
Dalam komentar terbaru di situs web Forum Asia Timur (eastasiaforum.org), Faizal Bin Yahya, peneliti senior di Institut Studi Kebijakan di Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew, Universitas Nasional Singapura, mengatakan bahwa era otomatisasi digital dan kecerdasan buatan (AI) sedang membentuk kembali pasar tenaga kerja global.
Di Asia Tenggara, penerimaan terhadap teknologi ini optimis dan terukur. Kekhawatiran bahwa otomatisasi akan menyebabkan PHK massal sepertinya tidak akan langsung terjadi. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan di kawasan ini mengadopsi teknologi digital dengan cara yang mendukung para pekerja, dengan tujuan mencapai jalur transformasi yang realistis dan terkendali.
Dampak bertahap dan polarisasi pasar tenaga kerja
Meskipun prediksi adanya pergeseran mendalam dalam struktur ketenagakerjaan telah muncul, para ahli menekankan bahwa dampak otomatisasi akan berlangsung secara bertahap dan akan bervariasi di berbagai perusahaan, wilayah, dan industri. Laporan Future of Jobs dari Forum Ekonomi Dunia (WEF) memprediksi bahwa pada tahun 2025, AI akan menggantikan 85 juta pekerjaan secara global, tetapi sekaligus menciptakan 97 juta pekerjaan baru.
Proses ini berlangsung di tengah perkembangan teknologi baru yang mendisrupsi industri yang sudah ada dan menciptakan industri baru. Transisi ini membutuhkan langkah-langkah proaktif untuk memitigasi dampak negatif, terutama bagi pekerja berketerampilan rendah, karena pekerjaan rutin berketerampilan rendah lebih mudah diotomatisasi. Sebaliknya, pekerjaan yang membutuhkan keterampilan kognitif dan interaksi sosial yang kompleks kurang rentan terhadap otomatisasi digital, sehingga berpotensi menyebabkan polarisasi pasar tenaga kerja.
Industri seperti manufaktur, transportasi, ritel, layanan pelanggan, dan tugas-tugas yang sangat prediktif (entri data, lini perakitan) akan menjadi yang pertama diotomatisasi. Namun, sebuah studi tahun 2025 yang melibatkan lebih dari 5.000 agen dukungan pelanggan menemukan bahwa perangkat AI membantu karyawan menyelesaikan 14% lebih banyak masalah per jam. Khususnya, karyawan tingkat pemula dan berketerampilan rendah mengalami peningkatan kinerja sebesar 34% ketika dibantu oleh AI.
Pandangan yang berlaku di Asia Tenggara adalah bahwa otomatisasi digital tidak menggantikan seluruh pekerjaan, melainkan perangkat AI yang mengotomatiskan tugas-tugas spesifik. Hal ini membebaskan pekerja manusia untuk fokus pada aktivitas yang lebih kompleks dan bernilai lebih tinggi. AI bertindak sebagai "pendamping", menyediakan informasi, rekomendasi, atau analisis secara real-time untuk membantu manusia melakukan tugas secara lebih efisien dan efektif.
Mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh otomatisasi digital memerlukan pendekatan proaktif yang berfokus pada peningkatan keterampilan, pelatihan ulang, dan memastikan keandalan jaring pengaman sosial, terutama bagi pekerja berketerampilan rendah.
Integrasi Teknologi yang Bijaksana di Asia Tenggara
Survei tahun 2023–2024 terhadap 2.326 perusahaan manufaktur dan perusahaan terkait di tujuh negara Asia Tenggara (Singapura, Kamboja, Laos, Vietnam, Indonesia, Malaysia, Filipina) menemukan bahwa teknologi digital telah menjadi bagian integral dari operasional mereka. Perusahaan-perusahaan mengadopsi teknologi ini dengan tingkat yang berbeda-beda untuk meningkatkan efisiensi, memperluas skala produksi, dan meningkatkan layanan, yang mencerminkan perbedaan dalam struktur industri dan kapabilitas teknologi.
Di Singapura, integrasi otomatisasi digital telah diterapkan secara luas. Lebih lanjut, 69,7% perusahaan yang berbasis di Singapura telah mengotomatiskan hingga 25% proses bisnis mereka, dan semuanya telah mengadopsi setidaknya beberapa bentuk otomatisasi. Lebih lanjut, 55% bisnis di Singapura melaporkan digitalisasi layanan mereka, yang menunjukkan prioritas untuk peningkatan teknologi yang berpusat pada pelanggan.
Bisnis sedang bergerak dari tahap persiapan menuju implementasi: 63,5% bisnis di Singapura yang disurvei berencana untuk mengotomatiskan 11–50% proses bisnis mereka. Sementara itu, bisnis di Laos dan Vietnam berencana untuk meningkatkan tingkat otomatisasi digital mereka hingga 25%. Sebaliknya, 38,8% bisnis di Kamboja dan 31,7% bisnis di Malaysia menargetkan otomatisasi digital tingkat menengah hingga tinggi (51–99%). Di Indonesia, 22,2% bisnis berencana untuk mengotomatiskan sepenuhnya.
Perusahaan-perusahaan Asia Tenggara memiliki pandangan yang berbeda namun umumnya optimistis mengenai potensi dampak otomatisasi terhadap ketenagakerjaan. Perusahaan-perusahaan di Singapura (40,3%) dan Vietnam (34,4%) umumnya memperkirakan otomatisasi akan berdampak terbatas terhadap ketenagakerjaan, dan memprediksi tidak akan ada perubahan. Pandangan yang seimbang ini menunjukkan bahwa otomatisasi digital dipandang sebagai pelengkap, alih-alih pengganti, sumber daya manusia.
Perusahaan-perusahaan di Indonesia (47,4%) dan Malaysia (36,3%) bahkan lebih optimistis, memperkirakan otomatisasi akan mendorong pertumbuhan lapangan kerja. Filipina merupakan pengecualian, dengan 68,3% perusahaan memperkirakan penurunan lapangan kerja, yang menunjukkan kekhawatiran yang lebih besar tentang perpindahan tenaga kerja.
Secara keseluruhan di seluruh Asia Tenggara, optimisme menunjukkan lintasan yang bertahap tetapi stabil menuju operasi bisnis otomatis yang lebih digital, efisien, dan berkelanjutan.
Sumber: https://baotintuc.vn/phan-tichnhan-dinh/tu-dong-hoa-ky-thuat-so-giup-dong-nam-a-but-pha-trong-cuoc-cach-mang-viec-lam-20251007171552077.htm
Komentar (0)