung bukan lagi sekadar "mengurangi pengeluaran", melainkan mengoptimalkan seluruh sumber daya nasional – mulai dari keuangan, sumber daya manusia, sumber daya material, hingga waktu, ruang, dan bahkan energi sosial emosional. Ketika masyarakat merasa lingkungan tempat tinggal mereka lebih boros, aparatur pemerintah beroperasi lebih kompak, dan kebijakan dirancang secara rasional, mereka sendiri termotivasi untuk mengubah perilaku mereka – hidup lebih ramah lingkungan, berbelanja lebih bijak, dan berpartisipasi lebih aktif di masyarakat. Resonansi ini merupakan bukti paling nyata akan peran menabung dalam strategi pembangunan nasional.
Dalam konteks Vietnam yang sedang berjuang untuk menjadi negara maju pada tahun 2045, menabung merupakan "landasan peluncuran tak kasatmata" bagi semua rencana aksi. Tidak ada strategi yang berkelanjutan jika hanya membuang-buang sumber daya. Tidak ada perekonomian yang dapat bersaing jika biaya produksi terlalu tinggi akibat manajemen yang buruk. Tidak ada negara yang dapat meningkatkan kualitas hidup jika masih membiarkan upaya rakyat terbuang sia-sia dalam pemborosan tak kasatmata akibat perangkat yang rumit. Oleh karena itu, menabung bukan hanya tentang "menyimpan"—melainkan merupakan cara untuk membuka jalan bagi pembangunan, ketika setiap sen, setiap menit, setiap butir sumber daya disalurkan ke tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, dan untuk tujuan yang tepat.
Sekretaris Jenderal mengusulkan peluncuran "Hari Nasional Praktik Hemat" tidak hanya sebagai acara sosial, tetapi juga sebagai deklarasi budaya – yang menegaskan bahwa pembangunan tidak perlu ditukar dengan sampah. Sebaliknya, semakin kita tahu cara menabung, semakin kita dapat membangkitkan kecerdasan, kasih sayang, dan semangat inovasi – akar yang dalam dari pembangunan yang nyata dan berkelanjutan.
Oleh karena itu, menabung bukanlah suatu langkah mundur, melainkan suatu langkah strategis ke depan dalam pemikiran pembangunan suatu bangsa yang berpengalaman, matang, dan percaya diri dalam memasuki masa depan.
Sumber: https://baolaocai.vn/thuc-hanh-tieu-kiem-tu-gia-tri-truyen-thong-den-chien-luoc-phat-trien-quoc-gia-post878560.html
Komentar (0)